Persoalan dan konflik agraria di Tanah Air seolah menjadi pembahasan yang tak kunjung usai. Penyerobotan, mafia tanah, hingga hilang atau beralihnya kuasa tanah ulayat ke negara, merupakan beberapa perkara yang sering dijumpai.
Salah satu penyebab beralihnya tanah ulayat ke negara bisa jadi imbas masyarakat hukum adat itu sendiri yang tidak mempunyai alas hukum yang jelas untuk membuktikannya (sertifikat).
Presiden Joko Widodo kala melantik Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggantikan Sofyan Djalil, memerintahkan, agar konflik agraria secepatnya dituntaskan.
Konflik agraria menjadi permasalahan krusial yang kerap merugikan masyarakat, namun menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti korporasi.
Usai mendapat arahan dan perintah dari Presiden, Menteri Hadi Tjahjanto segera mengumpulkan jajarannya menginventarisasi apa saja yang menjadi permasalahan agraria di Indonesia.
Sebagai mantan Panglima TNI, Hadi mempunyai strategi-strategi khusus untuk menuntaskan tugas berat yang dipercayakan negara kepadanya.
Tak butuh lama, ia menemukan beragam permasalahan agraria, salah satunya terkait dengan kepemilikan tanah ulayat masyarakat hukum adat, termasuk di Provinsi Sumatera Barat.
Selama ini, masyarakat hukum adat kerap kehilangan hak atas tanah yang telah dikuasai secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Sebagai contoh, saat tanah ulayat dikelola suatu korporasi menggunakan hak guna usaha (HGU), tak jarang tanah itu berakhir dengan penguasaan negara setelah HGU berakhir.
Sebab, apabila HGU berakhir dan masyarakat hukum adat tidak bisa membuktikan kepemilikan atas tanah itu, maka negara akan mengambil alih. Di satu sisi, masyarakat adat memahami tidak mempunyai pijakan yang kuat untuk menyatakan itu merupakan tanah mereka karena tidak mengantongi sertifikat.
Namun di sisi lain, masyarakat hukum adat juga tidak ingin kehilangan tanah mereka begitu saja. Melihat permasalahan tersebut, Hadi Tjahjanto tak ingin masyarakat selalu berada di posisi yang dirugikan.
"Permasalahan yang kami temukan, masyarakat hanya ingin mempertahankan tanah ulayat supaya tidak jatuh ke tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab," kata Menteri Hadi.
Lewat terobosannya, ia mengumpulkan para tetua atau tokoh adat untuk membahas persoalan tersebut. Setelah melalui kajian mendalam terutama aspek hukum, sosial, dan sebagainya, Hadi menciptakan sejarah baru lewat penerbitan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Gebrakan Menteri Hadi tersebut kali pertama dicanangkan di Nagari (Desa) Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Dipilihnya Ranah Minang sebagai proyek percontohan bukan tanpa alasan.
Sebab, Provinsi Sumatera Barat merupakan satu dari sekian daerah di Tanah Air yang permasalahan konflik agraria cukup kompleks, terutama yang terkait dengan tanah ulayat.
Bahkan, secara khusus, ia memerintahkan jajarannya di daerah segera menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan di Provinsi Sumatera Barat.
Apalagi, sekitar 352.000 hektare (ha) tanah ulayat di Ranah Minang belum mengantongi sertifikat sehingga, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik agraria di kemudian hari, baik di internal adat maupun dengan pihak lain apabila legalitas tanah tidak segera diurus.
Sertifikasi hak tanah ulayat di Nagari Sungayang tersebut merupakan janji yang ditepatinya kepada masyarakat. Sebab, jauh sebelumnya, Bupati Kabupaten Tanah Datar Eka Putra menyambangi Hadi ke Jakarta. Kala itu, Eka meminta bantuan Hadi untuk menyelesaikan konflik agraria di Luhak Nan Tuo (sebutan Kabupaten Tanah Datar).
Selain itu, penyerahan sertifikat hak tanah ulayat tersebut juga bagian dari janji yang diucapkan Hadi Tjahjanto kepada Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat saat mengunjungi Tanah Minang medio Juni 2023.
Sertifikat yang diserahkan di Nagari Sungayang tersebut berupa sertifikat HPL atas nama Kerapatan Adat Nagari Sungayang yang di dalamnya terdiri dari empat suku. Keempat suku itu yakni Suku Chaniago, Suku Piliang, Suku Kuti Anyir, dan Suku Mandailing dengan penggunaan sebagai lahan pertanian seluas 107.714 meter persegi.
Negara ditegaskan melindungi dan memberikan jaminan hak atas tanah masyarakat hukum adat dan melindungi kelestarian tanah ulayat.
Selain di Kabupaten Tanah Datar, Menteri kelahiran Malang 8 November 1963 tersebut juga menyerahkan sertifikat hak tanah ulayat di Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang dan Sungai Kamuyang, Kabupaten Limapuluh Kota.
Selain di Sumatera Barat, dalam waktu dekat Kementerian ATR/BPN juga akan menyerahkan sertifikat yang sama kepada masyarakat hukum adat di Jayapura, Manokwari, dan beberapa daerah lainnya.
Kepastian Hukum
Selain untuk melindungi hak masyarakat hukum adat, penerbitan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat juga memberikan kepastian hukum bagi para investor yang ingin berinvestasi di Tanah Air.
Dengan keluarnya sertifikat tanah ulayat tersebut maka setiap investor yang ingin berinvestasi akan merasa lebih aman dan nyaman. Sebab, tanah tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum yang jelas. Artinya, konflik masyarakat hukum adat dengan korporasi atau perusahaan dapat dihindari.
Pada sertifikat HPL tanah ulayat ini, di atasnya bisa diterbitkan sertifikat berjangka. Sertifikat berjangka dapat diurus oleh masyarakat nagari ataupun para pelaku usaha dari luar. Namun, semua itu harus seizin dan berdasarkan perjanjian kerja sama dengan niniak mamak (tokoh adat). Hal inilah yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.
Kepala BPN menegaskan meskipun diberikan hak berjangka di atas HPL, dan setelah kerja sama berakhir, tanah tersebut tidak akan hilang atau dikuasai negara apalagi korporasi.
Jadi, masyarakat akan menerima manfaat ekonominya dan tanah-tanah adat tidak akan hilang karena bakal kembali ke masyarakat hukum adat.
Secara umum Pemerintah dapat menerbitkan sertifikat hak tanah ulayat dengan catatan tanah tersebut tidak masuk kawasan hutan. Artinya, tanah yang akan disertifikatkan harus clean and clear, tidak ada permasalahan hukum.
Sementara itu, Ketua LKAAM Sumatera Barat Fauzi Bahar Datuak Nan Sati mengatakan selain memberikan kepastian hukum, sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat sekaligus untuk mencegah konflik anak kemenakan (suku).
"Agar anak dan kemenakan tidak berperkara di kemudian hari, mari pusako randah apalagi pusako tinggi kita lindungi dengan disertifikatkan Kementerian ATR/BPN," katanya.
Selama ini konflik atau perkara agraria di Ranah Minang cenderung terjadi antara satu suku. Sebagai contoh, Suku Chaniago dengan Chaniago. Sementara, konflik antarsuku bisa dikatakan jarang terjadi.
Oleh karena itu, adanya mekanisme penerbitan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat menjadi momentum penting dan harus dimanfaatkan masyarakat Minangkabau agar tanah yang dikuasai secara adat terlindungi secara hukum maupun konflik.
Negara sudah memberikan kesempatan menerbitkan sertifikat komunal kepada tanah milik suku, nagari atau desa, kaum atau adat.
Akademisi sekaligus Rektor Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat Prof Yuliandri menyebutkan setidaknya terdapat tiga aspek utama yang mesti diperhatikan sebelum mendaftarkan tanah ulayat ke Kementerian ATR/BPN.
Pertama, tanah ulayat tidak berada dalam kawasan hutan, kedua tanah ulayat tidak masuk dalam peta pendaftaran hak atas tanah di Kementerian ATR/BPN, dan terakhir tanah ulayat bebas dari sengketa atau potensi yang mengarah pada masalah sosial maupun hukum.
Terkait penyerahan sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Nagari (desa) Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, yang juga menjadi proyek percontohan, penatausahaan tanah ulayat merupakan upaya pendaftaran bidang tanah ulayat yang sudah diketahui subjek.
Termasuk di dalamnya objek dan hubungan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terbitnya sertifikat hak pengelolaan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Kabupaten Tanah Datar yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN, tidak lepas dari kajian-kajian hukum yang dilakukan Unand.
Melalui kajian yang telah dilakukan maka penyerahan sertifikat tersebut merupakan tindak lanjut yang manfaatnya dapat diambil secara optimal, khususnya keberadaan tanah ulayat demi kepentingan anak kemenakan.
Kebijakan progresif Kementerian ATR/BPN terutama dalam melindungi keberadaan tanah ulayat, harus terus dilanjutkan.
Selain meminimalisasi konflik agraria, penyertifikatan tanah ulayat itu bakal memberi kesejahteraan rakyat.