Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika meminta pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan impor beras dan mulai merumuskan strategi jangka panjang impor selama lima tahun.
Saat melakukan inspeksi di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Jumat, Yeka mengatakan berdasarkan historis, Indonesia selalu mengimpor beras, meskipun ada beberapa tahun di mana impor tidak dilakukan.
Ia menerangkan data menunjukkan Indonesia rata-rata mengimpor 1,5 juta ton beras per tahun, maka seharusnya bisa dilakukan strategi impor untuk lima tahun ke depan.
"Sehingga tidak lagi lobi-lobi dadakan yang akhirnya menyebabkan harga beras jadi naik. Dengan demikian, Bulog punya stok lima tahun, tetapi ada juga yang dari luar negeri. Tinggal diatur kedatangannya agar tidak membanjiri pasar," kata dia.
Yeka juga mengusulkan agar pemerintah tidak menggunakan lagi jargon swasembada atau tidak mengimpor beras sama sekali.
Menurutnya, jargon swasembada 100 persen perlu diturunkan menjadi 80 persen atau 90 persen. Ini perlu dilakukan untuk meredakan tensi politik beras.
“Lebih baik bilang saja swasembada beras 80 persen sehingga sisanya bisa ambil impor. Karena faktanya kita impor," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu melakukan impor beras pada 2014 hingga 2023. Pemerintah Indonesia memutuskan melakukan impor beras 844 ribu ton pada 2014, dan 861 ribu ton pada 2015.
Impor beras melonjak signifikan menjadi 2,25 juta ton pada 2018, dibandingkan 305 ribu ton pada 2017.
Indonesia juga mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023. Angka ini merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir, dan meningkat sekitar 600 persen dibandingkan 2022.