New York (ANTARA) - Harga minyak menguat ke level tertinggi baru tiga bulan pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), dan mencatat kenaikan bulanan tertajam sejak Januari 2022, didukung oleh tanda-tanda pengetatan pasokan global dan meningkatnya permintaan sepanjang sisa tahun ini.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September bertambah 1,22 dolar AS atau 1,5 persen, menjadi ditutup pada 81,80 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Baik Brent maupun WTI mencapai level tertinggi sejak akhir April untuk sesi ketiga berturut-turut pada Senin (31/7), setelah membukukan kenaikan mingguan kelima berturut-turut pada Jumat (28/7).
Arab Saudi diperkirakan akan memperpanjang pengurangan produksi minyak sukarela sebesar 1 juta barel per hari untuk satu bulan lagi termasuk September. Produksi Saudi turun 860.000 barel per hari pada Juli, sementara total produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak turun 840.000 barel per hari, sebuah survei Reuters menemukan pada Senin (31/7).
"Harga minyak mentah menyelesaikan bulan yang solid dengan catatan tinggi karena prospek permintaan tetap mengesankan dan tidak ada yang meragukan bahwa OPEC+ akan menjaga pasar ini tetap ketat," kata analis OANDA Edward Moya.
Persediaan minyak juga mulai turun di tempat lain, terutama di AS, di mana pemerintah telah mulai mengisi ulang Cadangan Minyak Strategis (SPR) dari level terendah dalam beberapa dekade. Lima analis yang disurvei oleh Reuters pada Senin (31/7), memperkirakan rata-rata persediaan minyak mentah AS turun sekitar 900.000 barel dalam seminggu hingga 28 Juli.
"Setelah akhir rilis SPR dan kekhawatiran resesi dan pengurasan likuiditas karena kekhawatiran stabilitas bank, yang menyebabkan pasar mengabaikan tekanan pasokan yang membayangi, defisit pasokan yang akan datang menjadi terlalu besar untuk diabaikan," kata analis Price Futures Group, Phil Flynn.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa permintaan minyak global naik ke rekor 102,8 juta barel per hari pada Juli dan merevisi permintaan tahun 2023 sekitar 550.000 barel per hari karena perkiraan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat di India dan AS, mengimbangi penurunan konsumsi China.