Jakarta (ANTARA) - Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari menyatakan bahwa Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 20 November merupakan momen untuk menciptakan lingkungan di sekitar anak yang bebas dari asap rokok.
Ia menegaskan prevalensi ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, seperti China (48,3 persen), Bangladesh (46,7 persen), dan Thailand (46,8 persen).
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tahun 2019, selain di rumah, anak-anak yang terpapar asap rokok di tempat umum tercatat sebesar 67 persen dan di sekolah 56 persen.
Tanggal 20 November yang diperingati sebagai Hari Anak Sedunia adalah peringatan untuk menandai diadopsinya Konvensi Hak Anak (KHA) pada 1989 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia sudah meratifikasi KHA pada 26 Januari 1990 dan disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.
"Meski Indonesia sudah 34 tahun meratifikasi KHA, anak-anak Indonesia belum sepenuhnya dapat menikmati lingkungan sehat bebas dari asap rokok, bebas dari paparan iklan rokok serta mendapatkan perlindungan dari kemudahan akses rokok," ujarnya.
Situasi ini, sambung dia, jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam KHA, yakni pasal 24 tentang hak kesehatan tertinggi, pasal 6 KHA tentang hak atas kehidupan, pasal 17 tentang perlindungan dari informasi yang membahayakan kesejahteraan, dan pasal 3 tentang kepentingan terbaik bagi anak.
Padahal, kata Lisda, selama 34 tahun meratifikasi KHA, Indonesia berhasil memasukkan isu perlindungan anak dalam berbagai peraturan dan undang-undang sebagai upaya mendasar dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Beberapa contoh, di antaranya memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Namun, belum ada kebijakan yang jelas tentang paparan asap rokok, padahal, merokok selama kehamilan meningkatkan risiko komplikasi, seperti keguguran, kelahiran prematur dan merupakan faktor risiko sindrom kematian bayi mendadak.
"Kondisi ini jelas bertentangan dengan dua pasal dalam KHA, yakni pasal 6 tentang hak hidup dan Pasal 24 tentang hak anak atas kesehatan," ucap Lisda.
Selain itu, keluarga yang terpapar asap rokok juga berisiko menderita penyakit pernafasan, infeksi telinga, dan meningkatkan risiko kematian mendadak pada anak-anak serta remaja.
Sebagai negara yang terikat Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia wajib memberikan prioritas pada kepentingan terbaik anak dalam semua tindakan yang berdampak pada anak agar tidak membahayakan kesehatan dan kesejahteraan anak.
"Termasuk kewajiban mengatur industri tembakau dengan larangan iklan, promosi dan sponsor rokok di seluruh media, larangan penjualan rokok batangan, mencantumkan peringatan kesehatan dengan ukuran yang besar, dan bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkannya," tuturnya.
Dengan kebijakan yang jelas tentang rokok, target penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024 tentu akan tercapai.