Palembang (ANTARA) - Ada harga, tak ada barang. Itulah kenyataan yang terjadi pada pekan ini setelah minyak goreng ditetapkan pemerintah harus dijual pedagang sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Pemilik Toko Usman di Pasar Perumnas Palembang, Usman, mengatakan hingga kini ia tak memiliki stok minyak goreng yang dijual sesuai dengan HET.
Ia hanya menjual minyak goreng merek Fortune Rp15.000 per liter yang merupakan stok lamanya.
Senada, Sri, pemilik Toko Sari Rasa di Pasar Perumnas mengatakan dirinya mendapatkan tawaran dari distributor untuk menjual produk merek Sunco untuk kemasan dua liter seharga Rp26.800 per dua liter.
Sri pun hingga kini masih berupaya menjual stok lamanya minyak goreng merek Fortune dengan harga Rp17.000 per liter.
Nanti jika sudah habis, baru jual Rp14.000 per liter. Kalau dikirim distributor.
Lain pula halnya dengan Sholeh, pedagang sembako di Pasar Lemabang Palembang mengatakan dirinya hingga kini tak menjual minyak goreng karena tidak mendapatkan pasokan dari distributor sejak pemberlakuan HET oleh pemerintah.
Kelangkaan barang yang terjadi di pasar tradisional ternyata juga terjadi di pasar ritel modern Palembang, seperti Alfamart. Kondisi ini sudah terjadi sejak sepekan terakhir.
Terkait ini, Branch Corporate Communication PT Sumber Alfaria Trijaya Palembang Rendra Satria juga tak membantah.
Pihaknya secara kontinu menyuplai minyak goreng dengan beragam merek dan kemasan ke toko-toko yang berada di bawah jaringan Alfamart dengan harga Rp14.000 per liter sejak pemberlakuan minyak goreng satu harga.
Namun, lantaran terjadinya panic buying membuat stok minyak goreng selalu ludes terjual, berapa pun yang dikirim dari gudang.
“Kami sudah menyiasati dengan satu struk hanya boleh beli maksimal dua liter, tapi tetap saja habis terjual,” katanya.
Baca juga: Wakil Ketua MPR minta masalah kelangkaan minyak goreng segera diatasi
Baca juga: Kemendag: Harga minyak goreng dalam proses stabilisasi
Produksi kurang
Petugas Dinas Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan mendatangi dua kantor operasional distributor minyak goreng di Palembang untuk memastikan dilakukannya penyaluran produk ke pengecer, Jumat (11/2/22).
Dua distributor itu PT Indokarya Internusa di kawasan Boom Baru Palembang yang memproduksi minyak goreng kemasan sederhana merek MM, dan CV Mekar Abadi di kawasan Padang Selasa Palembang yang merupakan distributor minyak kemasan premium Fortune.
Petugas mengunjungi untuk meresponsnya terjadinya kelangkaan barang dari distributor untuk pedagang, terutama untuk pedagang pasar tradisional.
Saat ini, perusahaan pembuat minyak goreng masih mengajukan penggantian selisih harga kepada pemerintah untuk mengikuti ketentuan harga jual sesuai Harga Eceran Tertinggi yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter.
Lantaran masih menunggu realisasi pencairan dana ini, diperkirakan perusahaan pembuat minyak goreng mengurangi hingga menunda produksi, atau memilih tidak berproduksi karena tak mau menanggung selisih harga.
Persoalan ini sebenarnya terletak pada tata kelola, yang mana perusahaan yang memproduksi minyak goreng dengan harga lama masih menunggu adanya penggantian dari pemerintah.
Kemudian, untuk melanjutkan ke tahapan produksi minyak goreng dengan harga sesuai HET sedang dalam proses perhitungan pemerintah.
Adanya proses ini membutuhkan waktu yang diperkirakan satu hingga dua pekan ke depan.
Namun, kondisi ini tak ayal membuat pengecer hingga pedagang tidak mendapatkan pasokan dari distributor minyak goreng, apalagi pemerintah ketat mengatur mengenai pemberlakuan harga minyak goreng sesuai HET.
Menurutnya, persoalan ini bukan lagi berada di tatanan bawah untuk menyelesaikannya tapi sudah ke ranah pemerintah pusat (kebijakan).
“Intinya, segera cairkan pembayaran selisih harga itu agar perusahaan pembuat minyak goreng segera berproduksi,” kata dia.
Namun, pihaknya akan berterima kasih jika ada distributor minyak goreng yang bersedia menggelar operasi pasar menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) seperti yang dilakukan PT Indokarya Internusa.
Perusahaan distributor minyak goreng ini melakukan operasi pasar bekerja sama dengan Pemprov Sumsel untuk membantu masyarakat yang dihadapkan lonjakan harga hingga Rp20.000 per liter pada akhir tahun 2021 hingga pertengahan Januari 2022.
Manajer Operasional PT Indokarya Internusa, Liana, mengatakan, perusahaannya yang menjual minyak goreng kemasan sederhana merek MM tetap melakukan operasional seperti biasa atau tidak mengurangi kapasitas produksi.
Perusahaan ini memproduksi 60.000 liter minyak goreng per hari yang hampir 50 persennya dijual di Kota Palembang dan sekitarnya.
Saat ini, perusahaannya memiliki stok sekitar 3,5 juta ton untuk mendukung kebutuhan sejumlah daerah di Sumatera, seperti Sumsel dan Sumut.
Baca juga: Wacana pembentukan tim pengawas bisa kuak dugaan kartel minyak goreng
Proses stabilisasi
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pengendalian harga minyak goreng, dengan menetapkan kewajiban pasokan dalam negeri dan harga untuk memastikan ketersediaan barang dengan harga yang terjangkau.
Kebijakan ini diambil setelah pemerintah melakukan evaluasi penerapan minyak goreng satu harga pada 19 Januari 2022.
Kebijakan baru yang berlaku per 27 Januari 2022 itu, terdiri dari tiga poin yakni kewajiban pasokan dalam negeri domestic mandatory obligation (DMO) yakni produsen minyak goreng yang akan ekspor wajib memasok kebutuhan dalam negeri sebanyak 20 persen dari total volume ekspornya.
Sementara poin kedua, penetapan harga domestic price obligation (DPO), yang mana minyak sawit mentah (CPO) Rp9.300 per kilogram dan produk rafinasi dengan fraksinasi CPO/olein Rp10.300/liter.
Kemudian poin ketiga yakni penetapan Harga eceran tertinggi (HET) per 1 Februari 2022 yakni minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan dalam sebuah seminar mengatakan harga minyak goreng dalam proses stabilisasi dengan penerapan kebijakan baru yakni DMO dan DPO.
Kebijakan tersebut akan memutus keterkaitan antara harga minyak goreng dan harga CPO internasional.
Selama ini produsen minyak goreng dalam negeri membeli CPO sebagai bahan baku minyak nabati dengan harga global.
Ini lantaran, masih sangat sedikit produsen minyak goreng yang terintegrasi langsung atau memiliki lahan kebun kelapa sawitnya sendiri.
Dikarenakan harga minyak nabati dunia yang terus melonjak sejak tahun lalu, turut berpengaruh pada kenaikan harga minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng.
Pemerintah sebelumnya menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng di dalam negeri sebesar Rp14.000 per liter. Kebijakan tersebut membuat para produsen CPO mengekspor hasil kebunnya ke luar negeri lantaran harga CPO global yang sedang tinggi ketimbang menjualnya sebagai minyak goreng dalam negeri yang harganya dibatasi.
Oleh karena itu, pemerintah menerapkan DMO yaitu para eksportir CPO harus mengalokasikan 20 persen dari total volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri.
Selanjutnya untuk harga jual CPO di dalam negeri yaitu DPO, pemerintah menerapkan harga tertinggi CPO sebesar Rp9.500 per kg atau dalam bentuk minyak Rp10.300 per kg. Dengan begitu harga minyak goreng menjadi paling tinggi Rp14.000 per liter di pasar.
“Pasokan CPO maupun minyak goreng nasional dalam kondisi yang aman, atau ketersediaannya tak jadi masalah. Hanya harganya yang diakui masih tidak terjangkau,” kata Oke.
Kebutuhan minyak goreng nasional mencapai 1,8 juta kilo liter untuk sektor industri 3,9 juta kilo liter atau total 5,7 juta kilo liter pada 2022.
Sementara, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), memperkirakan Indonesia akan memproduksi 49 juta ton minyak sawit mentah pada 2022 atau melampaui produksi 2021 sebanyak 46,89 juta ton.
Tentunya kebutuhan minyak goreng dalam negeri itu menjadi tak seberapa jika dibandingkan kemampuan Indonesia yang berkontribusi hingga 58 persen untuk produksi CPO dunia.
Namun menstabilkan harga minyak goreng, tetap bukan perkara mudah. Gejolak yang terjadi pada pertengahan Desember 2021 hingga kini masih dalam proses stabilisasi untuk benar-benar sampai ke level terendah.
Baca juga: Pemerintah berupaya minyak goreng tak tergantung harga CPO dunia
Baca juga: Anggota DPR: Batasi ekspor CPO untuk atasi harga minyak goreng