Jambi (ANTARA) - Piagam Batin Sembilan Kandang Rebo, Dusun Bawah Bedaro, Kabupaten Batangghari oleh masyarakat penjaga hutan di sana disebutkan jempalo tangan.
Sudah semestinya sanksi seperti jempalo tangan dapat dipadankan dengan perangkat hukum nasional, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, maupun Pasal 170 KUHP dan Pasal 187 KUHP. Bahkan, berbagai tempat terjadinya kebakaran sering kali menggunakan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Hal inilah yang menjadi kajian dari Koalisi Pemantau Independen Gakkum Karhutla Jambi yang terdiri atas sejumlah penggiat lingkungan dan advokat lingkungan Musri Nauli yang menginginkan sanksi jempalo tangan bisa diterapkan kepada para pelaku perambah dan pembakar hutan di Provinsi Jambi ke depannya.
Istilah jempalo tangan adalah perbuatan melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di areal yang dilarang yang juga diatur di dalam Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 11 dan Pasal 13 UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Maka dari itu, Koalisi Pemantau Independen Gakkum Karhutla Jambi memandang perlu mendorong semua pihak untuk melakukan upaya penguatan hak dan nilai-nilai (living low) masyarakat adat sebagai garda depan dalam melindungi, menjaga, dan merawat kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan.
Tim koalisi terdiri atas LSM Pinang Sebatang (PINSE), Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Jambi, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan (YLBHL), Perkumpulan Reforma Agraria Nusantara (PRANA), dan advokat Musri Nauli.
Tim koalisi, kata Koordinator Koalisi Pemantau Independen Gakkum Karhutla Jambi Datuk Usman, telah menemukan fakta bahwa 19 tersangka merupakan bagian dari 50 kepala keluarga yang telah melakukan pembukaan lahan secara ilegal di kawasan restorasi PT REKI.
Pembukaan lahan dilakukan sejak 2018 melalui proses jual-beli kawasan hutan lewat free rider. Lahan dibuka dengan cara pembalakan dan pembakaran hutan serta direncanakan untuk tanaman kelapa sawit (nonhutan).
Padahal, kawasan hutan yang dirambah merupakan area sumber penghidupan masyarakat adat Batin Sembilan (Suku Anak Dalam). Masyarakat Batin Sembilan bergantung pada hutan sekunder tinggi di wilayah tersebut yang menghasilkan beragam jenis buah, getah, obat-obatan atau hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya yang menjadi sumber ekonomi mereka.
Selain itu, masyarakat Batin Sembilan yang lebih suka mengikrarkan sebagai orang batin, atau yang denggan disebut Suku Anak Dalam (SAD) panggilan orang luar sana, Panggilan kamulah, Datuk Rusman telah memiliki sistem hukum (living low) sendiri untuk menjaga kawasan dan kehidupannya.
Sementara itu, advokat lingkungam Musri Nauli mengatakan bahwa detika Tumenggung Orang Adat Batin Sembilan Rombong Kandang ReboBawah BedaroRimbo Harapan Bakal Petas, Batanghari menyebutkan jempalo tangan seketika saya tersentak. Sebagai sebuah nilai, jempalo tangan menarik perhatian di tengah pengetahuan tentang masyarakat Melayu Jambi.
Dalam tutur yang sering disampaikan dalam berbagai pertemuan di berbagai marga dan batin di Jambi, istilah jempalo tangan sama sekali tidak pernah disebutkan. Bahkan, terhadap kesalahan di dalam hutan sekalipun. Jempalo tangan adalah pengetahuan baru sekaligus menunjukkan 'keunikan' di dalam mengenal masyarakat hukum adat di Jambi.
Ketika kebakaran hutan dan lahan yang marak terjadi, saat dengungan dilarang membakar lahan, perangkat hukum normatif seperti larangan membakar begitu menggema.
Entah dengan menggunakan perangkat hukum nasional, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, maupun Pasal 170 KUHP dan Pasal 187 KUHP. Bahkan, berbagai tempat terjadinya kebakaran sering kali menggunakan Pasal 108 UU PPLH.
Dijelaskan Musri Nauli bahwa adat jempalo tangan' adalah perbuatan melakukan perambahan dan pendudukan kawasan hutan, melakukan penebangan kayu dan melakukan pembakaran hutan di areal yang dilarang.
Areal yang sudah dilarang adalah kawasan Masai Rusa dan hulu badak. Selain kedua wilayah itu, masyarakat Batin Sembilan juga mengenal daerah yang dilindungi, seperti lubuk keramat dan Bukit Pisang Hutan .
Tempat-tempat ini menghasilkan damar, rotan, getah jelutung, dan berbagai umbi-umbian. Tempat penting dalam kehidupan masyarakat Batin Sembilan. Ketergantungan hutan yang menghasilkan damar, rotan, getah jelutung, bahkan umbi-umbian menyebabkan masyarakat Batin Sembilan dikategorikan sebagai masyarakat berburu dan meramu (good gathering and hunting period) .
Para ahli kemudian menyebutkan sebagai peradaban sebelum praaksara.
Namun, khusus Batin Sembilan yang terdapat di wilayah Sungai Kandang justru masuk ke dalam Marga Mestong yang berpusat di Sungai Duren.
Hal yang mendasar adalah perbuatan perusakan hutan yang dilakukan perseorangan, kemudian diatur di dalam Pasal 50 Ayat (3) UU Kehutanan.
Sementara itu, perusakan hutan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas dua orang atau lebih kemudian diatur di dalam UU P3H.
"Selain jempalo tangan dikenal juga jempalo kaki, jempalo mato, salah kaki kemudian kaki dipotong, sedangkan salah mato maka mato dicukik. Dicukik artinya bola mata dihancurkan sehingga tidak dapat melihat lagi," kata Musri Nauli.
Norma jempalo tangan, jempalo kaki, dan jempalo mato mengingatkan pelaksanaan an eyes for eyes. Prinsip an eyes for eyes dikenal sebagai hukuman pembalasan setimpal
Istilah jempalo tangan adalah perbuatan yang dilakukan disebabkan karena tangan yang berbuat. Karena tangan yang melakukan kesalahan, tangan kemudian harus menerima sanksi, termasuk potong tangan sebagaimana sering disampaikan dalam hukum Islam Ayat 45.
Selain itu, mekanisme hukuman pembalasan setimpal, kemudian mengalami proses procedural and commutative provisions. Dalam praktik kemudian menghindarkan dan pelarangannya.
Namun, menurut Musri Nauli, masyarakat Batin Sembilan masih menerapkan jempalo tangan adalah penghukuman terhadap besarnya kesalahan terhadap hutan. Tempat penghidupan dan ketergantungan masyarakat Batin Sembilan.
Dengan menerapkan jempalo tangan adalah bentuk perlawanan masyarakat di dalam menghadapi perubahan zaman. Mengingat pentingnya hutan bagi masyarakat Batin Sembilan, sudah saatnya semua pihak menghormati penerapan hukuman jempalo tangan oleh masyarakat Batin Sembilan di dalam cara adaptasi dengan alam.
Ancaman Deforestasi
Perkumpulan Reforma Agraria Nusantara (Prana) Agus mengatakan bahwa setiap tahun menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi hutan.
Dari luas kawasan hutan Jambi yang mencapai 2,1 juta hektare, terdapat 44.31 persen atau 934.000 hektare kawasan hutan mengalami deforestasi. Sebanyak 86 persen atau setara 883.000 hektare hutan yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder . Hutan primer tersisa seluas 684.000 hektare.
Degradasi hutan ini juga bahkan terjadi pada kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan lindung. Sekitar136.000 hektare kawasan hutan suaka alam yang telah terdegradasi dan 56.000 hektare pada hutan lindung. Lahan kritis bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Per September 2019 tercatat 18.584 hektare lahan terbakar.
Transparansy Internasional (TI) bahkan menyebutkan untuk merehabilitasi 934.000 ha hutan yang dalam status kritis tersebut diperlukan biaya sebesar Rp15,8 triliun, artinya dengan dana reboisasi per tahun hanya sebesar Rp21 milyar maka diperlukan waktu selama 752 tahun untuk merestorasi kembali hutan Jambi.
Faktor utama penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan hutan semata-mata atas dasar faktor biofisik dan mengabaikan aspek sosial dan ekonomi dan meski telah ada hutan adat dan skema perhutanan sosial. Namun, tata kelola hutan belum sepenuhnya memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat, kata Agus lagi.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat dan setempat ini penting untuk diterapkan diseluruh wilayah Provinsi Jambi karena mampu berperan sebagai garda pelindung dalam mencegah praktik perusakan dan perambahan hutan. Penguatan peran masyarakat adat ini penting dalam rangka memberikan ruang keadilan dan pencegahan kejahatan lingkungan.
Salah satu potret kasus kejahatan lingkungan dan karhutla yang terjadi pada wilayah hutan harapan atau pada landscape Masyarakat Adat Batin Sembilan di Sungai Jerat, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari. Sebanyak 19 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla dan perambahan hutan.
"Jempalo tangan" untuk perambah dan pembakar hutan
Kamis, 26 Desember 2019 16:04 WIB