Banten (ANTARA) - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria Pauline Lumowa dari kas Bank BNI pada 2003 lalu sebesar Rp1,2 triliun.
Hal tersebut sekaligus meluruskan pemberitaan sebelumnya yang menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria dari kas BNI sebesar Rp1,7 triliun, yang dikutip dari siaran pers Kementerian Hukum dan HAM terkait ekstradisi terhadap Maria Pauline pada Rabu (8/7).
Baca juga: Tiba di Indonesia, Maria Pauline Lumowa diserahkan ke Bareskrim Polri
Yasonna menjelaskan, munculnya angka Rp1,7 triliun tersebut kemungkinan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan kurs dollar saat ini.
"Jadi begini, boleh saja mungkin itu perhitungan kurs. Jadi kalau dalam data kita masih Rp1,2 triliun. Mungkin wartawan lihat-lihat kursnya, itu bisa Rp1,7 (triliun) atau bisa lebih, ini kan kurs dollar. bisa nanti dihitung kalau ditambah bunga, ditambah profitnya mungkin itu lebih hebat lagi," kata Yasonna.
Yasonna mengatakan, terkait jumlah pasti kerugian negara yang diakibatkan aksi pembobolan oleh Maria dan tersangka lainnya, akan dihitung oleh pengadilan.
"Biarlah nanti penghitungan itu dari pengadilan akan menghitung berapa kerugian negara, jaksa tentunya dalam tuntutannya akan menghitung kembali berapa kerugian negara," kata Yasonna.
Diketahui, Maria Pauline Lumowa diekstradisi dari Serbia pada Rabu (8/7). Yang bersangkutan tiba di Indonesia pada Kamis siang, dan langsung diserahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Keberhasilan proses ekstradisi tersebut tidak lepas dari diplomasi hukum tingkat tinggi dan hubungan baik antar kedua negara.
Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Baca juga: Pembobol BNI Maria Pauline yang buron 17 tahun tiba di Tanah Air
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Yasonna dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (8/7).
Baca juga: Akhir petualangan Maria Pauline Lumowa pembobol Bank BNI Rp1,7 triliun