Bandarlampung (ANTARA) - Konflik manusia dengan satwa liar merupakan sesuatu yang kerap di desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
TNBBS yang merupakan salah satu cagar alam suaka margasatwa dan juga warisan dunia memiliki luasan 324.000 Ha dimana tujuh puluh persen dari taman (249.552 hektare) termasuk dalam administrasi wilayah Kabupaten Lampung Barat dan wilayah Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, sedangkan, 23 persen (74.822 Ha) kawasan TNBBS berada di wilayah Provinsi Bengkulu.
Sering terjadinya konflik antara manusia dengan satwa liar yang berada di TNBBS semacam gajah, macan dan beruang bukan menjadi barang baru. Permasalahan tersebut cukup kompleks karena melibatkan keselamatan warga sekitar perbatasan dan hewan yang di lindungi.
Tidak ayal konflik yang sering terjadi tersebut menjatuhkan korban jiwa baik dari manusia maupun satwa liar yang dilindungi tersebut.
Desa Margomulyo, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung merupakan desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNBBS dan sering sekali warga di sana berkonflik dengan satwa liar terutama gajah.
Desa yang baru terbentuk sejak 2011 hasil pemekaran tiga desa, yakni Sukaraja, Tugu Pakpak dan Kacapura dengan jumlah kartu keluarga sekitar 324 dan jiwa sekitar 700 orang tersebut saat ini sedang bersemangat dalam melakukan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar, dengan cara-cara yang tidak menyakiti mereka.
Konflik manusia dengan hewan
Plt Dinas Kehutanan Provinsi Lampungn Wiyogo Supriyanto mengatakan bahwa dalam catatan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) dalam kurun waktu dari 2012 hingga 2018 eskalasi konflik manusia dengan satwa liar terbilang cukup tinggi.
"Untuk konflik manusia dan harimau (KMH) yang terjadi di bentang alam Bukit Barisan Selatan (BBS) dan Bukit Balai Renjang Selatan (BBRS) mencapai 128 konflik dan sebanyak 223 konflik manusia dengan gajah (KMG) sedangkan dalam kurun waktu yang sama 1.544 konflik manusia dan gajah terjadi di Taman Nasional Way Kambas," kata dia.
Menurutnya, konflik yang terjadi merupakan akibat dari peralihan hutan menjadi kebun dan pemukiman maupun eksploitasi berlebihan terhadap satwa liar di alam sehingga hewan dalam kawasan konservasi pun keluar untuk mencari sumber makanannya.
Selain itu, satwa liar juga memiliki wilayah jelajahnya sendiri semenjak hutan masih utuh dan belum mengalami degradasi.
"Konflik di desa kami dengan hewan liar di TNBBS memang sudah sejak lama terjadi, dan menyebabkan banyak kerugian karena kebun-kebun jadi hancur," kata Satgas Konflik Margomulyo Suyono.
Ia mengatakan bahwa kawanan gajah tersebut datang biasanya malam hari dan seperti sudah terjadwal mungkin dalam satu tahun 2-3 kali melintasi desa ini.
Awalnya warga di Margomulyo untuk menghalau gajah-gajah tersebut menggunakan api dan kayu agar mereka masuk kembali ke hutan namun hal tersebut memang kurang efektif dan tidak diperbolehkan sebab akan menyakiti mereka.
"Pada akhirnya banyak pihak yang mengajari kami cara menanggulangi konflik ini tanpa menyakiti satwa liar tersebut seperti dari pihak TNBBS dan beberapa NGO," kata dia.
Namun, warga pun masih butuh bantuan untuk melengkapi alat-alat yang akan digunakan untuk melakukan penanggulangan tersebut sebab konflik masih akan berlangsung tanpa tahu kapan akan berakhir.
"Tapi kita sadar bila dalam konflik itu kami sakiti hewan tersebut bisa dapat hukuman maka dari itu kami akan menghalau gajah liar tersebut tanpa menyakitinya, namun kami juga butuh dukungan sarana dan prasarana karena ini masalah kita bersama," katanya.
Menanggulangi Konflik
Menurut Ketua Satgas penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar Desa Margomulyo, Suyono, di Tanggamus masalah dengan satwa liar sudah sejak lama terjadi di desa sehingga ia pun termotivasi untuk mengumpulkan satgas dari daerah lain yang memiliki persoalan yang sama sehingga warganya dapat belajar dari pengalaman mereka dalam penanggulangan konflik.
Selain itu kegiatan temu karya yang bekerja sama dengan TNBBS dan WCS ini bertujuan memperkuat pendekatan kemandirian masyarakat ke dalam kerangka kebijakan daerah dan nasional sebab satgas pun tidak bisa bekerja sendirian tanpa dukungan dari berbagai pihak.
"Satgas tingkat desa dibentuk untuk merespons dan melakukan mitigasi konflik manusia dengan satwa liar yang terjadi selama ini di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, sehingga kami pun perlu dukungan baik sarana dan prasarana karena selama ini kami hanya mengandalkan swadaya masyarakat dan pihak luar dalam menanggulangi konflik tersebut," jelasnya.
Kabid TNBBS wilayah 1 Siti Muksidah, mengatakan bahwa desa-desa yang sering berkonflik dengan satwa liar di daerah yang berbatasan langsung dengan taman nasional ada sebanyak 60 daerah di Provinsi Lampung dan yang baru memiliki satgas baru lima daerah.
Ke depan pihaknya berencana akan membentuk tim satgas di desa yang belum memilikinya dan setiap satgas akan diusahakan memiliki SK minimal dari lurah setempat, kata dia.
"Saat ini masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNBBS sudah memiliki kesadaran bahwa dalam menanggulangi konflik dengan satwa liar tidak bisa lagi dengan cara-cara yang dapat menyakiti atau melukai hewan tersebut namun lebih kepada pengusiran secara lunak," ujarnya.
"Kita melihat masyarakat sudah sadar akan itu bahwa semakin kita keras kepada hewan liar itu maka mereka akan melawan, sehingga mereka pun mencari cara-cara yang lebih aman dalam melakukan mitigasi satwa liar tersebut," jelasnya.
Pihak TNBBS pun bersama pihak luar tidak hanya tinggal diam dalam konflik ini dan terus melakukan sosialisasi dan memberikan pelatihan kepada masyarakat yang berbatasan dengan kawasan konservasi tentang cara penanggulangan konflik dengan satwa liar.
Plt Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menegaskan bahwa upaya dalam menanggulangi konflik antara manusia dengan satwa liar adalah tugas yang harus dilakukan bersama-sama.
Dalam kegiatan mengatasi konflik ini tetap harus mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar.
Sementara itu Direktur WCS Noviar Andayani mengatakan, bahwa misi mereka dalam hal ini untuk membantu pemerintah melestarikan satwa liar.
Sering terjadinya konflik manusia dengan satwa liar di kawasan konservasi terutama di daerah perkebunan warga membuat mereka merasa terancam sehingga menciptakan siklus yang negatif bagi petani yang pada akhirnya tidak mau menanam tanaman yang bernilai ekonomi tinggi sebab takut akan kerugian.
Namun, dari pendampingan yang diberikan oleh WCS dan TNBBS cara mengatasi konflik secara mandiri dan merespon serangan gajah dengan positif masyarakat di sini sudah mulai berani menanam tanaman yang bernilai ekonomi tinggi.
Melihat konflik ini merupakan ancaman nyata bagi satwa maupun manusia, sehingga menaggulangi pemersalahan tersebut merupakan sebuah keniscayaan bagi WCS untuk memastikan gajah dan harimau bisa punya masa depan di lansekap yang semakin lama didominasi manusia.
"Kalo itu bisa kita lakukan tentunya nasib harimau dan gajah yang dikhawatirkan terus menyusut bisa dibalik kecendrungannya dari negatif dan positif," Katanya.
WCS bersama TNBBS dan pemerintah setempat sudah memberikan dukungan dengan mengajarkan serta melatih masyarakat dalam menanggulangi konflik." Masyarakat harus turun langsung, ikhlas dan berbagi ruang dengan gajah sebab bila konflik ini di kelola dengan baik sebenarnya dapat menguntungkan ke dua belah pihak," ujarnya.