Jakarta (Antaranews Jambi) - Instruksi Presiden Moratorium Sawit menjadi langkah awal strategis untuk menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit, termasuk tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa karenanya membutuhkan dukungan dan pengawalan dari berbagai pihak.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, di Jakarta, Jumat, hanya dapat berjalan dengan catatan para pejabat penerima instruksi konsisten menjalankannya dan disertai kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden.
Karenanya ia mengatakan dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu tiga tahun.
"Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah, khususnya delapan pejabat yang menerima instruksi, harus dapat bekerja cepat bersama para pemangku kepentingan lainnya dengan mengedepankan keterbukaan data dan informasi perizinan," ujar dia.
Dalam Inpres yang telah ditunggu selama lebih dari dua tahun ini, inisiatif baik pemerintah terlihat dalam beberapa hal, di antaranya ditundanya pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk permohonan perkebunan kelapa sawit; dilakukannya evaluasi terhadap SK pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan yang telah diberikan untuk perkebunan kelapa sawit; serta penindakan hukum terhadap perkebunan kelapa sawit ilegal yang beroperasi di kawasan hutan.
Kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit bahkan bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila memenuhi kriteria.
"Inpres ini memperlihatkan inisiatif baik untuk lebih mengutamakan peningkatan produktivitas lahan ketimbang berekspansi ke kawasan hutan," ujar Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri.
Presiden juga memandatkan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan alokasi 20 persen untuk perkebunan rakyat dan percepatan penerbitan hak atas tanah untuk kebun sawit rakyat.
Meskipun demikian, menurut dia, ketentuan alokasi 20 persen ini perlu lebih diperjelas karena saat ini para pemangku kepentingan masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang hal ini, juga guna menghindari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar dengan mengatasnamakan kebun rakyat.
Inpres Moratorium Sawit tertanggal 19 September 2018 berlaku sejak ditandatangani Presiden Joko Widodo. Instruksi diberikan kepada Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal, Gubernur, serta para Bupati/Walikota.
Baca juga: Pemerintah masih finalisasi moratorium izin perkebunan sawit
Baca juga: Menperin ingin industri sawit tetap tumbuh di tengah moratorium izin lahan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, di Jakarta, Jumat, hanya dapat berjalan dengan catatan para pejabat penerima instruksi konsisten menjalankannya dan disertai kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden.
Karenanya ia mengatakan dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu tiga tahun.
"Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah, khususnya delapan pejabat yang menerima instruksi, harus dapat bekerja cepat bersama para pemangku kepentingan lainnya dengan mengedepankan keterbukaan data dan informasi perizinan," ujar dia.
Dalam Inpres yang telah ditunggu selama lebih dari dua tahun ini, inisiatif baik pemerintah terlihat dalam beberapa hal, di antaranya ditundanya pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk permohonan perkebunan kelapa sawit; dilakukannya evaluasi terhadap SK pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan yang telah diberikan untuk perkebunan kelapa sawit; serta penindakan hukum terhadap perkebunan kelapa sawit ilegal yang beroperasi di kawasan hutan.
Kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit bahkan bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila memenuhi kriteria.
"Inpres ini memperlihatkan inisiatif baik untuk lebih mengutamakan peningkatan produktivitas lahan ketimbang berekspansi ke kawasan hutan," ujar Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri.
Presiden juga memandatkan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan alokasi 20 persen untuk perkebunan rakyat dan percepatan penerbitan hak atas tanah untuk kebun sawit rakyat.
Meskipun demikian, menurut dia, ketentuan alokasi 20 persen ini perlu lebih diperjelas karena saat ini para pemangku kepentingan masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang hal ini, juga guna menghindari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar dengan mengatasnamakan kebun rakyat.
Inpres Moratorium Sawit tertanggal 19 September 2018 berlaku sejak ditandatangani Presiden Joko Widodo. Instruksi diberikan kepada Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal, Gubernur, serta para Bupati/Walikota.
Baca juga: Pemerintah masih finalisasi moratorium izin perkebunan sawit
Baca juga: Menperin ingin industri sawit tetap tumbuh di tengah moratorium izin lahan