Cilacap (ANTARA Jambi) - Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, kembali menjadi pusat perhatian karena eksekusi mati tahap kedua terhadap sejumlah terpidana kasus narkoba segera dilaksanakan.
Indikasi akan segera dilaksanakannya eksekusi tahap kedua itu, berawal dari pemindahan terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso.
Terpidana mati yang warga negara Filipina itu, dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wirogunan, Yogyakarta, ke Lapas Besi, Pulau Nusakambangan, pada Jumat (24/4) dini hari.
Sejak saat itulah, wartawan dari berbagai media massa, baik dalam maupun luar negeri berdatangan ke Cilacap guna meliput persiapan eksekusi mati di Nusakambangan, meskipun aktivitas peliputannya hanya sebatas di sekitar Dermaga Wijayapura yang merupakan tempat penyeberangan khusus "Pulau Penjara" itu.
Bahkan, beberapa jam sebelum Mary Jane tiba di Nusakambangan, kru salah satu televisi swasta nasional, Metro TV, telah berada di Dermaga Wijayapura lengkap dengan mobil siaran luarnya atau "Satellite News Gathering" (SNG).
Hingga Sabtu (25/4) sore, sedikitnya ada empat mobil SNG televisi swasta nasional yang sudah berada di Dermaga Wijayapura guna menyiarkan secara langsung persiapan eksekusi terpidana mati kasus narkoba, yakni Metro TV, TV One, Net TV, dan Indosiar-SCTV.
Awak media meyakini pemindahan terpidana mati Mary Jane dari Lapas Wirogunan ke Lapas Besi itu, sebagai tanda jika eksekusi akan segera dilaksanakan.
Keyakinan awak media itu merujuk pada pernyataan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Provinsi Jawa Tengah Yuspahruddin, beberapa waktu lalu.
Dalam hal ini, Yuspahruddin mengharapkan pemindahan Mary Jane dilakukan mendekati hari H pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
"Lapas-lapas di Nusakambangan tidak memiliki blok khusus wanita sehingga sangat riskan kalau harus terlalu lama menunggu," katanya.
Terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso merupakan satu-satunya wanita yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua yang telah dirilis Kejaksaaan Agung, beberapa waktu lalu.
Terpidana mati kasus narkoba yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua berjumlah 10 orang, yakni Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
Mary Jane merupakan terpidana mati yang terakhir dipindah ke Nusakambangan guna menghadapi eksekusi yang belum diketahui secara pasti hari H pelaksanaannya.
Dengan masuknya Mary Jane di Nusakambangan, berarti seluruh terpidana mati yang akan segera dieksekusi oleh Kejaksaan Agung, telah berada di "Pulau Penjara" itu.
Kendati Kejaksaan Agung hingga Sabtu (25/4) sore belum mengumumkan hari H pelaksanaan eksekusi mati, sejumlah indikasi akan segera dilaksanakannya eksekusi itu mulai terlihat jelas, di antaranya masuknya perlengkapan teratak ke Nusakambangan pada Sabtu (25/4) pagi dengan diangkut menggunakan dua kendaraan, yakni truk dan mobil bak terbuka.
Salah seorang awak truk mengatakan bahwa perlengkapan teratak yang disewa hingga 29 April 2015 itu, dipesan oleh seorang anggota Kepolisian Resor Cilacap dan akan dipasang di depan lapangan dekat Pos Polisi Nusakambangan.
Lapangan tersebut diduga sebagai Lapangan Tembak Tunggal Panaluan yang akan digunakan sebagai tempat eksekusi seperti halnya saat pelaksanaan eksekusi mati tahap pertama pada 18 Januari 2015.
Sejumlah sumber di Nusakambangan menyebutkan bahwa sebagian perlengkapan teratak itu akan dipasang di Lapas Besi.
Dalam hal ini, teratak berikut kursi-kursi plastiknya diduga akan digunakan sebagai tempat tunggu para pejabat kejaksaan maupun kepolisian saat pelaksanaan eksekusi mati.
Selain teratak, indikasi akan segera dilaksanakan eksekusi mati tahap kedua terlihat dari peningkatan kesibukan di Dermaga Wijayapura sepanjang hari Sabtu (25/5), salah satunya berupa kedatangan penasihat hukum para terpidana mati, jaksa eksekutor, dan diplomat dari negara asal para terpidana mati.
Bahkan, penasihat hukum terpidana mati Raheem Agbaje Salami, Utomo Karim mengaku mendapat informasi dari kejaksaan jika kliennya telah ditempatkan di ruang isolasi guna menunggu pelaksanaan eksekusi.
Oleh karena itu, pihaknya datang ke Nusakambangan terkait dengan pemberitahuan rencana eksekusi mati tersebut.
Akan tetapi, saat ditanya mengenai waktu pelaksanaan eksekusi, dia mempersilakan wartawan menghitung sendiri.
"Ya silakan hitung sendiri, biasanya tiga hari dari sekarang," katanya.
Indikasi lainnya, tiga lukisan karya salah satu terpidana mati anggota "Bali Nine" Myuran Sukumaran yang dibawa pengacara asal Australia Julian McMahon, usai mendampingi Konsulat Jenderal Australia Majel Hind yang mengunjungi duo "Bali Nine" di Lapas Besi, Nusakambangan.
Saat berada di halaman depan Dermaga Wijayapura, Julian McMahon bersama salah seorang staf Konjen Australia memamerkan tiga lukisan itu ke arah kamera wartawan yang menunggu di luar pagar.
Meskipun tidak memberikan pernyataan, dua orang itu sesekali tampak membalikkan lukisan-lukisan tersebut agar tulisan tangan di belakangnya tertangkap kamera wartawan.
Tulisan pada lukisan-lukisan itu, terdiri atas "'Self Portrait After Our New Arrivals', 'A Bad Sleep Last Night', Myuran Sukumaran, Besi Prison, Nusakambangan, 25/04/2015", "'Self Portrait','A Strong Day', Myuran Sukumaran, Besi Prison, Nusakambangan, 24/04/2015", dan "'Self Portrait', '72 Hours Just Started', Myuran Sukumaran, Besi Prison, Nusakambangan, 25/04/2015".
Salah satu lukisan yang bertuliskan "'Self Portrait', '72 Hours Just Started', Myuran Sukumaran, Besi Prison, Nusakambangan, 25/04/2015" (Lukisan Diri, 72 Jam Sudah Dimulai, Penjara Besi, Nusakambangan, 25/04/2015) memberikan isyarat jika para terpidana mati mulai menjalani masa isolasi menjelang eksekusi.
Dalam hal ini, masa isolasi minimal dilakukan dalam waktu 72 jam atau tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi mati.
Jika tulisan atau judul lukisan Myuran Sukumaran itu menceritakan kondisinya saat ini, berarti dapat disimpulkan bahwa para terpidana mati sudah mulai menjalani masa isolasi sehingga eksekusi diduga akan dilaksanakan pada Selasa (28/4) malam atau Rabu (29/4) dini hari.
Jika masa isolasi itu mulai berjalan, apakah terpidana mati Zainal Abidin juga sudah diisolasi? Padahal, proses hukum terpidana mati asal Palembang, Sumatera Selatan itu, belum memiliki kekuatan hukum tetap karena Peninjauan Kembali (PK) yang dia ajukan baru akan diputus pada Senin (27/4).
Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua tinggal menunggu putusan PK terpidana Zainal Abidin.
"Hari ini kita tunggu putusannya, kita harapkan secepatnya putusan PK dari Zainal Abidin diputus sehingga kita bisa tentukan hari H-nya pelaksanaan eksekusi," katanya di Jakarta, Jumat (24/4).
Menurut dia, jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi tahap kedua masih tetap 10 orang.
Sementara itu, Mahkamah Agung telah menjadwalkan sidang permohonan kedua peninjauan kembali yang diajukan terpidana mati Zainal Abidin pada Senin (27/4).
"Senin nanti sidangnya. Apakah bisa putus hari Senin itu, kita tunggu," kata juru bicara Mahkamah Agung Suhadi di sela kegiatan pembinaan terhadap para hakim di wilayah Jawa Tengah, di Semarang, Jumat (24/4).
Saat ditemui wartawan di Dermaga Wijayapura usai pertemuan di Lapas Besi pada Sabtu (25/4) malam, penasihat hukum Raheem Agbajee Salami, Utomo Karim, mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, pihaknya mendapat pemberitahuan jika eksekusi akan dilaksanakan pada Selasa (28/4).
"Kami sudah terima notifikasi soal itu (eksekusi mati, red.) pada hari Selasa, namun kami tidak tahu apakah Selasa malam atau Rabu dini hari. Kalau tidak salah, ada tujuh (orang, red.) yang terima notifikasi," katanya.
Menurut dia, terpidana mati yang menerima notifikasi tentang eksekusi kemungkinan bisa bertambah.
Disinggung permintaan terakhir Raheem, dia mengatakan bahwa masih tetap seperti dulu, di antaranya ingin dimakamkan di Madiun, Jawa Timur, dan eksekusinya didampingi Romo Fusi.
Sementara itu, salah seorang anggota penasihat hukum terpidana mati Rodrigo Gularte, Christina Windiarti, mengatakan ada sembilan orang yang menerima notifikasi eksekusi termasuk kliennya.
Pihaknya tetap menolak notifikasi itu karena Rodrigo Gularte mengalami gangguan jiwa
"Kami tegas menolak eksekusi mati, bagaimana mungkin eksekusi dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa. Rodrigo jelas-jelas sakit jiwa dan napi-napi tahu betul hal ini," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya akan terus berupaya agar eksekusi terhadap Rodrigo Gularte dapat dibatalkan.
Dengan adanya notifikasi itu, berarti pelaksanaan eksekusi mati tinggal menunggu hari dan Nusakambangan akan kembali menjadi pusat perhatian. (Ant)