Hal itu disampaikan Didik merespons pencabutan izin usaha BPR di beberapa wilayah yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada awal tahun ini, terdapat enam BPR yang telah ditutup antara lain BPR Wijaya Kusuma, BPRS Mojo Artho, BPR Usaha Madani Karya Mulia, BPR Bank Pasar Bhakti, BPR Bank Purworejo, dan BPR EDC Cash.
"Masyarakat tidak perlu khawatir atau menjadi tidak percaya kepada BPR, karena BPR asal dikelola dengan baik dan sehat. Pun kalau ada BPR yang terpaksa ditutup, nasabah tidak perlu khawatir karena simpanannya akan dijamin dan diganti oleh LPS," kata Didik saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Rabu (28/2) malam.
Dengan adanya penutupan sejumlah BPR pada awal tahun 2024, kata dia, hal itu tidak berarti seluruh BPR dikatakan tidak baik. Didik menekankan bahwa masih banyak BPR yang selama ini dikelola dengan baik.
Menurut dia, kebanyakan BPR yang ditutup karena mengalami permasalahan mendasar mulai dari tindak pidana perbankan seperti kecurangan (fraud) hingga tata kelola (governance) dan manajemen risiko yang lemah.
"Jadi, tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan, biasa aja. Biasanya di BPR ini hampir 100 persen nasabahnya di bawah Rp2 miliar, jadi kebanyakan ter-cover (oleh LPS). Dari 99,97 persen itu ter-cover oleh LPS. Hanya 1-2 nasabah yang simpanannya di atas Rp2 miliar," kata Didik.
Sebelumnya, pada Januari 2024, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa memprediksi bahwa masih akan ada BPR yang bangkrut pada tahun ini. Berkaca pada tren dalam 18 tahun terakhir, rata-rata terdapat 7 hingga 8 BPR yang tumbang per tahunnya.
LPS menilai tumbangnya beberapa BPR tidak begitu berdampak terhadap perekonomian nasional secara signifikan. LPS juga memastikan bahwa tren kebangkrutan BPR setiap tahun bukan dikarenakan melemahnya kondisi ekonomi Indonesia, melainkan karena praktik fraud yang sering terjadi.