Jakarta (ANTARA) - Deputi Penempatan dan Perlindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah (BP2MI) Irjen Pol. Ahmad Kartiko menyebut pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai musuh negara.
Ia mengatakan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terus mendorong semua kementerian/lembaga untuk secara sungguh-sungguh memperkuat kerja kolaborasi dalam memerangi sindikat penempatan ilegal Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Karena hal itu, kata dia, sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Pasal 39 sampai dengan Pasal 42.
“Bahwa amanatnya terhadap pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota hingga pemerintah desa untuk memberikan perlindungan terhadap PMI dan menghindari mereka dari kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa,” katanya.
Kartiko pun mendorong Polri untuk menindak setegas-tegasnya sindikat penempatan ilegal PMI baik dipenjara secara fisik maupun dimiskinkan hartanya yang diperoleh dari hasil kejahatan ini.
“Kami berharap nanti akan ada tindak pidana lanjutan, yakni tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari pengungkapan kasus TPPO,” katanya.
Kartiko mengapresiasi Bareskrim Polri atas kerja samanya dengan BP2MI dalam upaya memberikan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia.
Sebanyak enam tersangka dari dua jaringan penempatan ilegal PMI jaringan Indonesia-Aman-Arab Saudi dan Indonesia-Turki-Abu Dhabi. Jaringan Aman telah beroperasi sejak 2015 dan diperkirakan sudah 1.000 PMI diberangkatkan secara ilegal.
“Bentuk-bentuk kerja sama lebih kuat antara BP2MI dengan Polri dalam hal pencegahan dan proses penegakan hukum untuk memberikan perlindungan kepada PMI. Negara harus hadir, negara tidak boleh kalah, dan hukum harus bekerja,” ujarnya.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahadjo Puro mengatakan terhadap enam tersangka, selain menjerat para tersangka dengan undang-undang perlindungan pekerja migran Indonesia, pihaknya juga berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengembangkan kasus tersebut kepada tindak pidana pencucian uang.
“Kami juga bekerja sama dengan PPATK untuk mengetahui aktor yang terlibat, dari hasil penyelidikan jaringan ini sejak 2015 dan diperkirakan 1.000 orang sudah jadi korban,” kata Djuhandhani.