Tanjungpinang (ANTARA) - Bahasa Melayu sejak lama telah dikenal oleh masyarakat dunia. Bahasa ibu orang Melayu itu memainkan peran istimewanya sebagai bahasa penghubung di nusantara.
"Hal itu juga bermakna Bahasa Melayu telah berkedudukan sangat penting bagi bangsa kita jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Abdul Malik, budayawan, yang juga penulis sejarah Kepri, di Tanjungpinang, Selasa.
Menurut dia, dalam konteks Indonesia dan beberapa negara modern yang berdiri, kemudian di Asia Tenggara, Bahasa Melayu telah menyertai, melayani, menyemangati, mendorong, dan menyokong kemajuan bangsa dan negara-negara tersebut.
Bahkan, karena peran istimewanya, bangsa asing memandangnya sebagai bahasa internasional yang diperhitungkan di dunia (Collins 2011, xvii; Mees 1957, 16; & Ophuijsen 1910).
Keistimewaan itu, kata dia disebabkan oleh sebarannya sangat luas di Asia, khususnya di Asia Tenggara, sehingga menjadi satu dari lima bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia. Faktor yang paling menentukan peran pentingnya adalah kewibawaannya sebagai bahasa diplomasi utama dan satu-satunya yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan tradisional nusantara.
Para raja nusantara pada masa lampau sangat setia dan hanya menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa diplomasi, baik dalam perhubungan diplomatik dengan sesama mereka (penguasa nusantara) maupun dengan penguasa dan atau pelaku bisnis bangsa asing yang berhubungan dengan mereka.
Sikap yang diterapkan secara konsisten di dalam kebijakan kerajaan-kerajaan nusantara itu telah menjulangkan Bahasa Melayu di kalangan masyarakat dunia pada masa itu, termasuk di kalangan para pemimpin bangsa asing yang berhubungan dengan para penguasa tempatan (nusantara).
Pada masa pendudukannya di nusantara pemerintah kolonial Belanda berkali-kali berusaha untuk mengatasi kedudukan istimewa Bahasa Melayu. Mereka hendak menggantikannya dengan bahasa Belanda.
"Pasalnya, jika rakyat Indonesia menerima bahasa Belanda sebagai alat komunikasi luas, penjajahan mereka terhadap bangsa kita diprediksi akan berlangsung jauh lebih lama. Akan tetapi, apakah yang terjadi kemudian?" tutur Abdul yang juga Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.
Bahasa resmi
Ia bercerita pada 1849 Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa. Kala itu muncul persoalan, bahasa apakah yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Saat itu, terjadilah perselisihan pendapat di antara para pemimpin Belanda itu. Tentulah sebagian besar mereka berharap Bahasa Belanda yang digunakan untuk pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, Gubernur Jenderal Rochussen yang berkuasa kala itu dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu. Pasalnya, bahasa Melayu telah menjadi alat komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia (Indonesia, sekarang).
Dengan demikian, jika dipaksakan penggunaan bahasa Belanda, pendidikan tak akan berlangsung efektif.
Ada satu perkara lagi yang paling menentukan perkembangan bahasa Melayu di nusantara ini.
Walau di bawah penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan sebagai bahasa resmi antara pihak Belanda dan raja-raja serta pemimpin rakyat kala itu. Berkenaan dengan itu, Mees (1957, 16) menyimpulkannya, “Demikianlah bahasa Melayu itu mempertahankan sifat yang internasional dan bertambah kuat dan luaslah kedudukannya yang istimewa itu.”
"Kala penetapan bahasa pengantar untuk pendidikan pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda itu Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji rahimahullah telah dikenal di seluruh nusantara dan mengalami cetak ulang berkali-kali di Singapura (cetakan pertama 1946)," katanya.
Versi ilmiahnya lengkap dengan terjemahan bahasa Belanda dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga dimuat di majalah Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Begitu berpengaruhnya syair karya Raja Ali Haji itu sehingga menjadi bahan cerita teater rakyat yang juga diberi nama Dul Muluk di Palembang, Sumatra Selatan, tempat yang dulunya menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu Kuno, dan Bangka-Belitung.
Kenyataan itu, katanya menunjukkan bahwa bahasa Melayu standar Riau-Lingga (bahasa Melayu Tinggi) telah menyebar dan sangat disukai oleh seluruh penduduk Kepulauan Nusantara. Di pihak pemerintah kolonial Belanda, mereka telah memiliki model bahasa Melayu standar dari karya Raja Ali Haji, yakni yang pertama Syair Abdul Muluk (1846) dan Gurindam Dua Belas (1847).
Dengan memperhatikan kenyataan itu, tak ada jalan lain bagi pemerintah kolonial Belanda, kecuali menjadikan bahasa Melayu Riau-Lingga sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk orang pribumi, termasuk di Pulau Jawa.
Pada 1855 Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Von de Wall menjadi pegawai bahasa. Beliau ditugasi untuk menyusun buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu. Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda merupakan pekerjaan yang sangat penting kala itu karena Pemerintah Hindia-Belanda memerlukan ejaan dan kosakata baku untuk pendidikan di Kepulauan Hindia-Belanda.
"Berhubung dengan tugas itu, Von de Wall diutus ke Kesultanan Riau-Lingga pada 1857," tuturnya.
Untuk menyelesaikan tugasnya itu, Von de Wall bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim. Beliau menetap di Tanjungpinang sampai 1860. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 14 Februari 1862, beliau kembali lagi ke Tanjungpinang.
Sejak itu beliau terus berulang-alik Batavia-Tanjungpinang sampai 1873 untuk menyelesaikan tugasnya dan mendalami bahasa Melayu (Putten & Azhar 2006, 4-11).
Raja Ali Haji
Dalam masa tugasnya itu Von de Wall telah menyunting buku karya Haji Ibrahim: Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor sebuah karya dalam bidang etimologi. Jilid pertama buku itu diterbitkan di Batavia pada 1868 dan pada 1872 terbit pula jilid keduanya.
Pada masa Von de Wall bertugas itu beberapa karya Raja Ali Haji telah dikenal luas. Selain Syair Abdul Muluk, dua karya Raja Ali Haji yang lain juga dimuat di dalam majalah berbahasa Belanda yaitu sebuah syair tanpa judul dimuat di majalah Warnasarie dan Gurindam Dua Belas yang diterbitkan oleh Netscher dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap.
Syair Raja Ali Haji yang dimuat dalam Warnasarie merupakan satu-satunya syair berbahasa Melayu di dalam majalah yang bertujuan untuk menerbitkan sajak Belanda di tanah jajahan (Putten & Azhar 2006, 17—18).
"Karena bermitra dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, karya-karya penulis ternama Kesultanan Riau-Lingga itu berpengaruh pada pekerjaan Von de Wall," katanya.
Selain karya Haji Ibrahim yang telah disebutkan di atas, yang bahkan Von de Wall menjadi penyuntingnya, karya linguistik Raja Ali Haji Bustan al-Katibin (1850), yakni buku tata bahasa baku dan ejaan bahasa Melayu, dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), yakni kamus pertama bahasa Melayu, yang terbit lebih awal juga menjadi rujukan Von de Wall.
"Pasalnya, semasa beliau bertugas di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, buku Raja Ali Haji itu telah dicetak," ujarnya.
Penjelasan lisan kedua orang pendekar bahasa Melayu itu jelas menjadi acuan utama Von de Wall karena kedua cendekiawan itulah yang menjadi informan utama pegawai bahasa Pemerintah Hindia-Belanda itu.
Pada Mei 1864 datang lagi pakar bahasa ke Kesultanan Riau-Lingga, yakni H.C. Klinkert.
Beliau dikirim oleh Majelis Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Melayu yang murni. Tujuannya adalah untuk memperbaiki terjemahan Injil dalam bahasa Melayu. Klinkert tinggal di Tanjungpinang lebih kurang dua setengah tahun (Putten & Azhar 2006, 9).
Pemerintah kolonial Belanda selanjutnya membuat peraturan untuk pendidikan pribumi. Pasal 28, Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi, yang mulai ditetapkan pada 1872, mengatur, “Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu ... bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau [huruf miring oleh saya, HAM.], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian,” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899, Lampiran I).
Faktor yang melatari pemerintah kolonial Belanda memilih bahasa Melayu dapat ditelusuri dari tulisan Ch. A. van Ophuijsen, profesor bahasa berkebangsaan Belanda. Di dalam bukunya Maleische Spraakkunst (terbit pertama 1910 dan dicetak ulang 1915), diterjemahkan oleh T.W. Kamil menjadi Tata Bahasa Melayu (1983), dijelaskan, antara lain, menjelaskan hal-hal berikut;
1. Bahasa Melayu adalah bahasa orang yang menamakan dirinya orang Melayu dan yang merupakan penduduk asli sebagian Semenanjung Melayu, Kepulauan Riau-Lingga, serta pantai timur Sumatera.
2. Orang Melayu termasuk bangsa pelaut dan pedagang sehingga bahasanya berpengaruh di sejumlah besar pemukiman Melayu di pantai pelbagai pulau di Kepulauan Hindia Timur (Kepulauan Indonesia, HAM), antara lain Kalimantan.
3. Semua orang asing, baik orang Eropa maupun orang Timur, hampir hanya menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan antara mereka dan dalam pergaulan dengan penduduk seluruh Kepulauan Hindia Timur.
4. Pelbagai suku bangsa di antara penduduk kepulauan itu menggunakannya sebagai bahasa pergaulan antara mereka.
5. Kalangan raja pribumi memakai bahasa Melayu dalam urusan surat-menyuratnya dengan pemerintah (Pemerintah Hindia-Belanda, HAM) dan antara sesamanya.
6. Semua surat-menyurat antara pegawai negeri Eropa dan pribumi pun dilangsungkan dalam bahasa itu.
7. Penyebaran bahasa Melayu telah terjadi selama berabad-abad sehingga dapat disebut bahasa internasional, yang terutama dipakai di dalam bidang diplomasi oleh raja yang memelihara hubungan dengan raja lain.
8. Bahasa Melayu itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, tak ada bunyinya yang sulit diucapkan oleh orang asing.
9. Bahasa Melayu dapat menjalankan peranannya sebagai bahasa internasional karena syarat kemantapannya telah dipenuhi dengan baik, yang menjadi salah satu cirinya yang terpenting.
Logat Melayu
Ophuijsen (1983) juga menjelaskan bahwa bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, memiliki banyak logat. Di antara aneka logat, yang diutamakan oleh orang Melayu ialah logat yang dituturkan di Johor, di sebagian Semenanjung Melayu, dan di Kepulauan Riau-Lingga (khususnya di Pulau Penyengat, tempat Raja Muda Riau dulu bersemanyam dan di Daik di Pulau Lingga yang sampai baru-baru ini menjadi tempat kedudukan Sultan Lingga).
Bahasa Melayu Riau-Lingga itu dijadikan rujukan karena dua sebab. Pertama, sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu. Kedua, di istana-istana Melayu sebanyak mungkin masih digunakan bahasa itu, baik dalam pergaulan maupun dalam surat-menyurat oleh golongan berpendidikan.
Di daerah tersebut, pengaruh yang dialaminya dari bahasa-bahasa lain paling kecil; di sanalah watak khasnya paling terpelihara. Untuk mereka yang ingin menelaah bahasa nusantara yang lain, pengetahuan tentang bahasa Melayu Riau-Lingga merupakan bantuan besar.
Situasi kebahasaan pada masa kolonial juga diperikan oleh Francois Valentijn, pendeta yang juga pakar-sejarah Belanda. Pada abad ke-18 bahasa Melayu di bawah Kesultanan Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat (Karim 2003, 14; Hassim, Rozali, & Ahmad 2010, 4).
“Bahasa mereka, bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang, tidak ubah seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropah, atau sebagai bahasa Lingua Franca di Itali dan di Levant. Sungguh luas tersebarnya bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tidaklah mungkin kita kehilangan jejak, kerana bahasa itu bukan sahaja difahami di Parsi bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga Kepulauan Filipina.”
Bahasa persatuan
Memasuki abad ke-20 bahasa Melayu memainkan peran sebagai bahasa pergerakan nasional bangsa Indonesia. Pada masa ini peran bahasa Melayu menjadi lebih penting lagi.
"Kesadaran para pemimpin bangsa kala itu bahwa perlu adanya persatuan dan kesatuan yang kokoh di seluruh nusantara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia," katanya.
Untuk itu, diperlukan satu bahasa persatuan untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia sehingga memudahkan perjuangan merebut kemerdekaan.
Di antara mereka adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Dalam makalah beliau yang disampaikan pada 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, beliau mengusulkan bahwa bahasa Melayu yang harus dijadikan bahasa persatuan sesuai dengan peran dan perkembangan pesat bahasa Melayu kala itu (Malik 2013).
Ketika Dewan Rakyat dilantik pada 1918, keinginan akan bahasa persatuan kembali mengemuka. Pada 25 Juni 1918, berdasarkan Ketetapan Raja Belanda, para anggota Dewan diberi kebebasan menggunakan bahasa Melayu. Selanjutnya, badan penerbit dan organisasi sosial dan politik, kesemuanya menggunakan bahasa Melayu.
Jelaslah bahwa standardisasi pertama bahasa Melayu dilakukan oleh Raja Ali Haji (RAH) dan kawan-kawan sehingga menjadi bahasa baku. Selanjutnya, dalam sistem pendidikan kolonial Belanda dilaksanakan pula standardisasi kedua melanjutkan upaya RAH.
Atas dasar itulah, Muhammad Hatta, Bapak Proklamator dan Wakil Presiden I Republik Indonesia menyebutkan, “Pada permulaan abad ke-20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau.
Orang Belanda menyebutnya Riouw Maleisch. Ada yang menyebutkan berasal (dari) logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan Pulau Riau,” (1979, 154—155).
Pernyataan Bung Hatta dipertegas lagi oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid. Ketika membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatra, Sabtu, 29 April 2000, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru. Gus Dur menegaskan pengakuan Pemerintah RI terhadap jasa RAH mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional.
“Tanpa jasa beliau (Raja Ali Haji) itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini," ucapnya.
Ia menuturkan bahasa ibu orang Melayu itu ternyata ditakdirkan Allah untuk melaksanakan tugas yang jauh lebih luas dan penting. Ia tak hanya menjadi lambang identitas bangsa, tetapi juga berperan sebagai alat perjuangan yang mempersatukan seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai matlamat luhur kemajuan bersama.
Sebelum itu, dengan gagahnya ia telah melaksanakan tugas mulia sebagai bahasa perjuangan merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. "Tuah dan takdirnya memang telah ditetapkan," katanya.*