Singapura (ANTARA) - Penggunaan plastik di negara-negara G20 akan meningkat hampir dua kali lipat pada pertengahan abad ini kecuali dibuat perjanjian global yang komprehensif dan mengikat secara hukum untuk mengekang konsumsi, menurut penelitian yang diterbitkan pada Senin (27/2/2023).
Perserikatan Bangsa-Bangsa memulai negosiasi tentang kesepakatan untuk mengatasi polusi plastik di Uruguay pada November, dengan tujuan menyusun perjanjian yang mengikat secara hukum pada akhir tahun depan. Sebanyak 175 negara telah menandatangani pembicaraan tersebut.
Namun, jika negosiasi gagal, produksi plastik tahunan di negara-negara G20 dapat meningkat menjadi 451 juta ton pada tahun 2050 sesuai dengan tingkat pertumbuhan saat ini, kata Back to Blue – naik hampir tiga perempat dari tahun 2019.
"Seharusnya tidak ada ilusi bahwa negosiasi perjanjian itu akan sulit dan berbahaya," kata kelompok riset itu. "Peluang kegagalan - bukan hanya karena tidak ada perjanjian yang muncul tetapi juga terlalu lemah untuk membalikkan arus plastik - cukup besar."
Pihaknya menyerukan larangan yang lebih agresif pada plastik sekali pakai bersama dengan pajak produksi yang lebih tinggi dan skema wajib untuk membuat perusahaan bertanggung jawab atas seluruh umur produk mereka, termasuk daur ulang dan pembuangan.
Langkah-langkah gabungan dapat membatasi konsumsi tahunan menjadi 325 juta ton pada tahun 2050, kata Back to Blue, tetapi itu masih akan naik seperempat dibandingkan dengan 2019, dan setara dengan 238 juta truk sampah yang terisi.
Di antara negara-negara G20 yang belum memberlakukan larangan nasional terhadap produk plastik sekali pakai adalah Brazil, Amerika Serikat, Indonesia, dan Turki, kata laporan itu.