Jakarta, Antarajambi.com - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
mengatakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama bersifat antisipatif bagi
siapapun yang berniat menyimpangkan ajaran agama.
"Itu harus betul-betul dimaknai bahwa undang-undang itu justru dalam
rangka, sebenarnya, untuk bagaimana agar masing-masing ajaran agama,
khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi pokok dari ajaran
agama itu tidak lalu kemudian disimpangi oleh siapapun juga," kata
Lukman di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta usai menemui Presiden
Joko Widodo pada Selasa.
Menurut Lukman, penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang tidak
bertanggungjawab rentan menimbulkan kerawanan sosial yang dapat
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Menteri menilai, undang-undang tersebut agar dijalankan secara semestinya sehingga dapat memelihara kerukunan umat beragama.
Lukman mengatakan munculnya undang-undang tersebut lebih dikarenakan
keadaan pada tahun 1965--dimana banyak personal yang mengaku tokoh
agama dan menyebarluaskan ajaran yang justru bertolak belakang dengan
nilai-nilai agama itu sendiri.
"Jadi sebenarnya undang-undang itu lahir untuk menjaga agar
prinsip-prinsip dasar, pokok-pokok ajaran agama tentu tidak boleh
dinista atau dinodai oleh siapapun juga dan itu harus dijaga," kata
Menteri.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi juga pernah menguji materi
undang-undang tersebut pada 2009 dan memutuskan undang-undang tersebut
masih relevan.
Menteri Agama menemui Presiden membahas pendidikan keagamaan dan penerapan nilai-nilai bhinneka tunggal ika.
Selain Lukman, pejabat pemerintah yang juga menemui Jokowi yaitu
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy serta Menteri Ristek
Dikti Mohamad Nasir.
Menag: UU Penodaan Agama bersifat antisipatif
Selasa, 17 Januari 2017 14:46 WIB