Jakarta (ANTARA) - Prediksi epidemiolog tentang melonjaknya kasus COVID-19 pascalibur Lebaran 2021 sudah benar-benar terjadi dan prediksi campur tangan varian baru virus corona dalam percepatan penyebarannya juga menjadi kenyataan.
Pada 16 Juni 2021 Satgas Penanganan COVID-19 menyatakan telah terjadi penambahan pasien positif COVID-19 sebanyak 9.944 orang atau mendekati 10.000 kasus.
Jika dibanding rata-rata sepekan sebelum Lebaran yang hanya 5.000 kasus maka kenaikan kasus harian sudah mencapai 72 persen, sesuai dengan prediksi sebelumnya yaitu ada kenaikan antara 50-70 persen jumlah kasus harian sebulan setelah Lebaran.
Angka akumulasi kasus saat ini tercatat sebanyak 1.937.652 kasus COVID-19 sejak kasus pertama terkonfirmasi pada Maret 2020. Di mana saat ini terdapat 120.306 kasus aktif atau pasien yang tengah menjalani perawatan dan isolasi setelah terkonfirmasi positif COVID-19. Angka itu menunjukkan telah terjadi penambahan 3.519 kasus aktif dibandingkan Selasa (15/6) atau lonjakan yang luar biasa.
Baca juga: Rupiah diprediksi melemah, dibayangi pengetatan Fed dan lonjakan COVID
Saat ini tingkat positif atau positivity rate nasional harian untuk spesimen adalah 31,65 persen, padahal sebulan sebelumnya pada 16 Mei angkanya masih kecil, yakni 11,14 persen. Makin tinggi angka ini menunjukkan sebaran virus yang makin meluas dengan cepat. Makin kecil angka ini artinya virus makin bisa dikendalikan penyebarannya. Standar WHO untuk angka ini adalah lima persen yang menandakan penyebarannya masih bisa dikendalikan.
Saat Ramadhan, angka kasus harian di Sumatera tergolong naik dengan cepat sehingga Pemerintah berupaya mencegah pemudik yang kembali ke Jawa membawa serta virus corona dengan melakukan penyekatan dan testing bagi pemudik di Bakaheuni dan Gilimanuk untuk menjaga jangan sampai Pulau Jawa ikut bergerak cepat penyebaran virusnya.
Upaya telah dilakukan maksimal, namun faktanya Pulau Jawa akhirnya mengalami percepatan penyebaran dan terbukti penambahan kasus terbesar pada 16 Juni 2021 seluruhnya berada di Pulau Jawa yaitu provinsi Jawa Barat dengan 2.599 kasus baru, DKI Jakarta 2.376 kasus baru, Jawa Tengah 1.251 kasus baru, Jawa Timur 702 kasus baru dan D.I. Yogyakarta dengan 534 kasus baru.
Kecepatan penyebaran virus kemungkinan bisa menembus puncak pertama kasus harian COVID-19 di Indonesia yang terjadi pada 30 Januari 2020 dengan titik puncak pada angka 14.518 kasus.
Kasus di India yang bisa menimbulkan gelombang kedua juga terjadi dalam waktu singkat sekitar 2,5 bulan dari titik terendah dan bukan tidak mungkin fenomena serupa terjadi di Indonesia berapa bulan mendatang.
India mendapat puncak puncak kedua tercapai pada 6 Mei 2021 dengan kasus harian 414.6188 kasus atau delapan bulan kemudian setelah puncak pertama.
Baca juga: Indonesia berikan hibah 1.400 tabung oksigen kepada India
India sempat menurunkan kasus hariannya di bawah 3.000 kasus, bahkan pada 6 Februari 2021 tercatat hanya ada penambahan 12.000 kasus, namun kemudian meroket sampai mencapai puncak kedua pada 6 Mei 2021, artinya hanya dalam tiga bulan bisa melonjak 345 kali lipat.
Fenomena di India ini menjadi refleksi bagi Indonesia bahwa tanpa pengetatan mobilitas masyarakat dan protokol kesehatan maka bisa saja lonjakan serupa juga terjadi di Indonesia. Titik terendah harian di Indonesia terjadi pada 13 Mei 2021, namun kemungkinan bukan angka sebenarnya karena bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri dimana angka pengujian spesimen mengalami penurunan.
Belum bisa diketahui seberapa besar prosentase varian virus baru itu mendominasi, namun tanpa pengendalian ketat maka dalam beberapa bulan varian baru akan menjadi makin dominan dan gelombang kedua sebaran virus corona akan terjadi juga di Indonesia.
Seperti fenomena di Inggris yang sebelumnya didominasi oleh varian Alfa, namun setelah masuknya varian Delta dari India yang lebih cepat menyebar, saat ini 90 persen penularan baru berasal dari varian Delta. Kecepatan varian ini di Inggris bisa meningkat 70 persen kasusnya hanya dalam waktu dua pekan.
Peringatan Sudah Berulang
Peringatan akan ada tsunami penyebaran COVID-19 jika warga tetap melakukan mudik dan silaturahim tatap muka sudah banyak diberitakan dan berulang-ulang, tetapi pemaksaan mudik masih terus terjadi. Bahkan banyak tempat wisata yang tetap diserbu pengunjung saat libur Lebaran dengan mengabaikan protokol kesehatan.
Peringatan untuk melakukan silaturahim virtual pun banyak diabaikan, dan kelompok-kelompok kecil telah melakukan silaturahim hampir di setiap perkampungan.
Memasuki bulan syawal yang menjadi momentum menggelar pernikahan bag umat Islam karena dianggap sebagai bulan baik juga menjadi pendorong penyebaran lebih virus ini lebih cepat. Banyak yang masih abai menerapkan protokol kesehatan selama gelaran terutama sangat tidak mungkin melakukan jaga jarak optimal selama sesi pengambilan gambar.
Masyarakat tidak menyadari bahwa varian baru yang lebih menular sudah hadir di tengah-tengah mereka apalagi dibawa tamu-tamu yang termasuk orang tanpa gejala.
Baca juga: IHSG awal pekan ditutup merosot, tertekan lonjakan kasus COVID di Asia
Kabupaten Garut menjadi contoh betapa meroketnya sebaran virus corona di sejumlah perkampungan dan itu diakui Bupati Garut Rudy Gunawan. Menurut dia lonjakan kasus penularan wabah COVID-19 yang mencapai 453 orang dalam satu hari, salah satunya disebabkan acara pesta pernikahan yang tidak dapat dikendalikan dan masyarakat sulit menegakkan protokol kesehatan selama acara itu.
Saat ini gelombang tsunamipun mulai bergerak dari sejumlah daerah mulai, Kudus, Bangkalan, Semarang, Temanggung, Yogyakarta, Garut dan Jakarta termasuk Jabodetabek. Bukan tidak mungkin tanpa ketaatan untuk tetap di rumah, virus yang tak terlihat mata itu akan menyebar meluas ke seluruh Jawa.
Wilayah Jabodetabek dipastikan akan menjadi sentra penularan karena sebagian besar penduduk di Jawa mempunyai ikatan keluarga dengan penduduk Jabodetabek, artinya pergerakan silaturahim keluarga sangat dimungkinkan terus terjadi saat pandemi ini.
Keagresifan varian baru
Keagresifan penyebaran varian baru itu sangat cepat, terbukti dari kasus penularan di Cilacap dimana dari 20 anak buah kapal (ABK) saat berlabuh usai melakukan perjalanan dari India, bisa dengan cepat menularkan pada 31 tenaga kesehatan. Setelah di-tracing kepada keluarga tenaga kesehatan itu ditemukan 12 kasus penularan lainnya.
Tenaga kesehatan yang sudah menggunakan alat pelindung diri (APD) saja tetap saja tertular, sehingga perlu ada protokol yang lebih ketat lagi dan bisa jadi jaga jarak satu sampai dua meter sudah tidak lagi efektif mencegah penularan, walau saling memakai masker. Ada yang menyarankan penggunaan double masker dan melarang masker yang sudah terpakai masuk ke dalam rumah.
Bisa dibayangkan jika penduduk Jabodetabek masih berdesakan saat masuk bus way dan komuter line, maka dipastikan penyebaran virus varian baru di Jabodetabek bisa menjadi gelombang tsunami yang lebih besar. Wajar jika Pemprov DKI kemudian meningkatkan operasi yustisi untuk penerapan protokol kesehatan lebih ketat karena mengetahui potensi penyebaran yang sangat cepat dan meluas.
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkap varian delta mempunyai daya tular 60 persen lebih kuat dibanding varian lain.
Varian baru memang tidak mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi, tetapi semakin banyak orang yang terpapar maka semakin banyak tempat karantina dan ruang perawatan yang dibutuhkan. Jika sudah melampaui bebannya maka bukan tidak mungkin kasus kematian juga bisa meningkat karena pasien yang bergejala terlambat mendapat penanganan.
Yang mengkhawatirkan saat ini sejumlah kasus penularan ke tenaga kesehatan terjadi dengan begitu meluasnya seperti terjadi di Kudus, Cianjur, Cibinong, Kota Bogor. Dalam satu bulan terakhir, sebanyak 300 tenaga kesehatan terpapar COVID di Kudus, 35 nakes di Cianjur dan belasan nakes di Cibinong dan Bogor.
Varian Baru
Kementerian Kesehatan terus mengencarkan pemeriksaan varian baru corona dan melaporkan hingga 13 Juni 2021, dari total 1.989 sekuens yang diperiksa, telah dideteksi 145 sekuens Vatiant of Concern (VoC) yang diyakini menular lebih cepat serta memperparah pasien saat jatuh sakit.
Sebanyak 36 kasus terdeteksi sebagai B117 (Alfa), lima kasus B1351 (Delta) dan 104 kasus B1617.2 (Delta) yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Selatan, Riau dan Kepulauan Riau.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengonfirmasi varian virus COVID-19 yaitu B1617.2 dari India banyak ditemukan di Jakarta, Kudus (Jawa Tengah) dan Bangkalan (Jawa Timur).
Keberadaan virus baru di Indonesia juga mengancam program herd imunity karena otoritas kesehatan masyarakat di Inggris melaporkan varian B1617.2 (Delta) ternyata berpengaruh menurunkan efektivitas vaksin dibandingkan varian B117 (Alfa) sebesar15 hingga 20 persen.
Memang yang menjadi perbandingan adalah varian Alfa yang tidak ada di Indonesia, namun yang jelas varian Delta mempunyai kemampuan lebih kuat untuk menginfeksi pada orang yang sudah mendapat vaksin.
Baca juga: Wisma Atlet siapkan 10 ribu tempat tidur untuk antisipasi kasus baru
Salah satu kelemahan di Indonesia adalah identifikasi varian baru memerlukan waktu yang cukup lama sehingga Pemerintah sudah selayaknya mengadakan peralatan yang mampu menganalisa varian Delta lebih cepat sehingga pelacakan kontak erat pada varian baru lebih porsinya lebih banyak dibanding varian lain, ini tidak lain karena kemampuan penyebaran yang lebih meluas.
Menurut Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama, otoritas kesehatan di Inggris telah memiliki alat yang mampu mendeteksi varian Delta hanya dalam waktu 48 jam. Alat itu tentu wajib dimiliki Indonesia dan menjadi tulang punggung pengendalian varian baru, selain upaya pengendalian lainnya seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro.
Sejumlah daerah juga menerapkan istilah mikro lockdown untuk menutup kampung atau RW yang menjadi pusat penularan. Saat ini perlukah lockdown secara lebih luas diberlakukan ?
PPKM Mikro
Sejumlah daerah sudah memperpanjang pemberlakuan PPKM skala mikro sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri untuk membatasi mobilitas masyarakat. Namun melihat kenyataan yang dihadapi adalah varian Delta dan sangat mungkin berkembang menjadi varian dominan maka kebijakan yang lebih ketat mutlak diberlakukan.
Seperti kebijakan lockdown yang diterapkan India sudah mampu mengendalikan sebaran virus corona dimana saat ini kurva harian sudah menunjukkan pelandaian. Puncak kedua di India tercapai pada 6 Mei 2021 dengan kasus harian 414.6188 kasus, namun kemudian menurun tajam sampai 62.224 kasus harian pada 15 Juni 2021 dalam kurun sekitar enam minggu.
Demikian juga Malaysia yang menerapkan kebijakan lockdown di sejumlah sentra penularan sehingga mampu menekan penyebaran virus corona dari kasus harian sebesar 7. 105 kasus pada 3 Mei 2021 menjadi 5. 150 kasus harian pada 15 Juni 2021, dalam waktu lima minggu.
Baca juga: Antisipasi lonjakan kasus, Pangdam dan Kapolda tinjau Wisma Atlet
Namun Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19, Sonny Harry B Harmadi mengemukakan PPKM berskala mikro masih merupakan formulasi tepat dalam menyikapi lonjakan kasus COVID-19 di sejumlah daerah dan tidak perlu menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti yang pernah diberlakukan pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia.
Pemerintah kembali menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro, yang berlaku 15-28 Juni 2021 sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2021.
Ada tiga inti kebijakan itu yakni meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan, membatasi mobilitas dan membatasi aktivitas masyarakat. Misalnya kebijakan bekerja dari rumah yang semula maksimal 50 persen kemudian ditingkatkan menjadi 75 persen pada zona merah dan 50 persen pada zona oranye.
Namun melihat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam menerapkan protokol kesehatan dan sejumlah rumah sakit di daerah yang sudah kewalahan menangani pasien COVID-9, maka selayaknya dicoba penerapan yang lebih tegas dan keras.
Jangan sampai kasus harian meledak lebih meluas sehingga menguras sumber daya kesehatan karena semua pihak perlu menyadari keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang ada.