Jakarta (ANTARA) - Ikhwal terjadinya konflik antara satwa gajah dengan manusia, hingga saat ini masih saja menjadi fakta keras yang tidak terbantahkan.
Akibat konflik tersebut, pada intinya yang dirugikan adalah keduanya, yakni dari sisi satwa dan juga sekaligus manusianya.
Dampak ikutannya, bahkan terjadi korban, baik kerusakan lahan dan kebun, maupun gajahnya sendiri yang terluka atau bahkan paling tragis, akhirnya mati.
Peristiwa paling baru adalah yang sampai saat ini terjadi di Provinsi Aceh, di mana pada Selasa (25/8) 2020 sekurangnya 11 ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) liar merusak sejumlah rumah milik warga transmigrasi di Desa Blang Lango, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya.
Kepala Resort Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah II Meulaboh Zulkarnen menjelaskan kawanan gajah tersebut juga merusak rumah dan kebun warga di sejumlah desa, seperti di Desa Blang Teungku, Tuwi Meuleusong, Blang Lango, Kandeh, Kila, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya.
Akibatnya, tanaman pohon pisang, kelapa sawit dan pohon kelapa serta rumah warga yang rusak akibat kawasan mereka dimasuki serombongan satwa berukuran besar itu.
Apa yang kini sedang terjadi di Aceh Barat itu, adalah salah satu saja dari peristiwa serupa, khususnya di kawasan Pulau Sumatera sebagai habitat utama gajah.
Sepanjang tahun, hampir selalu terjadi peristiwa konflik antara gajah dengan manusia tersebut.
Khusus di Aceh saja, menurut Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto dalam pernyataan yang dikutip dari Forum Jurnalis Lingkungan di Banda Aceh, Jumat (17/1) 2020, berdasarkan data pihaknya, terjadi peningkatan konflik gajah selama lima tahun terakhir.
Ia menyodorkan data pada 2015 terjadi 39 kali konflik, lalu 2016 naik menjadi 44 kali, naik lagi 103 kasus pada 2017.
Sempat turun 73 kasus pada 2018, tetapi pada 2019 meningkat lagi sebanyak 107 kasus.
Agus Arianto menambahkan setidaknya tercatat 38 ekor gajah mati selama 2016 hingga 2020, di mana penyebab kematian gajah 74 persen karena konflik, 14 persen perburuan dan 12 persen mati alami.
Ia menyebut konflik itu kian meningkat selama lima tahun terakhir, di mana peningkatan itu juga ditambah belum adanya strategi khusus penanganan konflik.
Ancaman
Berdasarkan data Badan Konservasi Dunia (International Union for Conservation of Nature (IUCN) spesies gajah tersebut masuk dalam status kritis (Critically Endangered/CR).
Di Indonesia, gajah sumatera masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Melihat masih sering terjadinya konflik tersebut, jika tidak ditemukan solusi yang baik, ancaman akan terus berkurangnya populasi gajah akan kian nyata.
WWF Indonesia mengulas bahwa ancaman utama bagi gajah sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan, perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan, seperti pada sawit dan kertas skala besar.
Kondisi itulah yang mendorong terjadinya konflik manusia-satwa, yang semakin hari kian memuncak menyebabkan terjadinya pembunuhan, yang umumnya dengan peracunan dan penangkapan.
Disebutkan bahwa ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap "hama" itu.
Pada ulasan WWF itu menyebut bahwa selama tahun 2013 saja, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik gajah di Riau mencapai Rp1,99 miliar, belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan konflik gajah di Sumatera.
Satu di antara upaya yang pernah dilakukan dalam upaya menangani konflik gajah dan manusia adalah kerja sama Indonesia dan Australia yang membangun rumah sakit (RS) gajah pertama di dunia yang berlokasi di Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, pada 2012.
RS gajah itu yang dijalin atas kerja sama antara Lembaga Konservasi "eksitu" (di luar habitat alami) Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, "Australia Zoo", dan KLHK (Kemenhut saat itu) menelan biaya sebesar Rp 20 miliar.
Kemenhut menyediakan lahan seluas 100 hektare, sedangkan dana pembangunannya disediakan TSI dan "Australia Zoo".
Direktur Lembaga Konservasi "eksitu" TSI Tony Sumampau menyatakan dalam banyak kasus pada konflik antara manusia dan satwa, termasuk pada lahan perkebunan, terjadi gajah yang luka dan memerlukan perawatan.
Karena itu, bagi Koordinator Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) itu dengan status dari IUCN bahwa gajah di Indonesia masuk dalam kategori sangat terancam punah sehingga keberadaan RS Gajah itu menjadi penting.
Mitigasi
Terkait kondisi tersebut, sebenarnya pemerintah sendiri menyatakan melakukan upaya mencari solusi konflik gajah dan manusia melalui mitigasi.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK Ir Wiratno, M.Sc dalam sebuah lokakarya "Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa Liar melalui Upaya Pencegahan di Sekitar Habitat Satwa Liar" pada Maret 2019 menyatakan secara umum, konflik manusia dan satwa liar terjadi akibat adanya interaksi yang berdampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, antara manusia dan satwa liar.
Pada kondisi tertentu konflik tersebut, katanya pada diskusi yang digagas Puskashut Yayasan Sarana Wanajaya, The Indonesian Wildlife Conservation Foundation (IWF) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) itu, dapat merugikan semua pihak yang berkonflik sehingga dibutuhkan mitigasi.
Hal itu berwujud pada pencegahan konflik manusia dan satwa liar, yang merupakan upaya untuk mengatasi, atau mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia, tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar.
Ketika bersama anggota Komisi IV DPR Muslim berkunjung ke Kabupaten Bener Meriah, Aceh, pada Senin (24/2) 2020 untuk membahas strategi penanganan konflik antara manusia dan gajah liar di Kabupaten Bener Meriah, Wiratno menyatakan disepakati rencana tindak lanjut, yaitu dilakukan proyek percontohan, yang merupakan bagian dari penanggulangan konflik gajah di Provinsi Aceh secara keseluruhan.
Penanganan itu, dilaksanakan secara komprehensif dan simultan bersama para pihak yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, mitra kerja konservasi dan masyarakat.