Palembang (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki sistem satelit yang dapat menjerat para pembakar lahan karena data yang ditransformasikan dapat menunjukkan lokasi dan asal muasal titik api secara akurat.
“Saat Gakkum KLHK mulai di bentuk 2015, kami sempat kalah pada kasus PT BMH di Pengadilan Negeri Palembang. Meski pada akhirnya, kami menang di tingkat Pengadilan Tinggi, yang jelas kami banyak belajar setelah itu,” kata dia setelah acara “Sosialisasi Penegakan Hukum Karhutla”.
Baca juga: KLHK siagakan satu heli Bell selama siaga darurat Karhutla Riau
Baca juga: Di lokasi rawan karhutla Riau, KLHK bentuk KPH
Ia tak menyangkal bahwa untuk menjerat perusahaan-perusahaan nakal yang tidak patuh dalam penanganan karhutla dibutuhkan alat bukti yang kuat.
Namun, berkat adanya sistem satelit ini maka dapat terlihat asal muasal titik api sehingga perusahaan yang memiliki kewenangan atas lahan tersebut sesuai dengan izin yang diberikan pemerintah menjadi tidak dapat mengelak lagi.
Pada 2019, sebanyak tujuh perusahaan yang beroperasi di Sumatera Selatan dan Jambi telah digugat pemerintah secara perdata yakni PT BMH, PT WAJ, PT WA, PT RAJ, PT RKK, PT ATGA dan PT KU.
Tiga perusahaan diantaranya sudah menerima keputusan final dari pengadilan (inkrah) sehingga diwajibkan membayar ganti rugi dengan total Rp574,5 miliar.
“Baru PT BMH yang membayar ganti rugi ke negara Rp78,5 miliar,” kata dia.
Selain itu, Rasio tidak menyangkal bahwa pemerintah juga melakukan penguatan kapasitas terhadap para penyidik dan ahli hingga pemutahiran laboratorium forensik khusus untuk kasus Karhutla.
Sehingga instrumen penegakan hukum yakni sanksi administrasi, perdata hingga pidana dapat terlaksana jika ada pelanggaran terhadap aturan yang telah diterbitkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri LHK. Dalam aturan tersebut disebutkan standarisasi sarana dan prasarana penanggulangan karhutla yang wajib disiapkan perusahaan hingga SDM-nya berdasarkan luas lahan yang dikuasai.
“Jika areal milik perusahaan terbakar maka pemiliknya harus bertanggung jawab penuh karena itu menjadi resiko investasi,” kata dia.
Namun, penegakan hukum itu tidak dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan indikator-indikator lain, semisal asal muasal titik api yang berasal dari luar konsesi.
“Tidak ada niat dari pemerintah untuk membuat perusahaan ketakutan, semua indikator dipertimbangkan secara logis sesuai dengan aturan hukum. Penegakan hukum ini dilakukan agar mereka patuh, dengan begitu Karhutla dapat cegah,” kata dia.
Baca juga: 20 Hektare lahan milik warga terbakar di Nagan Raya Aceh