Jakarta (ANTARA) - Upaya Presiden Joko Widodo mewujudkan Indonesia mengurangi impor kedelai patut diapresiasi. Presiden sangat serius mengawal cita-citanya karena membahas kedelai pada rapat terbatas (ratas) awal pekan lalu.
Langkah ini tepat karena 90 persen problem pertanian justru berada di luar sektor pertanian seperti pada tata ekonomi perdagangan yang tak seimbang.
Bahkan usai rapat terbatas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, langsung memberi keterangan kepada awak media.
Airlangga menjelaskan hampir seluruh kebutuhan kedelai sebanyak 2,4-juta ton tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri karena produksi nasional turun terus.
Presiden pun menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membeli kedelai produksi dalam negeri dengan harga yang telah ditentukan yaitu Rp10.000 per kg.
Belakangan petani Indonesia memang tak bergairah menanam kedelai karena jika harga jual kurang dari Rp10.000 per kg, tak menguntungkan secara ekonomi dan biaya produksi. Sementara kedelai impor dari Amerika Serikat hanya Rp7.000 per kg bahkan dapat lebih rendah.
Tentu persoalan tersebut bukan perkara mudah. Rezim telah berulangkali silih berganti tetapi cita-cita mengurangi impor kedelai belum juga terwujud karena sesungguhnya semua telah terjebak pada mitos bahwa kedelai tanaman asli Indonesia.
Dampaknya publik menganggap sepele penanganan kedelai. Di sisi lain beragam produk kuliner berbahan baku kedelai seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco sudah dianggap asli Indonesia.
Padahal, sesungguhnya kedelai berasal dari China dan baru masuk ke Indonesia sekitar abad ke-16 seiring hubungan dagang dan migrasi warga China ke tanah Nusantara.
Beragam produk kuliner berbahan baku kedelai juga sesungguhnya hasil modifikasi kuliner China yang berakulturasi dengan budaya dan lidah nusantara di tangan kecerdasan para peracik rasa. Tentu semua mafhum, asal muasal teknologi fermentasi yang banyak digunakan dalam pengolahan kedelai memang berasal dari China.
Pemahaman ini penting agar semua pihak tidak meremehkan kerja-kerja para pemulia di bidang pertanian dari Kementerian Pertanian serta petani dalam menghasilkan kedelai. Kerja-kerja domestikasi dari alam liar serta introduksi kedelai dari China membutuhkan waktu yang panjang karena perbedaan iklim dan tanah di bumi Nusantara.
Varietas Unggul
Sebagai contoh, ada catatan Ir Suhartina Ms dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Jawa Timur. Dari data Suhartina terungkap, orba, nama varietas unggul yang dirilis pada tahun 1974, potensi hasilnya hanya 1,5 ton per hektare.
Selama 16 tahun kemudian belum ada kedelai unggul yang potensi hasilnya mencapai 2 ton per hektare.
Baru pada 1991 muncul varietas kedelai dengan potensi hasil 2—2,5 ton per hektare yaitu dieng dan jayawijaya. Kemudian, 12 tahun berikutnya baru lahir varietas kedelai berpotensi hasil tinggi yaitu baluran dan merubetiri masing-masing 3,5 ton per hektare dan 3 ton per hektare. Di masa itu rata-rata produksi kedelai petani 1 ton per hektare.
Meskipun produksi per hektare rendah jika dibandingkan sekarang, tetapi produksi kedelai seolah terlihat tinggi karena impor di masa itu rendah. Musababnya, luas tanam lahan kedelai saat itu linear dengan luas tanam padi. Hampir setiap lahan padi adalah lahan kedelai juga yang diproduksi pada musim berbeda.
Di masa itu dalam setahun petani bertanam padi 1 kali, lalu bertanam kedelai 1 kali, kemudian dibiarkan bera. Terdapat pula pola menanam padi 2 kali, lalu 1 kali tanam kedelai. Kini pola itu berubah karena petani padi menaman 2-3 kali dalam setahun berkat keberhasilan peningkatan indeks pertanaman padi. Dampaknya luas tanam kedelai secara total merosot meskipun produksi per hektare meningkat. Ketika harga impor murah, maka laju impor kedelai pun tak terbendung.
Padahal, kini 19 tahun berselang dari 2003, sesungguhnya Indonesia telah berhasil mendapatkan 11 varietas unggul yang potensi hasilnya di atas 3 ton per hektare.
Mereka adalah Dega 1, Ketara 1, Detap 1, Lentera 1, Denasa 2, Denasa 1, Grobogan, Dering 2, Demas 2, Derap 1, dan Devon 1. Varietas Dega 1 bahkan memiliki potensi hasil 3,82 ton per hektare. Kini rata-rata produksi kedelai petani sudah mencapai 1,5 ton per hektare.
Peneliti Indonesia juga sebetulnya menghasilkan varietas tropis yang lebih genjah dibanding yang dikembangkan di barat yang merupakan varietas subtropis. Umur panen kedelai di Indonesia hanya 80-85 hari atau setara 3 bulan, sementara di barat berkisar 4-5 bulan. Dengan demikian produktivitas kedelai per satuan luas dan per satuan waktu di Indonesia lebih tinggi.
Pada konteks ini upaya pemuliaan peneliti kedelai Indonesia sangat luar biasa meskipun belum menggunakan teknologi Genetically Modified Organism (GMO) yang kontroversi seperti dilakukan para peneliti di barat. Tentu benih-benih lokal karya pemulia Indonesia harus juga dikembangkan agar ketergantungan Indonesia pada impor benih GMO juga dapat dikurangi.
Kedaulatan pangan
Kembali kepada instruksi Presiden untuk kembangkan kedelai merupakan upayanya yang konsisten terhadap pengembangan pangan dari produk lokal.
Sebelumnya, Presiden juga mengeluarkan instruksi pengembangan sorgum untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor.
Presiden sedang menunjukkan bahwa keberhasilan bebas impor pada beras (kecuali beras khusus) dapat ditularkan pada komoditas lain yang juga strategis yaitu sorgum dan kedelai.
Tentu Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) dengan 32 komisariat daerah di setiap provinsi menyambut baik cita-cita tersebut.
Bila pada dekade-dekade terdahulu pengembangan kedelai banyak dilakukan di lahan padi, maka pada era sekarang agroekosistem pertanian kedelai dapat diperluas dengan tumpang sari di antara tebu pada awal tanam tebu.
Kedelai juga dapat dikembangkan di kebun sawit ketika masa replanting alias peremajaan sawit yang cukup luas setiap tahun. Pengembangan kedelai pada program peremajaan sawit berfungsi ganda karena menyumbangkan produksi kedelai secara nasional sekaligus sumber pendapatan petani sawit saat tanaman belum berproduksi. Pola tumpangsari juga menghemat biaya produksi untuk pengeluaran pupuk.
Ketika petani memupuk tebu dan sawit pada awal tanam, pada hakikatnya petani juga sedang memupuk kedelai sehingga lebih efisien.
Catatan lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah kedelai yang dikembangkan di Amerika Serikat berasal dari tanah Mollisol. Ia merupakan tanah berwarna hitam yang sangat subur untuk tanaman pangan. Dengan sedikit input pupuk saja, maka respons kedelai terhadap pemupukan sangat baik.
Di sisi lain, pupuk yang diberikan tidak mudah tercuci dari lahan karena tanah Mollisol kaya bahan organik pada profil tanahnya. Bahan organik mampu ‘memegang’ pupuk dari pencucian oleh air hujan maupun air irigasi sehingga benar-benar tersedia bagi tanaman.
Petani Indonesia dengan kawalan peneliti Indonesia dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Pertanian sebagai kementerian terkait dapat melakukan rekayasa tanah agar bersifat seperti tanah Mollisol.
Caranya, dengan menambahkan pembenah tanah berupa bahan organik yang diolah terlebih dahulu menjadi biochar. Itu adalah arang yang dibuat dengan teknik pirolisis alias teknologi pembakaran minim oksigen. Biochar memiliki pori mikro yang tersebar di permukaannya sehingga dapat memperbaiki sistem aerasi dan draenasi tanah, serta meningkatkan kemampuan tanah menyerap kation dan air.
Tentu agar biochar dapat diperoleh dengan murah, maka harus dibuat dari biomassa yang tersedia di dekat lahan petani. Dengan penambahan biochar yang rutin ke dalam tanah maka tanah akan semakin hitam. Demikian pula kemampuan tanah memegang unsur hara dan air semakin tinggi. Pemupukan yang diberikan semakin efisien untuk mendukung pertumbuhan kedelai.
Terakhir yang perlu ditekankan, biochar hanyalah pembenah tanah sehingga pemupukan organik dan anorganik tetap harus dilakukan.
Demikian pula peningkatan pH tanah perlu dilakukan pada tanah yang tergolong masam. Dengan dukungan teknologi berbasis penelitian ilmiah, maka cita-cita Presiden mengurangi impor kedelai dapat terwujud.
*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Ketua Umum Pengurus Pusat PERAGI/Peneliti BRIN) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti BRIN)