Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan para narapidana kasus korupsi karena dapat menjadi jalan pintas untuk terbebas dari jeratan hukum.
"Majelis hakim di Mahkamah Agung harus menolak seluruh permohonan Peninjauan Kembali dari para terpidana kasus korupsi," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
ICW mencatat setidaknya 21 terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK sedang mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK).
"Mahkamah Agung mesti waspada, publik khawatir ini dijadikan jalan pintas oleh pelaku korupsi untuk terbebas dari jerat hukum. Banyak nama besar, mulai Anas Urbaningrum, Setya Novanto, sampai pada OC Kaligis yang sedang berupaya menempuh jalur itu," kata dia.
Juga baca: Setnov akui Puan Maharani sudah lama direncanakan sebagai Ketua DPR
Juga baca: KPK panggil Setya Novanto terkait kasus KTP-el
Merujuk pada 2019 saja, alih-alih menunjukkan pemberian efek jera yang maksimal justru MA malah mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi pada tingkat PK
Model pengurangan hukuman tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni pidana penjara dan pengurangan ataupun penghapusan uang pengganti.
"Hal ini sekaligus menegaskan dugaan selama ini yang timbul di tengah masyarakat bahwa lembaga peradilan tidak lagi berpihak pada pemberantasan korupsi," ungkap Kurnia.
Menurut Kurnia, pemberian efek jera pada pelaku korupsi memang harus menjadi fokus pada setiap pemangku kepentingan, salah satunya lembaga peradilan.
Data tren vonis pada 2018 lalu menunjukkan bahwa rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada pelaku korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Sedangkan data terkait PK sejak 2007 sampai 2018 menunjukkan setidaknya 101 narapidana dibebaskan oleh MA.
"Melihat data di atas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kerja keras penegak hukum misalnya KPK menjadi sia-sia jika pada saat persidangan pelaku korupsi justru mendapatkan pengurangan hukuman oleh majelis hakim. Padahal kasus-kasus yang diberikan pengurangan hukuman itu melibatkan elite politik dengan jabatan tertentu, contohnya Irman Gusman selaku mantan ketua DPD, Patrialis Akbar yang mana merupakan mantan hakim Konstitusi, hingga Angelina Sondakh mantan anggota DPR," jelas Kurnia.
Ramadhana meminta Ketua MA, Hatta Ali, menaruh perhatian lebih pada persoalan ini, sebab sejak Hatta Ali menjabat (2012-2019), setidaknya sudah ada sepuluh terpidana korupsi yang ditangani KPK diberikan keringanan hukuman pada tingkat PK.
Jika fenomena pemberian keringanan hukuman bagi pelaku korupsi terus-menerus terjadi maka tingkat kepercayaan publik pada MA akan semakin menurun.
"Ini terbukti pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober tahun lalu menunjukkan MA mendapatkan kurang dari 70 persen dari sisi kepercayaan publik," kata dia.
Selain itu ketua MA juga mestinya lebih selektif ketika menentukan komposisi majelis yang akan memeriksa permohonan PK dari para terpidana korupsi.
ICW mencatat, setidaknya dalam 10 putusan PK yang meringankan narapidana korupsi terdapat hakim yang kerap memberikan putusan ringan.
"Misalnya LL Hutagalung, diketahui telah meringankan hukuman dari lima terpidana korupsi yaitu Tarmizi, Patrialis Akbar, Rusli Zainal, OC Kaligis, dan Sanusi. Lalu Andi Samsan Nganro diketahui meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi yaitu Tarmizi, Patrialis Akbar, Angelina Sondakh, dan Cahyadi Kumala. Selain itu Sri Murwahyuni yang juga sama telah meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi yaitu Choel Mallarangeng, Suroso Atmomartoyo, Tarmizi, dan Patrialis Akbar," tambah Kurnia.
Dengan maraknya pengurangan hukuman pada tingkat PK akan membuat pelaku korupsi berbondong-bondong mencoba peruntungannya meski tidak didukung dengan bukti baru yang cukup.
Untuk syarat PK sendiri sebenarnya telah diatur secara tegas dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu (1) Apabila terdapat keadaan/novum baru; (2) putusan yang keliru; (3) Ada kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan. Namun dalam beberapa kasus syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.
"ICW menuntut agar Ketua MA harus selektif dalam menentukan komposisi majelis yang akan menyidangkan PK terpidana kasus korupsi; KPK dan Komisi Yudisial harus mengawasi proses jalannya PK di MA," tegas Kurnia.
Ke-21 terpidana korupsi yang mengajukan PK ke MA yaitu:
1. Perantara Suap Gubernur Bengkulu Rico Diansari yang divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta
2. Bupati Rokan Hulu Suparman yang divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta
3. Mantan Anggota DPR dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang divonis 14 tahun penjara, denda Rp5 miliar, uang pengganti Rp57 miliar dan 5 juta dolar AS
4. Anggota DPRD Sumut Guntur Manurung yang divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta, uang pengganti Rp 350 juta
5. Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar dalam kasus suap penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) kepada instansi pertahanan Filipina yang divonis 4 tahun penjara dtiambah denda Rp200 juta
6. Panitera Pengganti Pengadilan Bengkulu Badaruddin Bachsin yang divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta
7. Direktur Keuangan PT Berdikari Siti Marwa yang divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta
8. Asisten Daerah III Provinsi Jambi Saipudin yang divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta
9. Plt Sekda Provinsi Jambi Erwan Malik yang divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta
10. Kontraktor Maringan Situmorang dalam perkara suap kepada Bupati Batubara yang divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta
11. Direktur PT Menara Agung Pusaka Donny Witono yang divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp50 juta
12. Bupati Batubara OK A Zulkarnain yang divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta dengan uang pengganti Rp5,9 miliar
13. Pengacara OC Kaligis divonis 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta
14. Panitera PN Jakarta Utara Rohadi divonis 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta
15. Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus KTP-Elektronik divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta dan uang pengganti 7,3 miliar dolar AS
16. Bupati Buton Samsu Umar Abdul divonis 3 tahun dan denda Rp150 juta
17. Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta
18. Pengusaha Johannes Kotjo divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta
19. Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi divonis 6 tahun penjara
20. Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta
21. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp750 juta.
ICW minta MA tolak pengajuan Peninjauan Kembali terpidana korupsi
Selasa, 5 November 2019 9:15 WIB