Malang (ANTARA Jambi) - Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang Dr dr Asih Tri Rachmi Nuswantari mengemukakan daun kelor yang mudah didapat dan murah, serta kaya akan nutrisi mampu menangkal gizi buruk pada balita.
"Setiap tahun selalu muncul balita penderita gizi buruk selalu ada balita dengan gizi buruk baru. Oleh karena itu, kami selalu mengkampanyekan daun kelor yang kaya akan nutrisi bisa dijadikan salah satu alternatif untuk menangkalnya, terutama ibu agar mengkonsumsi daun kelor selama masa kehamilan," kata Asih di Malang, Selasa.
Ia mengaku dirinya keluar masuk ke kelurahan sampai RT untuk mensosialisasikan makanan yang ada di sekitar masyarakat. Selain murah dan mudah didapat, daun kelor juga kaya akan kandungan zat besi, protein, mineral dan nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil.
Asih mengatakan pada April ini, Dinkes mulai membagikan daun kelor dan tempe kepada warga, terutama ibu hamil. "Susu dan biskuit tetap kami berikan, tapi ditambah dengan tempe dan daun kelor untuk menambah asupan gizi ibu hamil," ujarnya.
Hanya saja, katanya, sekarang yang menjadi masalah adalah populasi tanaman kelor yang terbatas. Oleh karena itu, Dinkes membuat program gerakan menanam kelor, termasuk pemkot menyediakan lahan di Kedungkandang untuk ditanami kelor.
Menurut dia, balita dengan gizi buruk itu disebabkan ibu hamil yang kekurangan nutrisi. Angka kematian ibu saat melahirkan setiap tahun antara 10-13 orang. Dengan cara menambah nutrisi ibu hamil, diharapkan angka balita gizi buruk dan kematian ibu saat melahirkan turun di 2016 ini.
Memang, lanjutnya, sulit untuk bebas dari balita gizi buruk dan kematian ibu melahirkan. Dinkes Kota Malang mencatat pada 2014, terdapat 125 balita dengan gizi buruk. Sedangkan, kasus gizi buruk pada 2015 sebanyak 100 balita dari jumlah balita secara keseluruhan di Kota Malang sebanyak 67.515 jiwa.
Anggaran penanganan gizi buruk, kata Asih, selalu ada selama masih ada kemiskinan. Anggaran tersebut dibagi untuk pemulihan balita dan sosialisasi. Dana sebesar Rp 600 juta disiapkan untuk pemulihan balita gizi buruk, sedangkan dana sebesar Rp2 miliar digunakan untuk sosialisasi, mulai tingkat kelurahan hingga RT.
"Gizi buruk itu akan ada sampai akhir zaman, sepanjang kemiskinan itu masih ada, karena gizi buruk itu faktor ekonomi. Dan, kasus balita gizi buruk di Kota Malang paling banyak berada di Kelurahan Pandanwangi dengan 20 kasus, disusul di wilayah Puskesmas Kendalkerep 11 kasus, Kendalsari 10 kasus, Mulyorejo 9 kasus," urainya.
Menurutnya, faktor penyebab gizi buruk karena kemiskinan. Keluarga miskin tidak dapat memberikan asupan gizi yang memadai pada balita. Selain faktor ekonomi, ada juga kasus balita gizi buruk yang disebabkan pola asuh.
Asih mencontohkan ibu yang bekerja dan menitipkan anaknya ke orangtua, otomatis pemberian ASI ke bayi kurang dan diganti susu formula. Padahal, susu formula mahal, akibatnya makanan tambahan untuk bayi tidak terpenuhi. Selain itu, tingkat kesadaran ibu memberikan ASI kepada balita di Kota Malang juga masih rendah.
Berdasarkan hasil survei Dinkes setempat, tingkat kesadaran ibu memberikan ASI kepada bayinya hanya 70 persen. Padahal, pada usia 0-6 bulan, bayi harus mendapatkan ASI eksklusif dari ibu.
"Kami melalui kader posyandu yang mencapai 653 orang ini tidak henti-hentinya memberikan pengetahuan ke ibu tentang pentingnya memberikan ASI dan makanan bergizi pada bayi. Tapi, tetap masih ada ibu yang tidak memberi ASI terhadap anaknya," ucapnya.
Pada tahun 2014, Dinkes Kota Malang mengalokasikan anggaran sebesar Rp6,4 miliar untuk membeli makanan tambahan bagi balita guna menekan angka gizi buruk. Dan, pada 2015, anggaran itu menyusut menjadi Rp5,4 miliar.