Jakarta (ANTARA) - Pascapenangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait dengan kasus ekspor benih lobster, sejumlah pihak menyatakan bahwa mereka sudah memperingatkan tentang berbagai kontroversi yang menyelimuti hal tersebut.
Ia menyampaikan bahwa praktik penjualan atau ekspor benih lobster, kepiting dan rajungan memang berpotensi akan menimbulkan indikasi kerugian negara dan akan lebih menguntungkan negara lain, seperti Vietnam.
Di sisi lain, ekspor benih lobster dinilai telah mengancam populasi lobster di Indonesia sehingga kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap pengelolaan lobster harus menjadi prioritas.
Pemerintah, lanjutnya, selayaknya lebih serius mengembangkan usaha pembesaran untuk ketiga komoditas yakni lobster, kepiting dan rajungan sehingga benih yang ditangkap oleh nelayan dapat terserap oleh kegiatan pembesaran dalam negeri sebelum diekspor keluar.
Hal tersebut, masih menurut dia, akan jauh lebih menguntungkan perekonomian nasional karena komoditas tersebut merupakan bagian dari komoditas perikanan ekonomis penting yang mesti dikelola secara cermat dan inovatif.
KKP, kata Johan, seharusnya bisa lebih berhati-hati terhadap izin ekspor benih lobster ini, karena sebelumnya telah beredar investigasi dari berbagai media terkait permainan ekspor benih lobster tersebut.
Ia mengingatkan bahwa dari informasi yang beredar, terdapat beberapa perusahaan yang sudah melakukan ekspor meskipun baru mengantongi izin kurang dari dua bulan setelah izin diberikan.
Padahal, lanjutnya, hal ini jelas merupakan pelanggaran administrasi karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Senada, pengamat sektor kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan bahwa sejak awal, Edhy Prabowo sudah diperingatkan terkait dengan kontroversi ekspor benih lobster.
Baca juga: Benih lobster jadi "tsunami" politik Prabowo dan Jokowi
Bermasalah
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan izin terkait ekspor benih lobster telah bermasalah sejak awal sehingga KPK dinilai juga perlu mengusut perusahaan lain yang menjadi penerima izin ekspor benih lobster.
Susan menyatakan bahwa pemberian izin ekspor benih lobster sangat-sangat bermasalah sejak dari awal, khususnya ketiadaan transparansi dan akuntabilitas.
Apalagi, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan.
Bahkan, lanjut Susan, ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. "Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut," ungkapnya.
Lebih jauh, Susan mengingatkan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut.
Selain itu, ujar dia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno Hatta, padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatera.
Berdasarkan Keputusan Kepala BKIPM Nomor 37 Tahun 2020 tentang Tempat Pengeluaran Khusus Benih Bening Lobster dari Wilayah Negara RI telah menetapkan enam bandara yang direkomendasikan untuk pengiriman benih lobster ke luar negeri, yaitu Bandara Soekarno-Hatta, Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Internasional Lombok, Bandara Kualanamu Medan dan Bandara Hasanuddin Makassar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun dalam diskusi daring tentang Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster, 30 November, menyatakan persoalan terkait ekspor benih lobster memiliki permasalahan baik dari hulu hingga ke hilir.
Menurut dia, sejumlah permasalahan hulu seperti dalam perizinan antara lain terkait kuota dan berdasarkan informasi dari pelaku usaha yang datang ke ICW, ada perusahaan yang memenuhi persyaratan tetapi tidak mendapatkan izin ekspor.
Ia berpendapat bila perizinan diberikan maka seharusnya diberikan dengan cara yang patut, penuh pengawasan, serta menjunjung tinggi objektivitas.
Sedangkan dari segi hilir, lanjutnya, terkait dengan adanya penentuan satu perusahaan kargo saja yang memonopoli upaya-upaya untuk melakukan ekspor benih lobster.
Tama juga menyoroti adanya staf khusus menteri yang ternyata bisa menjadi penentu perusahaan mana yang bisa melakukan ekspor, setelah berkoordinasi dengan asosiasi terkait.
Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada perbaikan di internal KKP, terlebih sudah sejak lama ada catatan dari Ombudsman yang mempermasalahkan terkait ekspor benih lobster.
Baca juga: Benih lobster harus diberdayakan untuk domestik bukan untuk ekspor
Penghentian sementara
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Surat Edaran NOMOR: B. 22891 IDJPT/Pl.130/Xl/2020 menyatakan menghentikan sementara penerbitan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) terkait ekspor benih bening lobster.
"Terhitung surat edaran ini ditetapkan, penerbitan SPWP dihentikan hingga batas waktu yang tidak ditentukan," sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran yang ditandatangani Plt Dirjen Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini, di Jakarta, 26 November.
Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa langkah kebijakan penghentian sementara itu adalah dalam rangka memperbaiki tata kelola pengelolaan benih bening lobster (BBL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMENKP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Ponunus spp.) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia serta mempertimbangkan proses revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian, disebutkan pula bahwa bagi perusahaan eksportir yang memiliki BBL dan masih tersimpan di packing house per tanggal surat edaran ini ditetapkan, diberikan kesempatan untuk mengeluarkan BBL dari Negara Republik Indonesia paling lambat satu hari setelah surat edaran ini ditetapkan.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota; Ketua Kelompok Usaha Bersama Penangkap Benih Bening Lobster; serta Eksportir Benih Bening Lobster.
Sedangkan tembusan dari surat tersebut adalah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI Ad. Interim; Sekretaris Jenderal KKP; Inspektur Jenderal KKP; Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan; dan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengedalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan.
Baca juga: Luhut: Tidak ada yang salah dengan regulasi terkait lobster
Prioritas
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan, kasus dalam perizinan ekspor benih lobster menunjukkan selama ini KKP hanya fokus kepada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas lainnya di sektor kelautan dan perikanan nasional.
"Mencuatnya pidana korupsi dalam perizinan ekspor benih lobster yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo mengindikasikan bahwa selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya fokus pada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas program strategis lainnya," kata Abdi.
Ia mengingatkan, pada masa pandemi seperti saat ini, Presiden Jokowi berulang kali meminta para Menteri untuk bekerja lebih keras dan mencari terobosan untuk mengatasi krisis dan meningkatkan perlindungan ekonomi masyarakat.
Koordinator Nasional DFW Indonesia mengatakan bahwa sebagai kementerian strategis, KKP mempunyai peran untuk memberikan perlindungan ekonomi kepada kelompok nelayan, pembudidaya dan pelaku usaha pada masa krisis seperti saat ini.
"Sayangnya hal tersebut gagal dijalankan secara sungguh-sungguh. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya kemampuan belanja KKP di mana sampai dengan bulan September 2020 lalu, penyerapan anggaran hanya 50,28 persen dari pagu APBN sebesar Rp5,082 triliunan," kata Abdi.
Kondisi ini, lanjutnya, sangat ironis karena masyarakat kelautan dan perikanan sangat membutuhkan intervensi dan stimulus pemerintah untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan dan usaha.
Ia mengemukakan, hal yang paling memprihatinkan adalah belanja untuk kegiatan budidaya melalui Ditjen Perikanan Budidaya hanya sebesar Rp328 miliar atau 32,24 persen dari pagu sebesar Rp1,01 triliun.
Pekerjaan Rumah KKP masih banyak seperti bagaimana upaya menciptakan lapangan kerja baru di sektor perikanan, memulihkan serapan pasar terhadap produk perikanan yang tertekan selama pandemi, mendorong BUMN perikanan untuk mengaktifkan Sistim Logistik Ikan yang mandek serta mengimplementasikan kegiatan budidaya perikanan di Tanah Air.
Sedangkan Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin mengutarakan harapannya agar Presiden Joko Widodo ke depannya menempatkan sosok yang bersih guna menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pengganti Edhy Prabowo.
Baca juga: Anggota DPR: Menteri KKP sudah diperingatkan soal ekspor benih lobster
Baca juga: DFW: Hanya fokus benih lobster, KKP dinilai lupakan prioritas