Jakarta (ANTARA) - Kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi di Indonesia, bahkan dalam 2 pekan terakhir ini, pemberitaan di berbagai media memuat sejumlah peristiwa pembunuhan terhadap perempuan.
Kasus pertama, seorang perempuan berinisial RM (50) yang mayatnya ditemukan di dalam koper di wilayah Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada 25 April lalu.
Pelaku bernama Ahmad Arif Ridwan Nuwloh (29) akhirnya ditangkap polisi pada 1 Mei saat melarikan diri di Palembang, Sumatera Selatan.
Ahmad Arif membunuh rekan kerjanya tersebut di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat.
Pelaku membutuhkan uang untuk membiayai resepsi pernikahannya sehingga tega membunuh korban setelah terlebih dahulu memperkosanya.
Ahmad Arif pun menggondol uang yang dibawa korban saat itu yaitu sebanyak Rp43 juta yang merupakan milik perusahaan.
Tiga kasus pembunuhan lainnya terjadi pada hari sama.
Seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) berinisial RA (23) dibunuh oleh pria pelanggannya bernama Amrin Al-Rasyid Pane (20) di sebuah rumah kos yang disewa pelaku di Kabupaten Badung, Bali, pada 3 Mei dini hari.
Awalnya pelaku memesan perempuan PSK melalui aplikasi di ponsel. Kemudian korban meminta bayaran kepada pelaku yang melebihi kesepakatan, disertai dengan ancaman.
Pelaku tidak setuju, lalu emosional dan membunuh korban menggunakan pisau milik pelaku.
Pelaku memasukkan jasad korban ke dalam koper dan membawanya dengan menggunakan sepeda motor, lalu membuangnya ke semak-semak.
Kasus ketiga, seorang suami bernama Tarsum (41) membunuh dan memutilasi istrinya, Y (40) di Desa Cisontrol, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, juga pada 3 Mei.
Bahkan Tarsum sempat membuat geger warga di desanya lantaran berkeliling sambil menawarkan jasad sang istri ke tetangganya.
Kasus keempat terjadi di Desa Temboan, Kecamatan Maesaan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, pada 3 Mei subuh.
IT (24), seorang istri, menjadi korban pembunuhan yang dilakukan suaminya, R (26).
Posisi korban saat itu sedang tidur bersama anak mereka.
Sang suami, yang saat itu belum tidur, mendengar korban mengigau. Pelaku pun mencurigai korban berselingkuh sehingga ia menjadi emosional dan kalap lalu membunuh korban. Bahkan, pelaku juga menganiaya ayah mertuanya hingga mengalami luka berat.
Femisida
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender, yang memuncak pada kekerasan paling ekstrem dan sadis, yakni femisida.
Melihat motif pelaku dan kronologinya, keempat kasus tersebut tergolong tindak pidana femisida.
Hal ini terjadi karena hubungan personal intim antara laki-laki dan perempuan dilandasi relasi kuasa yang timpang dalam kerangka nilai-nilai patriarki.
"Disebut femisida karena perempuan dibunuh sebab korban seorang perempuan," kata Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat.
Femisida ditandai dengan sikap superioritas laki-laki dan subordinasi perempuan, dominasi, rasa kepemilikan, agresi atau pemaksaan, seksisme, dan misoginis.
Femisida merupakan fenomena gunung es karena dianggap sebagai tindak kriminalitas biasa sebagaimana pembunuhan pada umumnya sehingga tidak tersedia data yang mencatat kasus-kasusnya.
Bahkan, menurut Rainy Hutabarat, dalam perundang-undangan nasional, diksi femisida belum dikenal.
Di sisi lain, kasus-kasus femisida sangat jarang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan korban. Kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan umumnya langsung diserahkan kepada pihak kepolisian dan baru diketahui publik melalui media massa.
Pelaku pada keempat kasus femisida tersebut adalah orang yang memiliki relasi personal atau intim yakni sebagai rekan kerja, 'pelanggan', dan suami.
Pembunuhan dipicu tekanan ekonomi, ketidakpuasan pelanggan terhadap perempuan pekerja seks, maupun kecemburuan suami terhadap istri.
Pada kasus pembunuhan perempuan di Cikarang, pelaku dan korban adalah rekan kerja. Pelaku membutuhkan uang untuk menikah sehingga merampas uang kantor yang dibawa korban dan memperkosa korban sebelum dibunuh.
Dalam kasus di Bali, korban menuntut bayaran lebih disertai ancaman. Bagi pelaku, posisi tawar perempuan, apalagi pekerja seks, lebih rendah.
Korban dibunuh dan dimasukkan ke dalam koper. Tindakan sadis itu menunjukkan rasa superioritas dan agresi terhadap perempuan yang dipandang kedudukan dan posisi tawarnya lebih rendah.
Sementara dalam kasus Ciamis, alasan ekonomi menjadi penyebab perempuan menjadi sasaran pembunuhan. Hal ini menunjukkan ketika laki-laki berada dalam tekanan hidup, pihak perempuan--yang merupakan pihak tersubordinasi--menjadi sasaran amarah.
Adapun dalam kasus di Minahasa Selatan, kecemburuan suami menjadi pemicu pembunuhan istri karena adanya ego maskulinitas laki-laki.
Cegah kekerasan terhadap perempuan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan keprihatinan mendalam atas banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada femisida ini.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Ratna Susianawati mengatakan KemenPPPA telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk bergerak cepat menuntaskan kasus-kasus tersebut, dan memastikan para pelaku mendapatkan hukuman sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan.
KemenPPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) juga berkoordinasi dengan Dinas PPPA setempat untuk memastikan penjangkauan terhadap keluarga korban dan pemenuhan hak-hak korban meskipun korban sudah meninggal.
Pihaknya terus memasifkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), supaya masyarakat mengetahui konsekuensi dari pelanggaran UU ini serta memberikan efek jera kepada pelaku.
Ratna Susianawati pun mengamini bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan ada relasi kuasa yang timpang.
Untuk itu, kemandirian perempuan tetap harus didorong karena kekerasan terhadap perempuan kerap dipicu oleh persoalan ekonomi, kemiskinan.
Dengan perempuan berdaya secara ekonomi diyakini dapat membantu menyelesaikan isu terkait perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Komunikasi dalam keluarga juga menjadi penting agar permasalahan suami istri dapat diselesaikan dengan baik.
Tak kalah penting peran tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun tokoh adat dalam pendekatan kepada masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Karena upaya pencegahan adalah hulu dalam mengatasi isu kekerasan terhadap perempuan.