Jambi (ANTARA) - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bersama KPHP Tebo Timur Unit X melakukan pelatihan peningkatan kapasitas pengembangan usaha agroforestri pada area izin perhutanan sosial di Kabupaten Tebo.
Koordinator proyek KKI Warsi, Asrul Aziz Sigalingging melalui keterangan resminya yang diterima, Senin mengatakan di lapangan pengelolaan ini masih belum maksimal dilakukan dan untuk meningkatkan pengetahuan pengelola perhutanan sosial khususnya dengan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Untuk itu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bersama KPHP Tebo Timur Unit X melakukan pelatihan peningkatan kapasitas pengembangan usaha agroforestri pada area izin perhutanan sosial di Kabupaten Tebo.
Hingga saat ini luas izin perhutanan sosial di Provinsi Jambi sudah sampai pada angka 200.512 ha atau 407 izin dari total Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) 352.756 ha. Dari total izin tersebut, 37730.65 ha merupakan Hutan Tanaman Rakyat atau HTR dan hampir 75 persen berada di wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari.
Berdasarkan Permen KLHK No. 11 tahun 2020 tentang Hutan Tanaman Rakyat, kelompok pengelola HTR dapat melakukan budidaya tanaman kayu, tanaman bukan kayu, maupun jasa lingkungan.
Sementara itu Irfan Adhi dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah IV Jambi, HTR di Provinsi Jambi hanya mengisi izin HTR dengan melakukan budidaya tanaman kayu.
Dia mengatakan di HTR sudah bisa menanam yang lain, tanaman lain, buat kolam, dan sebagainya serta orientasinya tidak harus kayu terus, tetapi banyak yang dapat dimanfaatkan yang lain.
Berdasarkan analisis Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah disusun oleh komunitas di beberapa izin Perhutanan Sosial di Kabupaten Tebo, pada dasarnya mereka sudah mengalokasikan peruntukan tanaman agroforestri.
Namun lahan peruntukan tersebut belum terkelola karena sebagian besar kelompok pemegang izin belum memahami peluang dan potensi agroforestri. Oleh karena itulah penting dilakukan peningkatan kapasitas pemegang izin mengenai skema agroforestri serta peluang pasarnya.
Agroforestri adalah sistem tanam yang melakukan penanaman tanaman kombinasi atau campuran dalam satu hamparan lahan hutan.
Kombinasi jenis tanamannya dapat berupa campuran tanaman kehutanan dan pertanian dan dengan teknik tanam agroforestri, pemilik lahan dapat memaksimalkan manfaat ekonomi dan keanekaragaman hayati akan tetap didapatkan.
Berbeda dengan pemanfaatan kayu saja memang menguntungkan secara ekonomi, namun biodiversitasnya akan sangat rendah dan sistem tanam ini sebenarnya sudah dipraktikkan di kebanyakan sistem kebun masyarakat dan biasa dikenal juga dengan istilah kebun campur atau campur sari.
Masyarakat sudah mempraktikkan agroforestri sejak dahulu di kebunnya, yang kemudian diteliti oleh ahli untuk dipelajari dan kemudian dikembalikan lagi pada masyarakat dengan praktik-praktik terbaik yang telah dikembangkan.
Sedangkan Dosen Kehutanan, Universitas Jambi, Dr Bambang, mengatakan jika petani yang mencemaskan tanaman tidak bisa mendapatkan unsur hara yang dibutuhkan sehingga tanaman tidak tumbuh dengan maksimal dan hal itu tidak benar, malah akan sangat cocok untuk memaksimalkan penggunaan lahan.
Pada sela-sela tanaman keras bisa menanam tanaman pertanian seperti kedelai dan nanas. Namun kita harus memperhatikan jarak tanamnya.
Keuntungan lain dari sistem agroforestri adalah petani dapat memanfaatkan setiap sampah organik yang ada di kebunnya seperti ranting, daun kering untuk dijadikan pupuk. Dengan pemanfaatan daun, rumput dan ranting kering menjadi pupuk, petani seharusnya tidak perlu lagi melakukan pembakaran dan tentu akan menekan resiko kebakaran hutan.
Pelatihan ini diikuti oleh sembilan kelompok penerima izin perhutanan sosial di Kabupaten Tebo.
KKI Warsi memberikan pengarahan pada peserta mengenai jarak tanam dan kedalaman tanam pada peserta seperti lahan Gapoktan Rimba Lestari yang saat ini sudah di tanami karet.
"Kita tetap bisa melakukan praktik agroforestri dengan tetap memperhatikan jarak tanam dan pupuk untuk tanaman,” kata Lili Angraini dari Warsi.
Salah satu peserta pelatihan, Senan, anggota Kelompok Tani Hutan, HTR Bungo Pandan menyatakan di daerahnya setiap tahunnya selalu terjadi kenaikan air banjir. Tahun ini ada kenaikan 60 sentimeter, oleh karena itu, kita harus menjaga tutupan hutan.
"Dengan agroforestri ini bisa menjadi solusinya,” kata Senan.
Menanggapi hal tersebut, Teguh Al Ikhsan selaku fasilitator komunitas di Tebo kedepannya akan melakukan pendataan potensi per izin kelompok dan akan kita maksimalkan potensi lokal yang ada.
Memang hal ini membutuhkan sinergi segala pihak dan jika memungkinkan kita akan lakukan pelatihan serupa yang dapat menjawab keluhan pemegang izin untuk mengelola wilayahnya.
Sekretaris Bappeda Tebo, Septiansyah menyatakan bahwa kegiatan perhutanan sosial dalam revisi RPJM tahun lalu, sehingga mulai dengan tahun ini seluruh kelompok perhutanan sosial, bisa terfasilitasi pendanaannya melalui dana desa.
Sumber pendanaan kegiatan perhutanan sosial memang masih menjadi kendala pemegang izin untuk mengelola dan mengisi kegiatan pasca izin.
Namun dengan sinergi antar instansi di kabupaten Tebo, pendanaan bukan lagi menjadi kendala bagi kelompok perhutanan sosial karena sudah bisa dianggarkan melalui rencana pembangunan desa.