Jakarta (ANTARA) - Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) 29 persen pada 2030, untuk menghentikan laju pemanasan global.
Transisi energi di Indonesia perlu dipercepat, selain untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris (2015), juga menuju capaian lingkungan hijau dan langit biru (blue sky), sebagaimana yang ditargetkan Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo.
Untuk itu diperlukan panduan berupa peta jalan dan regulasi, mengingat hal ini berkaitan langsung dengan isu perubahan iklim.
Ikhtiar yang dapat ditempuh dalam mitigasi perubahan iklim, di antaranya dengan mengurangi jumlah emisi GRK (gas rumah kaca) di sejumlah sektor, khususnya sektor transportasi dan pariwisata.
Upaya memperbesar serapan GRK, secara generik biasa disebut sebagai “dekarbonisasi”. Kabar baik terkait dekarbonisasi, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata, bisa disimak dalam laporan Bappenas, dengan tajuk Pembangunan Rendah Karbon: Perubahan Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia (edisi Maret 2019).
Laporan tersebut merupakan panduan pemerintah yang memberikan konfirmasi bahwa pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hingga tahun 2045 (seabad RI), dijalankan berdasar komitmen rendah karbon.
Artinya semua pihak cukup optimistis untuk dapat memenuhi komitmen Kesepakatan Paris dan menatap ekonomi hijau dengan lebih cepat.
Produk Gasku
Dekarbonisasi transportasi publik idealnya juga didukung pasokan listrik dari sumber EBT (energi baru dan terbarukan).
Beberapa negara telah menetapkan jadwal untuk penghentian penggunaan energi fosil dan negara yang dikenal sangat agresif adalah Norwegia, Denmark, dan Swedia, yakni sekitar tahun 2030, sementara China dan Jepang menetapkan tahun 2050.
Elektrifikasi transportasi tanpa penggantian pasokan listrik berbahan bakar fosil, sejatinya tidak akan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Kebijakan transportasi publik tidak akan mengurangi emisi secara signifikan, bila tidak didukung oleh pembangkit listrik bersumber EBT.
Dekarbonisasi sektor transportasi mendesak untuk dijalankan, berdasar kenyataan permintaan energinya yang meningkat secara signifikan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk.
Dekarbonisasi transportasi bisa dilakukan dengan pergeseran dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, dengan catatan transportasi publik berbahan bakar energi ramah lingkungan, seperti gas dan biofuel, untuk kemudian bergeser ke energi listrik sepenuhnya.
Pertamina sebagai BUMN di bidang energi, berkontribusi signifikan dalam dekarbonisasi sektor transportasi. Melalui PT PGN Tbk (Subholding Gas Pertamina), memperkenalkan produk pemanfaatan gas alam untuk transportasi, dengan jenama Gasku. Gasku merupakan bahan bakar gas (BBG) bagi kendaraan.
Produk Gasku dalam posisi komplementer sehubungan rencana PGN meluncurkan pilot project konversi compressed natural gas (CNG) bagi 300 unit sepeda motor di Jakarta dan Semarang. Program konversi akan dijalankan PGN sepanjang kuartal pertama 2023.
Menurut Direktur Keuangan PGN Fadjar Widodo, Gasku menawarkan nilai lebih bagi pengguna, yakni dapat lebih hemat dibandingkan energi fosil, dan yang jelas adalah ramah lingkungan.
Daya tempuh juga lebih kompetitif dibandingkan kendaraan lainnya. Oleh karena itu Gasku dapat menjadi pilihan energi pada masa transisi menuju penggunaan EBT (energi baru terbarukan).
Gasku memiliki prospek bagus dalam efisiensi biaya, ketika PGN menyediakan BBG dengan harga Rp 4.500 per liter setara premium (LSP), kisaran harga yang masih terjangkau bagi konsumen umumnya.
Bagi kendaraan yang telah dikonversi menggunakan Gasku, masih dapat menggunakan BBM, mengingat sistem operasi bahan bakar menjadi dual fuel (kombinasi BBM dan gas), seperti model HEV (hybrid electric vehicle).
Dalam praktiknya di perjalanan, setiap kendaraan akan dipasang converter kit, untuk bisa menggunakan CNG yang tersimpan dalam tabung.
Dengan menggunakan Gasku, pengendara dapat fleksibel dalam memilih bahan bakar, artinya bisa berhemat. Terlebih, Gasku bakal menambah jumlah persediaan bahan bakar, sehingga jarak tempuh menjadi lebih jauh.
Pemanfaatan Gasku pada sepeda motor dapat menghemat bahan bakar hingga 55 persen, atau setara Rp5 juta per tahun (konsumsi 2,5 liter BBM pertalite per hari).
Selain itu juga berdampak mengurangi beban subsidi BBM, dan ketergantungan impor BBM setara 91 ribu kilo liter per tahun (untuk 100.000 unit sepeda motor).
Sama halnya dengan konversi gas pada kendaraan logistik dan sepeda motor, konversi BBG untuk kendaraan penumpang roda empat juga memberikan efisiensi.
Pada kendaraan ini, efisiensi yang didapatkan sebesar 55 persen atau setara dengan Rp30 juta per tahun. Per unit kendaraan, volume pemakaian gas sebesar 15 liter per hari.
Konversi BBG yang sudah dilakukan yaitu pada kendaraan logistik pengangkut BBM milik Pertamina dengan sistem dual fuel. Efisiensi biaya yang didapatkan sampai dengan 54 persen dan pengurangan emisi 20 persen. Pemasangan converter dilakukan di SPBG atau MRU (mobile refuelling unit).
Dari sisi komposisi, gas bumi adalah metana yang beroktan tinggi dan rendah emisi, menjadikan emisi BBG sebagai bahan bakar yang rendah emisi hingga 20 persen.
Indonesia memiliki potensi cadangan gas bumi terbilang tinggi. Namun diutilisasi belum maksimal untuk transportasi. Saatnya Holding Migas Pertamina melalui Subholding Gas Pertamina, bisa memberikan kontribusi complementary berupa gas bumi untuk transportasi
Dekarbonisasi sektor wisata
Anak usaha PT Pertamina (Persero), yaitu PT Pertagas Niaga, siap memasok gas alam untuk kebutuhan sektor wisata di Bali.
Dipilihnya Bali sebagai lokasi pilot project dekarbonisasi sektor pariwisata, adalah untuk mendukung eco-tourism kawasan Bali, yang akan menjadi model pariwisata berbasis energi bersih dan terbarukan di masa depan. Bali dipilih juga karena selalu menjadi perhatian komunitas internasional dan Bali dianggap sebagai beranda depan Indonesia.
Pemanfaatan energi biru ini diharapkan dapat mendukung upaya kampanye sektor wisata di Bali, yang tengah mengusung konsep green eco sustainability.
Perseroan menargetkan mampu memasok gas alam cair (LNG) ke infrastruktur pariwisata, seperti hotel dan restoran dengan jumlah 12.000 juta british thermal unit (million metric british thermal unit/MMBTU) setiap bulan.
Target tersebut merupakan upaya perseroan dalam mengajak industri perhotelan di Pulau Dewata untuk beralih ke energi biru melalui LNG ISO Tank.
Harapannya melalui upaya ini, industri perhotelan di Bali dapat lebih bersih dari gas petroleum (LPG), yang selama ini digunakan untuk mendukung operasionalisasi dapur hotel maupun restoran.
Upaya penggunaan energi bersih melalui pemanfaatan gas bumi telah menjadi tren di sektor pariwisata di Bali.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN), Subholding Gas Pertamina siap memasok kebutuhan hotel-hotel bintang lima di Bali, yang telah mulai serius untuk menggunakan energi lebih bersih.
Di samping itu, tuntutan dunia terkait komitmen dalam menurunkan emisi karbon, ikut andil mendorong permintaan gas bumi di Bali. Dampaknya hal itu bisa dikonversi menjadi layanan produk atau jasa yang mengedepankan aspek ramah lingkungan.
Distribusi gas bumi di Bali dilakukan melalui PT Pertagas Niaga, afiliasi Subholding Gas Pertamina, yang saat ini telah memasok compressed natural gas (CNG) di Bali sebanyak 20.000 m3 per bulan dan volume itu diprediksi akan melesat hingga 850.000 m3 per bulan seiring dengan tingginya minat konsumen dan kesiapan infrastruktur.
Melalui PT Gagas Energi Indonesia, PGN Grup menyalurkan CNG di Pulau Bali untuk beberapa pelanggan yang bergerak di bidang perhotelan, diperkiraan mencapai 3.000 m3 per bulan.
Bagi industri jasa wisata, seperti hotel, restoran dan kafe di Bali, Pertagas Niaga optimistis dapat mengalirkan gas bumi, baik CNG maupun liquefied natural gas (LNG), sebesar 12.000 MMBTU per bulan yang dipasok dari gas Jatim maupun Kaltim.
Upaya ini akan menjadi pembuktian betapa gas alam sangat mendukung pengembangan sektor transportasi dan pariwisata yang berkelanjutan.
*) Dr Taufan Hunneman; Dosen UCIC, Cirebon.