Jakarta (ANTARA Jambi) - Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berbiaya tinggi banyak terjadi di Indonesia sehingga bisa menyebabkan kasus suap atau pemerasan yang melibatkan kepala daerah dan pengusaha, kata seorang pengamat.
"Selingkuh kepentingan kepala daerah dan pengusaha merupakan dampak dari tingginya biaya politik dan inefisiensi birokrasi. Kepala daerah yang terpilih merupakan hasil dari biaya tinggi yang dikeluarkan selama pilkada," kata dosen komunikasi politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Ari Junaedi, di Jakarta, Rabu.
Dalam pilkada, oknum kepala daerah ingin mendapatkan amunisi dana, sementara pengusaha perlu mendekati kepala daerah agar bisnisnya aman.
Kasus dugaan penyuapan pengusaha oleh Hartati Murdaya kepada Bupati Buol Amran Batalipu menyisakan sebuah gambaran umum yang lazim terjadi di Indonesia.
"Kondisi ini lumrah terjadi dalam sejarah politik di Indonesia," kata Ari Junaedi yang juga dosen di Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
KPK menjadikan Hartati sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Namun Hartati berkali-kali menegaskan dirinya adalah korban pemerasan oleh Amran.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Hartati di Buol selalu diganggu oleh kelompok massa yang diduga terkait dengan Amran. Bahkan pabrik diduduki sehingga tidak berproduksi. Dengan dalih keamanan, Amran disebut meminta sejumlah dana kepada perusahaan tersebut.
Menurut Ari, kondisi tersebut semakin sering terjadi karena tidak adanya penegakan hukum yang tegas.
Saat ini, di Indonesia para pelaku merasa mendapat angin pembelaan. Selain dihukum minimal, partai politik pengusung kepala daerah yang berstatus terpidana juga terkesan melindungi.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Indonesia Center for Thought Leadership M Fathir Edison mengatakan, otonomi daerah ternyata menimbulkan ekses dan membuat sistem demokrasi saat ini rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Kepala-kepala daerah seringkali berperilaku seperti raja-raja kecil.
Kasus Hartati merupakan gunung es dari fenomena premanisme di daerah.
"Kalau menurut KPK, Hartati menyogok, kalau dari pihak Hartati, mereka mengatakan ini pemerasan. Faktanya adalah ada uang yang harus diberikan kepada pejabat daerah agar bisnis jalan. Hal ini diartikan penegak hukum sebagai penyuapan, tapi pebisnis mengatakan ini pemerasan, karena kalau tidak ada uang, bisnis tidak jalan. Inilah yang sering terjadi di banyak daerah. Ada sesuatu yang salah di sistem otonomi daerah kita," katanya.(Ant)