Jakarta (ANTARA) - Indonesia di sepanjang 2022 menghadapi berbagai dinamika dalam sektor ketenagakerjaan, khususnya terkait kebijakan untuk memastikan terjaganya daya beli masyarakat dan kesejahteraan pekerja dan buruh, baik yang bekerja di dalam negeri maupun mereka yang berkarya di luar negeri.
Untuk 2022 sendiri diawali dengan polemik penetapan upah minimum 2022 dan diakhiri dengan isu terkait upah minimum 2023.
Di awal 2022, Indonesia yang saat itu masih mengalami dampak COVID-19 terhadap perekonomian menghadapi drama upah minimum ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022, setelah tenggat waktu 21 November 2021.
Pemprov DKI Jakarta awalnya menetapkan UMP 2022 mengalami kebaikan Rp37 ribu dari UMP tahun sebelumnya pada pertengahan November 2021. Keputusan itu kemudian direvisi dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta 1517/2021 pada 16 Desember 2021, sehingga ada kenaikan Rp225 ribu dibanding upah minimum 2021.
Penetapan pertama dilakukan menggunakan dasar formula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kemudian menggugat keputusan Pemprov DKI Jakarta tersebut dan berhasil memenangkan gugatannya. Dengan ditolaknya banding Pemprov DKI Jakarta oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada November 2022, maka UMP DKI 2022 tetap berlaku pada kisaran Rp4,5 juta.
Namun, berakhirnya polemik UMP 2022 menandai dimulainya isu terkait UMP 2023 di akhir tahun ini.
Menelang penetapan Upah Minimum 2023, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 sebagai dasar kepala daerah memutuskan kenaikan upah minimum di wilayah masing-masing.
Dengan diterbitkannya Permenaker tersebut, maka penetapan UMP dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) untuk tahun depan tidak akan menggunakan PP No.36 Tahun 2021.
Terdapat beberapa perbedaan formula penetapan UMP 2023 jika dibandingkan dengan PP No.36 Tahun 2021. Ada pula ketentuan kenaikan UMP 2023 tidak boleh lebih dari 10 persen.
Sebanyak 34 provinsi sudah menetapkan Upah Minimum 2023 sampai dengan batas akhir 28 November 2022 untuk UMP dan 7 Desember 2022 untuk UMK. Dengan menggunakan rumus formula dalam Permenaker itu, maka terjadi kenaikan rata-rata UMP sebesar 7,35 persen.
Berdasarkan data Kemnaker, Sumatera Barat mengalami kenaikan UMP tertinggi, mencapai 9,15 persen, dengan UMP 2022 adalah Rp2.512.539, naik menjadi Rp2.742.476 pada 2023.
Sementara kenaikan terendah terjadi pada UMP Maluku Utara sebesar 4 persen, di mana UMP Maluku Utara pada 2022 adalah Rp2.862.231 dan naik menjadi Rp2.976.720 pada 2023.
Menaker Ida Fauziyah dalam pernyataannya mengatakan bahwa penetapan upah minimum dengan Permenaker No. 18 Tahun 2022 itu diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat.
Pasalnya, penetapan dengan PP No. 36 Tahun 2021 belum dapat mengakomodasi kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.
Menanggapi hal tersebut, Apindo bersama sembilan asosiasi pengusaha kemudian menggugat aturan Upah Minimum 2023 ke Mahkamah Agung. Hasil gugatan masih dalam proses sampai artikel ini diturunkan.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menilai bahwa Permenaker yang mengatur penetapan UMP dan UMK 2023 itu berdampak terhadap risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penyusutan lapangan kerja.
Dia mendorong agar penetapan upah minimum kembali dilakukan dengan PP No.36 Tahun 2021.
Namun, langkah pemerintah mengeluarkan aturan khusus untuk penetapan UMP dan UMK 2023 itu sendiri diapresiasi oleh pengamat ketenagakerjaan Tadjuddin Noer Effendi yang menyebutnya sebagai langkah yang baik jika dibandingkan kenaikan upah pada 2022.
Terutama karena jumlah kenaikan yang terjadi berada di atas inflasi yang tercatat sebesar 5,42 persen pada November 2022.
"Kira-kira masih menutup inflasi, masih ada tersisa sekian persen yang menyebabkan nilai upah buruh tidak berkurang," kata pengamat dari Universitas Gadjah Mada itu.
Ombudsman RI juga ikut angkat bicara terkait penetapan upah minimum 2023 yang menggunakan Permenaker tersebut.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyampaikan bahwa pihaknya mendorong agar pemerintah terus melibatkan pemangku kepentingan atau aktor kunci ketenagakerjaan dalam pembahasan kebijakan-kebijakannya.
Hal itu dilakukan untuk memastikan adanya dukungan pelaksanaan, terutama kebijakan yang berdampak kepada banyak pihak.
Dia menyoroti bahwa tarik ulur para pemangku kepentingan ketenagakerjaan dapat merugikan pekerja, mengingat masih adanya perbedaan pendapat terkait kebijakan itu, termasuk soal penetapan UMP 2023.
Adanya kepastian usaha dan hukum juga dapat membuat sektor ketenagakerjaan tetap kondusif di tengah potensi resesi yang membayangi dunia, yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk konflik Rusia dan Ukraina.
Di tengah berbagai polemik terkait UMP dan UMK, Menaker kembali mengingatkan bahwa upah minimum yang telah ditetapkan hanya berlaku bagi pekerja dan buruh dengan masa kerja satu tahun ke bawah.
Untuk pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun seharusnya dilakukan dengan sistem pengupahan berbasis produktivitas atau yang dikenal sebagai struktur dan skala upah.
Ida menyoroti pentingnya penerapan struktur dan skala upah di perusahaan, mengingat hal itu merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan.
Manifestasi visi hubungan industrial yang terjadi baik akan dapat terlihat dari penghargaan perusahaan terhadap pekerja dan buruh yang produktif melalui upah yang diterimanya.
Dengan sistem pengupahan seperti itu diharapkan pekerja akan tetap konsisten meningkatkan produktivitas untuk memperoleh upah yang dapat menyejahterakan pekerja Indonesia dan keluarganya.
Sistem pengupahan yang berbasis produktivitas diharapkan akan berevolusi menjadi pengupahan efektif dan berkeadilan untuk mendorong, tidak hanya keberhasilan perusahaan, tapi juga kesejahteraan pekerja di Indonesia.