Jakarta (ANTARA) - Badan Restorasi Gambut (BRG) mengembangkan Sekolah Lapang Petani Gambut (SLPG) untuk melatih petani mengenai tata cara mengelola lahan gambut tanpa bakar sebagai salah satu upaya pemulihan ekosistem gambut.
"Sekolah lapang ini memberikan solusi praktis bagaimana mereka bisa tetap terus memanfaatkan lahannya tapi tidak harus takut dengan tudingan membakar lahan. Mereka mengembangkan teknologi pertanian tanpa bakar itu ditambah juga dengan teknologi pertanian alami, pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia," ujarnya melalui keterangan tertulis.
Baca juga: BRG gandeng Muhammadiyah tingkatkan kepedulian masyarakat jaga gambut
Menurut Myrna, pemulihan ekosistem gambut oleh BRG tidak bisa hanya menggunakan pendekatan hukum, namun juga melalui peningkatan kesejahteraan serta ekonomi warga sekitar lahan yang salah satunya dengan menyelenggarakan SLPG.
Sebelumnya dalam Webinar bertema "Kebijakan Negara dalam Perlindungan Hutan" yang digelar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyatakan kerusakan alam yang terjadi karena tidak adanya kepatuhan dari perusahaan pemilik izin dan pemerintah daerah.
Di sisi lain Kelemahan penegakan hukum secara administratif dalam persoalan karhutla menurut lanjutnya, karena tidak adanya pengawasan pemda maupun pemerintah pusat.
"Pencegahan secara administrasi ini bersifat mudah dan murah, tapi tidak dilakukan, model penegakan hukum yang berlaku banyak hukum pidana, after the fact," ucap dia.
Baca juga: BRG targetkan restorasi 39.239 hektare lahan gambut di Papua
Penegakan hukum harus diarahkan pada dua hal yakni penetapan pertanggungjawaban korporasi sebagai badan hukum atau corporate criminal liability serta penerapan multi rezim hukum (multidoor system).
Dalam hal hukum perdata, Achmad menganjurkan adanya deterrent effect yakni gugatan perdata untuk memulihkan kerugian warga negara akibat kebakaran lahan dan hukum yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Pakar lingkungan Emil Salim menyebut sering ada kepentingan yang berbeda antar pemerintah dengan akademisi dalam memandang persoalan lingkungan disebabkan masa bakti pemerintah yang berlaku maksimal 10 tahun sehingga kebijakan yang diambil pemerintahan yaitu jangka pendek.
"Diperlukan perubahan paradigma pembangunan. "Jika kita ingin mengubah pembangunan yang berlaku dari resource exploitation mejadi pola resource enrichment, perlu dibenahi sumber daya manusia, sains dan teknologi," kata dia.
Baca juga: BRG kembangkan solusi buka lahan gambut tanpa membakar
Terkait pendekatan hukum dalam upaya restorasi lahan gambut, Myrna A. Safitri menyebutkan BRG telah berupaya membuka akses keadilan dan pemberdayaan hukum masyarakat, antara lain dengan menyelenggarakan pelatihan kepada paralegal secara bertahap di perdesaan gambut.
"Paralegal tersebut diberikan tugas untuk membantu pihak desa membuat peraturan desa yang mengarah terwujudnya perlindungan ekosistem gambut di tempatnya masing-masing, memberikan literasi hukum serta melakukan mediasi dan negosiasi ketika ada konflik," katanya
Sudah ada 759 paralegal yang didampingi BRG yang tersebar di 7 provinsi yang menjadi target restorasi, tambahnya, dan ada 152 kasus yang sudah didampingi paralegal BRG tersebut, sebagian besar kasus itu terkait pertanahan dan lingkungan termasuk soal kebakaran hutan dan lahan.