Houston (ANTARA) - Minyak mentah tergelincir pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), dengan Brent menetap di bawah 100 dolar AS per barel untuk pertama kali dalam tiga bulan karena penguatan dolar, pembatasan COVID-19 yang melemahkan permintaan di importir minyak mentah utama China, dan meningkatnya kekhawatiran global perlambatan ekonomi.
Penurunan tajam mengikuti satu bulan perdagangan bergejolak, di mana investor telah menjual posisi minyak di tengah kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga yang agresif untuk membendung inflasi akan memacu penurunan ekonomi yang akan menarik permintaan minyak.
"Saya pikir itu cukup kritis hanya dari titik psikologis yang kami pegang di 95 dolar AS per barel," kata Rebecca Babin, pedagang energi senior di CIBC Private Wealth US.
Baca juga: Harga minyak turun, pasar khawatir perlambatan global tekan permintaan
Harga minyak menghadapi tekanan ekstrem "karena postur defensif berlanjut dengan sentimen konsumen masih dalam mode tertekan seiring dengan munculnya kembali COVID di China," kata Dennis Kissler, wakil presiden senior untuk perdagangan di BOK Financial.
Rekor dolar yang tinggi memicu lebih banyak likuidasi penjualan, Kissler menambahkan. Minyak umumnya dihargai dalam dolar AS, sehingga greenback yang lebih kuat membuat komoditas lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Indeks dolar, yang melacak mata uang AS terhadap sekeranjang enam mata uang mitra, pada Selasa pagi naik ke 108,56, level tertinggi sejak Oktober 2002. Investor cenderung melihat dolar sebagai tempat yang aman selama volatilitas pasar.
Investor telah membuang turunan terkait minyak bumi pada salah satu tingkat tercepat di era pandemi karena kekhawatiran resesi meningkat. Para hedge fund dan pengelola uang lainnya menjual setara dengan 110 juta barel dalam enam kontrak berjangka dan opsi terkait minyak paling penting dalam seminggu hingga 5 Juli.
Volatilitas close-to-close pada Brent dan WTI berada di level tertinggi sejak awal April. Likuiditas yang lebih rendah biasanya menghasilkan pasar yang lebih bergejolak dengan perubahan harga yang drastis.
Pembatasan perjalanan COVID-19 yang diperbarui di China juga membebani harga minyak, dengan beberapa kota di China mengadopsi pembatasan baru, dari penutupan bisnis hingga penguncian yang lebih luas, dalam upaya untuk mengendalikan infeksi baru dari subvarian virus yang sangat menular.
Baca juga: Kegagalan terapkan batas harga minyak Rusia dapat dongkrak harga
Presiden AS Joe Biden akan mengajukan kasus untuk produksi minyak yang lebih tinggi dari OPEC ketika ia bertemu dengan para pemimpin Teluk di Arab Saudi minggu ini, penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan pada Senin (11/7/2022).
Namun, orang dalam industri, sumber dan pakar mempertanyakan apakah, dengan produksi saat ini setidaknya 10,5 juta barel per hari, Arab Saudi benar-benar memiliki 1,5 juta barel per hari lagi yang dapat dibawa dengan cepat dan berkelanjutan.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen berada di Asia untuk membahas cara memperkuat sanksi terhadap Rusia, termasuk pembatasan harga minyak Rusia untuk membatasi keuntungan negara dan membantu menurunkan harga energi.
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol mengatakan bahwa setiap batas harga minyak Rusia harus mencakup produk olahan.
Sanksi Barat yang dijatuhkan kepada Rusia atas perang di Ukraina, yang disebut Moskow sebagai "operasi militer khusus", telah mengganggu arus perdagangan minyak mentah dan bahan bakar.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan bahwa permintaan minyak dunia akan meningkat sebesar 2,7 juta barel per hari pada 2023, sedikit lebih lambat dari pada 2022. Namun, kapasitas cadangan dalam OPEC hampir habis, dengan sebagian besar produsen memompa pada kapasitas maksimum.
Badan Informasi Energi AS memperkirakan kenaikan produksi minyak mentah AS dan permintaan minyak bumi pada 2022.