Jakarta (ANTARA) - Di hadapan sekitar 400-an undangan dalam pembukaan Hannover Messe pada 16 April 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen Indonesia untuk menerapkan ekonomi hijau, di antaranya dengan menetapkan target 23 persen energi Indonesia berasal dari energi baru terbarukan pada 2025, sedangkan pada 2050 seluruh pembangkit batu bara ditutup.
Presiden Jokowi juga menyebut Indonesia ingin memastikan bahwa transisi energi menghasilkan energi yang terjangkau bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, butuh investasi, butuh pembiayaan yang sangat besar, setidaknya 1 triliun dolar AS sampai 2060.
Transisi energi sejatinya bukan hanya tentang perubahan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan, tetapi menyangkut aspek yang jauh lebih kompleks termasuk soal alih teknologi hingga perubahan cara pikir pemanfaatan energi.
"Sebenarnya Indonesia dan Denmark tidak bisa dibandingkan secara 'apple to apple' karena karakternya berbeda. Konsumsi energi Indonesia per kapita pun terus meningkat dari 1990 sampai 2020 sedangkan Denmark makin menurun karena makin hemat energi," kata analis senior CONCITO Denmark Torsten Hasforth melalui konferensi video dalam program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta pada April 2023.
ICJN adalah program kerja sama Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Kedutaan Besar Denmark untuk 10 orang jurnalis Indonesia agar dapat belajar mengenai perubahan iklim dan solusinya secara khusus dari pengalaman Denmark.
"Di sini, bukan saja masalah rakyat Indonesia bisa meningkatkan akses energi termasuk listrik tapi juga bagaimana Indonesia bisa 'mem-balance energy per capita' seperti yang dilakukan oleh Denmark," tambah Torsten.
Berdasarkan data lembaga pemikir hijau Denmark CONCITO, penggunaan listrik Indonesia terus meningkat yaitu 100 terrawatt-hour atau TWH pada 1990, 350 TWH (2000), 600 TWH (2010), 1.020 TWH (2020) sedangkan Denmark termasuk stabil pada periode 1990-2020 yaitu berkisar di 40 TWH.
Torsten menyebut, Denmark titik awal negaranya serius untuk melakukan transisi energi adalah saat krisis minyak pada 1980 karena saat itu 80 persen sumber energi Denmark berasal dari minyak bumi, padahal Denmark tidak punya sumber minyak bumi.
"Jadi kami bergeser ke sumber energi lain karena kelangkaan energi hanya membuat rakyat membayar sangat mahal, jadi penting untuk melakukan efisiensi energi meski ekonomi terus tumbuh. Buktinya GDP Denmark tumbuh 157 persen," tambah Torsten.
Pada tahun 1980-an Denmark hanya punya 15 pembangkit listrik yang dikenalikan seluruhnya oleh pemerintah tapi makin lama, makin banyak pembangkit listrik milik individu/korporasi yang semuanya terintegrasi.
Saat ini Denmark memiliki ribuan pembangkit dengan rincian pembangkit tenaga angin (42 persen), matahari (4 persen), hidro (12 persen), biofuel (18 persen), sampah (5 persen), nuklir (2 persen) walau masih ada pembangkit dari bahan bakar fosil (17 persen).
Persoalannya, meski Denmark yang bergabung dalam negara-negara maju termasuk Uni Eropa (UE) sudah membuat paket kebijakan Energi Hijau bernama "Fit for 55 package" yaitu untuk memangkas emisi gas UE sbanyak 55 persen pada 2030, penggunaan energi fosil di tingkat global masih mencapai 80 persen.
Sejak perang Rusia-Ukraina, Jerman selaku negara pendorong transisi energi namun masih bergantung pada Rusia untuk sekitar suplai gas alam, batu bara dan minyak bumi kembali ke batu bara. Aktivasi pembangkit listrik tenaga batu bara juga dilakukan Belanda, Austria, dan Italia.
Konsumsi batu bara global pun meningkat 5,8 persen selama periode 2020-2021. Pada 2021 di mana ekonomi global mulai berjalan beriringan dengan pandemi COVID-19, konsumsi batu bara tercatat mencapai 7.947 juta ton. Kajian ReforMiner Institute (2022) menunjukkan peningkatan konsumsi batu bara tersebut terutama terjadi di Amerika Utara sebesar 16,1 persen, Eropa 8,6 persen, dan Asia 5,2 persen.
Padahal peningkatan tersebut membuat emisi karbon dioksida dari batu bara pada 2024 diproyeksikan akan mencapai lebih dari 3 giga ton atau lebih tinggi dari target emisi yang ditargetkan.
Sedangkan bentuk energi fosil lain yaitu gas alam sebagai sumber pembangkit listrik global juga masih signifikan yaitu sekitar 22,8 persen. Selama 2011-2020, produksi listrik dari gas tumbuh sekitar 2,5 persen per tahun.
Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batu bara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen sedangkan gas bumi 22 persen.
Pada kenyataannya, data menunjukkan energi fosil menyediakan 87,26 persen untuk sumber listrik yaitu batu bara (66,03 persen), gas alam (19,01 persen) dan minyak bumi (2,22 persen).
Batu bara juga masih menjadi komoditas energi andalan sebagai pendapatan negara melalui ekspor batu bara dimana sekitar 71 persen dari produksi batu bara diekspor. Data PLN pada 2021 memperlihatkan listrik yang diproduksi dari pembangkit batu bara sudah mencapai 75 persen dari total listrik yang diproduksi.
Sedangkan gas bumi yang diharapkan dapat menyentuh angka 22 persen pada tahun 2025, justru mengalami penurunan persentase dibandingkan 5 tahun lalu. Artinya baru sekitar 16,8 persen dari total pasokan energi primer pada 2021 bersumber dari gas bumi.
Sementara capaian energi baru dan terbarukan (EBT) sampai akhir 2021 sebesar 12,2 persen. Hal tersebut terutama dipengaruhi peningkatan bahan bakar nabati (BBN), penambahan pembangkit EBT baru serta mulai diperhitungkannya pemanfaatan EBT untuk pembangkit termasuk pembangunan pembangkit listrik off-grid (tidak tersambung dalam jaringan listrik PLN).
Capaian itu masih jauh dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yakni sebesar 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2050.
Peran EBT perlu ditingkatkan dengan mendorong pembangunan PLTS, PLTB, PLTP, PLTA dan PLTMH, bioenergi, pengembangan pemanfaatan potensi energi laut, termasuk pemanfaatan sumber daya energi nuklir dan pemanfaatan EBT langsung ke sektor transportasi, industri, rumah tangga dan sektor lainnya.
Tantangan transisi energi
Sesungguhnya, transisi energi bukanlah hal mudah. Dalam S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition oada 17 Maret 2023, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan ada tiga tantangan besar dalam transisi energi.
Pertama, terkait dengan akses energi bersih karena tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern khususnya energi untuk elektrifikasi dan "clean cooking".
Tantangan kedua, terkait dengan masalah pendanaan. Proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar, transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru, artinya juga dibutuhkan investasi yang baru. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.
Tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan sekaligus tersedianya SDM yang unggul untuk mendukung transisi energi.
Indonesia sendiri punya potensi energi terbaurkan yang melimpah. Data Kementerian ESDM menunjukkan, potensi energi terbarukan di Indonesia pada 2021 mencapai 3.643 GW, sedangkan yang termanfaatkan baru sekitar 11,6 GW atau sekitar 0,32 persen saja. Tenaga surya adalah potensi paling melimpah di Nusantara sebesar 3.294,4 GW, disusul potensi bayu 154,9 GW, hidro 95 GW, bioenergi 56,9 GW, panas bumi 23.900 GW, dan samudra (arus laut) 17.900 GW.
PLN menyatakan sudah siap membangun pembangkit listrik EBT dengan kapasitas 10,6 Giga Watt electrical (GWe) hingga 2025. Jika terealisasi, target pangsa EBT 23 persen dalam bauran energi pada 2025 akan tercapai, bahkan terlampaui.
Namun upaya mengonversi 77 persen sisanya menjadi EBT hingga 2060 adalah pekerjaan rumah berat dan harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, perbankan korporasi hingga seluruh masyarakat.
Di Indonesia sendiri, bank-bank BUMN masih minim dukungan terhadap energi baru. Bank-bank BUMN justru terlibat sindikasi pembiayaan proyek-proyek energi batu bara skala masif yang lebih banyak berdampak kerusakan lingkungan.
Padahal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam delapan tahun ke depan, Indonesia setidaknya butuh dana 20 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS atau berkisar Rp 284 triliun-Rp 426 triliun untuk merealisasikan transisi energi terbarukan mencapai 5.500 MW.
Mencari pembiayaan
Indonesia sesungguhnya sudah mengikatkan perjanjian dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah skema pendanaan transisi energi yang diluncurkan Presiden AS JOe Biden dan para pemimpin negara International Partners Group (IPG) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022.
Komitmen pendanaan JETP mencapai 20 miliar dollar AS atau Rp314 triliun dengan pembagian 10 miliar dolar AS dari Amerika Serikat dan Jepang sedangkan sisanya swasta dalam waktu 3-5 tahun dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees dan pendanaan swasta.
Pihak-pihak terkait akan menyusun Comprehensive Investment Plan (CIP) atau perencanaan komprehensif untuk investasi yang antara lain berisi daftar proyek yang didanai selama 3-6 bulan. Pengakhiran lebih dini operasi pembangkit litrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara menjadi salah satu programnya. Sekretariat JETP untuk Indonesia sudah diresemikan pada 16 Februari 2023 di kantor Kementerian ESDM.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dana JETP bisa dipakai untuk pengembangan energi bersih, percepatan pensiun dini PLTU batu bara, program peningkatan efisiensi energi serta pengembangan industri pendukung EBT.
Namun Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan publik harus melihat dana JETP dengan kritis. "Banyak orang tertarik dan saya juga menaruh harapan, tapi harus dilihat secara kritis karena masih banyak 'loophole'," kata Leonard dalam program ICJN.
Leonard menilai bahwa meski JETP bertujuan untuk menghentikan dan mengganti fungsi PLTU batu bara namun berdasarkan Peraturan Presiden No 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik terdapat sejumalh pengecualian.
"Dalam pasal 3 Perpres 112/2022 disebutkan pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Perpres dan juga dikecualikan untuk PLTU yang terintegrasi dengan industri, berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen serta beroperasi paling lama 2050, sehingga masih banyak pengecualian-pengecualian berdasarkan aturan ini," ungkap Leonard.
Persoalan lain, menurut Leonard, JETP juga akan membuat Indonesia menambah utang baru. "Kita harus minta 'consessional loan' (utang dengan bunga rendah) lebih dominan dibanding 'commercial loans'," tambah Leonard.
Intinya, pendanaan JETP harus transparan, akuntabel, dan partisipatif agar Indonesia mencapai transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan.
Dengan transisi energi, maka dengan sendirinya juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru hijau (green jobs). Di tingkat global, transisi ini diperkirakan menciptakan 395 juta lapangan pekerjaan hingga 2030.
Sektor yang paling potensial adalah pertanian, pariwisata, dan energi. Khusus sektor energi, realisasi pekerjaan baru di bidang energi terbarukan menyerap 12 juta tenaga kerja pada 2020. Proyeksi sampai 2050 mendatang diperkirakan menyerap 43 juta tenaga kerja.
Sudah sewajarnya setiap pihak berkolaborasi untuk mencapai target transisi energi.