Jakarta (ANTARA) - Teka-teki penetapan harga gas industri mulai terjawab. Penetapan harga gas industri hingga mencapai angka 6 dolar As per MMBTU seperti sudah harga mati.
Untuk menurunkan harga gas industri menjadi sebesar 6 dolar As per mmbtu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, Pemerintah menyiapkan tiga opsi yang ditargetkan rampung Maret 2020.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif sempat mengungkapkan, tiga opsi untuk menurunkan harga gas industri ini, pertama mengurangi bagian negara serta efisiensi penyaluran gas melalui pengurangan porsi Pemerintah dari hasil kegiatan KKKS hulu migas dan penurunan biaya transmisi di wilayah Aceh, Sumut, Sumbagsel, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pemerintah saat ini tengah mengkaji lebih detail terkait penyaluran gas. Perdagangan gas yang bertingkat-tingkat menyebabkan harga gas tinggi dan adanya kontrol terhadap jalur distribusi gas.
Sementara dari hulu migas, dilakukan evaluasi komponen biaya dari gas bagian Pemerintah serta kewajaran biaya transmisi. Sebagai contoh, untuk sistem transmisi yang telah terdepresiasi, biayanya dapat disesuaikan atau diturunkan. Hal ini telah diberlakukan untuk wilayah Jawa Timur.
Lebih lanjut Menteri Arifin memaparkan tingginya harga gas juga terjadi akibat formula yang menyebabkan kenaikan otomatis sebesar 3 persen per tahun. "Ini (formula) sudah kita hapus karena alasannya tidak pas untuk diterima. Ini menyebabkan harga gas demikian tinggi," katanya.
Opsi kedua, mewajibkan KKKS memenuhi kebijakan DMO gas. Nantinya, Pemerintah akan membagi gas ke industri-industri yang strategis dan industri pendukung, namun tetap mengacu pada perdagangan yang wajar.
Ketiga, memberikan kemudahan bagi swasta mengimpor gas untuk pengembangan kawasan industri yang belum memiliki/terhubung dengan jaringan gas nasional.
Hingga saat ini, terdapat tiga industri yang harganya telah disesuaikan, yaitu pupuk, dengan perincian: PKT1-4 sebesar 3,99 dolar per mmbtu, Pusri 6 dolar per mmbtu, PIM 6 dolar per mmbtu dan Kujang 5,84 dolar per mmbtu.
Selanjutnya, petrokimia yaitu PKG sebesar 6 dolar per mmbtu, KPI 4,04 dolar per mmbtu dan KMI 3,11 dolar per mmbtu, serta PAU 4 dolar per mmbtu. Juga, baja yaitu Krakatau Steel 6 dolar per mmbtu.
Sedangkan industri yang harga gasnya belum disesuaikan adalah keramik 7,7 dolar per mmbtu, kaca 7,5 dolar per mmbtu, sarung tangan karet 9,9 dolar per mmbtu, serta oleokimia 8-10 dolar per mmbtu.
Baca juga: Pengamat: Penetapan harga gas bumi perlu hitungan cermat
Baca juga: Pengamat nilai harga gas industri masih mahal
Baca juga: Legislator: Penurunan harga gas harus terukur, naiknya industri
Formula
Hingga saat ini, beberapa pakar masih menilai formula yang diracik belum menunjukkan tanda-tanda penurunan ataupun penetapan harga. Salah satu pendapat muncul dari kajian akademis.
Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi mengatakan mahalnya harga gas industri itu dipengaruhi oleh beberapa variabel pembentuk harga gas industri berdasarkan Permen ESDM 58/2017 yang menetapkan formula harga gas bumi, diantaranya sebagai berikut, harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi hulu + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga.
Dari variabel pembentukan harga tersebut, harga gas bumi hulu masih dominan sebesar 70 persen. Sedangkan, biaya pengelolaan infrastruktur dan biaya niaga di midterm hanya mencakup 30 persen dari struktur harga jual hilir.
Harga gas di hulu berkisar 3,5 dolar hingga 8,20 dolar AS per MMbtu, tergantung dari lokasi sumber gas sektor hulu. Harga gas dari lapangan di Sumatera Selatan berbeda dengan Jawa Barat atau Jawa Timur.
Harga di Jawa Barat paling mahal pada 8,2 dolar AS per MMbtu, sedangkan harga di Sumatera Selatan paling mahal 6,55 dolar AS per MMbtu. Harga gas hulu tersebut ditetapkan secara transparan oleh Pemerintah berdasarkan Permen ESDM 06/2016, yang mempertimbangkan 3 variabel utama, terdiri keekonomian lahan, harga gas dalam dan luar negeri, dan nilai tambah pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
Dari data itu, rata-rata harga gas hulu mencapai 5,9 dolar AS per MMbtu, ditambah biaya infrastruktur dan niaga sebesar 4 dolar AS per MMBtu, maka harga jual gas industri existing mencapai 9,9 dolar AS (5, 9 + 4 dolar). Untuk mencapai harga gas industri menjadi 6 dolar AS per MMbtu, maka harus ada pengurangan sebesar 3,9 dolar AS (9,9 - 6 dolar) per MMbtu.
Kalau menggunakan opsi melepas jatah pemerintah sebesar 2,20 dolar AS per MMBtu, maka harga gas di hulu menjadi sebesar sebesar 3,7 dolar AS (5.,9-2,20 dolar) per MMbtu. Dengan asumsi biaya infrastruktur dan niaga tetap sebesar 4 dolar AS per MMBtu, maka harga gas Industri masih sebesar 7,7 dolar AS ( 3,7 + 4 dolar) per MMbtu.
Untuk mencapai harga gas industri menjadi 6 dolar AS per MMbtu, maka setelah pengurangan in take, masih harus ada pengurangan sebesar 1,7 dolar AS ( 7,7-6 dolar) per MMbtu.
Alternatifnya, pengurangan sebesar itu bisa dibebankan pada kontraktor kontrak kerja sama (K3S) atau dibebankan pada biaya infrastruktur dan niaga secara proporsional. Pembebanan, baik pada K3S maupun pada biaya infrastruktur dan niaga, akan memberikan dampak terhadap industri gas di tanah air.
Pembebanan pada K3S hingga mencapai di bawah harga keekonomian akan merugikan bagi K3S. Dampaknya, akan menjadikan investasi di hulu migas menjadi tidak kondusif lagi. Sedangkan pembebanan pada biaya infrastruktur dan niaga, tidak hanya merugikan bagi PGN, tetapi juga akan menghambat keberlanjutan pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen industri.
"Dengan demikian, penetapan harga gas industri sebesar 6 dolar per MMbtu untuk menciptakan daya saing industri sesungguhnya tidaklah gratis karena beban biaya itu harus ditanggung Pemerintah, K3S dan/atau PGN," katanya.
Baca juga: Pengamat: Penurunan harga gas jangan matikan industri "midstream"
Baca juga: Jika impor gas dibuka, Menperin pastikan hanya dipakai oleh industri
Baca juga: Tiga SPBU BBM Satu Harga bakal dibangun di Musi Banyuasin Sumsel
Dampak industri
Nilai 6 dolar As per MMBTU tersebut tidak serta merta langsung berdampak turunnya harga industri. Perlu kajian dan perhitungan yang cermat agar memberikan dampak positif pada industri.
Apakah penetapan harga gas industri sebesar 6 dolar AS per MMBTU benar-benar akan meningkatkan daya saing industri sehingga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan itu memang dibutuhkan kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi
Fahmy menjelaskan total volume konsumsi gas pada Desember 2019 mencapai sebesar 827,4 MMBTU.
Dari total itu, konsumen industri mencapai 445,80 MMBTU atau 53,89 persen dengan konsumen terbesar adalah industri kimia sebesar 120,2 MMBTU atau 14,53 persen untuk 322 pelanggan.
Sedangkan konsumsi non industri sebesar 381 MMBTU atau 46,11 persen, dengan jumlah pelanggan terbesar PT PLN sebesar 340,6 MMBTU atau 41,05 persen.
Dari gambaran awal tersebut, utamanya terkait besaran volume konsumsi gas industri, penetapan harga gas industri belum menjamin akan meningkatkan daya saing industri.
Pasalnya, volume konsumsi per konsumen pada industri, utamanya konsumen industri kimia, relatif masih kecil.
Kalau benar bahwa penetapan harga gas industri sebesar enam dolar AS per MMBTU tidak menaikkan daya saing industri, maka kebijakan harga gas itu justru hanya membebani pemerintah dan industri gas, baik di hulu, maupun tengah (midstream).
"Oleh karena itu, perlu kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi sebelum memutuskan kebijakan harga gas industri," kata Fahmy Radhi.*
Baca juga: Menteri ESDM beberkan cara turunkan harga gas industri
Baca juga: Anggota DPR harapkan SKK Migas ringankan harga gas industri
Baca juga: Harga gas industri dan persoalan yang mengikuti