Tanjungpinang (ANTARA) - Demokrasi pemilu di Indonesia mengalami berbagai perubahan sejak Orde Lama hingga setelah reformasi. Tahun 1955 hingga 2019, Pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan 12 kali pemilihan legislatif, dan 4 kali pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pembenahan terhadap sistem kepemiluan lebih gencar dilakukan setelah reformasi, yang disesuaikan dengan tuntutan bangsa, dan kondisi negara. Pemilu di era reformasi masih berkutat pada misi utama yakni mencegah lahirnya pemimpin negara yang otoriter, dan terlalu lama menjabat.
Sistem Pemilu tahun 2019, contohnya berbeda dengan pemilu sebelumya. Perbedaan yang paling mencolok adalah menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif pada waktu yang sama. Sistem pemilu ini kemudian dikenal dengan pemilu serentak (concurrent elections).
Pemilu serentak 2019, sejarah pertama setelah reformasi, yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU ini lahir dari Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan pemilihan umum nasional serentak antara pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) dan pemilihan umum ekskutif (presiden dan wakil presiden).
Pemilu serentak antara pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) dan pemilihan umum ekskutif (presiden dan wakil presiden).
Pemilu legislatif 2019 diikuti oleh 16 partai politik, dimana 9 partai politik melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold ) sebesar 4 persen dan tujuh partai tidak melewati ambang batas ini.
Partai Politik yang melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold ) yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP. Partai yang tidak melewati ambang batas yaitu Bekarya, PSI, Hanura, PBB, Perindro, PKPI dan Partai Garuda.
Pemilu legislatif 2019 dimenangkan oleh PDIP dengan 27.053.961 suara atau 19,33% dengan 128 Kursi. Pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 hanya diikuti oleh dua pasangan calon saja. Pemilihan ini dimenangkan oleh pasangan 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dengan perolehan suara 85.607.362 atau 55,50 persen di urutan kedua pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 68.650.239 suara atau 44,50 persen.
Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Bismar Arianto, mengatakan, pemilu serentak telah selesai dilaksanakan 17 April 2019, dan hasilnya ditetapkan baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif.
Baca juga: Pakar sebut Pemilu Serentak 2024 jadi pilihan baik
Catatan
Pemilu serentak 2019 meninggalkan sejumlah catatan yang mesti diperbaiki untuk penyelenggaraan pemilu serentak berikutnya.
Catatan terhadap pemilu serentak tahun 2019 ini di antaranya, beban tugas penyelenggara pemilu, kualitas kampanye pemilu, banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal, masyarakat yang terpolarisasi, dan kuatnya pengaruh media sosial.
"Paling tidak, empat hal itu yang menjadi cacatan terhadap pelaksanaan pemilu serentak 2019. Selain cacatan bawaan yang selalu ada dalam setiap pemilu pasca reformasi yaitu terkait dengan kualitas data pemilih yang selalu bermasalah," ujarnya, yang juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMRAH.
Ia menjelaskan pemilu ini dilakukan secara serentak sehingga berdampak secara signifikan terhadap penambahan beban kerja penyelenggara pemilu. Konsekuensinya ada tambahan tugas penyelenggara yaitu melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden, sehingga ada penambahan jumlah kertas suara, pada pemilu terpisah hanya empat kertas suara yaitu DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, pada pemilu serentak menjadi lima kertas suara ditambah dengan kertas suara pemilu presiden dan wakil presiden.
Masa kampanye calon anggota DPR, DPD dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden dimulai sejak 23 September 2018 - 13 April 2019 atau hampir enam bulan. Pada pemilu 2019, menurut dia perhatian publik lebih tertuju pada kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Gegap gempita kampanye pemilu presiden ini menenggelamkan kampanye pemilu legislatif. Dampaknya, publik tidak terlalu memperhatikan kampanye para calon anggota legislatif.
Kondisi ini diperburuk dengan upaya sosialisasi dan kampanye calon legislatif yang relatif terbatas dalam artian tidak semua calon aktif melakukan kampanye. Padahal kedua pemilu ini sama pentingnya, namun faktanya pemilu presiden lebih menjadi perhatian publik dibandingkan pemilu legislatif.
Konsekuensinya adalah terbatasnya informasi yang dimiliki pemilih terhadap calon anggota legislatif mulai dari track record, visi, misi, program kerja, komitmen dan integritas yang mereka miliki. Sehingga pemilih harus menentukan pilihan dalam keterbatasan informasi tentang calon.
Banyak penyelenggara pemilu yang meninggal dunia saat bertugas.
Pada pemilu 2019 lebih 550 orang penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu yang meninggal dunia, serta lebih dari 3.500 orang yang sakit saat menjalankan tugas menyelenggarakan pemilu.
Sakit yang diderita antara lain, hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan.
Penjelasan Kementerian Kesehatan tentang penyebab meninggal penyeleggara pemilu ini tidak serta merta meredam hasrat publik untuk mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai hal ini.
Sikap kritis dan kecewaan terhadap respons KPU, Bawaslu dan pemerintah yang terkesan lamban terhadap masalah ini disampaikan oleh sejumlah pihak mulai dari peserta pemilu, akademisi, pengiat pemilu, sejumlah lembaga kemasyarakatan dan keagamaan, Ombudsman dan Komnas HAM.
"Banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal ini menjadi cacatan kelam dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019," kata Bismar.
Catatan berikutnya, masyarakat yang terpolarisasi. Secara faktual pemilu 2019 membuat masyarakat tersegmentasi secara tajam terutama para pendukung pasangan presiden dan wakil presiden 01 dan 02. Polarisasi dukungan ini diperkuat dengan masifnya keterlibatan publik dalam perdebatan pemilu di media sosial.
Perdebatan di media sosial ini sebagian cendrung kontraproduktif untuk tumbuh kembangnya demokrasi, karena lebih berbasis pada informasi yang tanpa data, fakta dan hoaks. Kondisi ini berpontensi menimbulkan gesekan antar pendukung yang dapat memicu disintegrasi bangsa.
Kuat polarisasi antar pendukung ini bisa dilihat dari penyebutan cebong dan kampret yang hingga saat ini masih membekas di media sosial.
Idealnya, dalam pemilu harus membiasa publik untuk berdebat, berbeda pandangan pada hal yang subtantif, sehingga melalui perdebatan tersebut bisa menguji visi misi, program kerja gagasan ide, track record calon secara lebih komprehensif.
Pengamat politik hukum dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dewi Haryanti berpendapat, pemilu serentak yang direncanakan tahun 2024 berpotensi mengancam kesehatan para penyelenggara pemilu, yang mengakibatkan mereka tidak dapat bekerja secara optimal.
"Pemilu serentak menyebabkan penyelenggara harus bekerja secara ekstra yang dapat mengancam kesehatan karena kelelahan sehiingga tidak bisa bekerja optimal," kata Dewi.
Mantan anggota KPU Tanjungpinang itu menjelaskan kinerja penyelenggara pemilu juga tidak dapat maksimal jika bimbingan teknis terhadap penyelenggara tidak optimal mengingat banyak tanggung jawab yang harus dilakukan selama pemilu.
"Jika regulasinya tidak tegas dan jelas, karena harus mengubah peraturan perundang-unangan, maka akan memunculkan berbagai permasalahan yang akan berimplikasi pada pemilu ulang atau penundaan sebagian tahapan pemilu," ujarnya, yang juga dosen pengampu mata kuliah Pemilu dan Demokrasi.
Ia mengatakan pelaksanaan pemilu serentak menyebabkan penyelenggara pemilu dapat menghemat penggunaan anggaran negara, yang paling besar dipergunakan untuk membayar honor penyelenggara, termasuk untuk penyelenggara adhoc.
"Kalau pemilu serentak, honor cukup dibayar untuk satu kegiatan pemilu serentak saja," ucapnya.
Selain itu, menurut dia, penyelenggara pemilu juga dapat menghemat anggaran untuk pengadaan logistik, dan biaya bimbingan teknis penyelenggara pemilu.
"Masyarakat maupun penyelenggara tidak direpotkan dengan adanya verifikasi pemilih untuk kepentingan penetapan daftar pemilih secara berulang," tuturnya.
Akademisi, Robby Patria, yang juga mantan Ketua KPU Tanjungpinang, mengatakan hal yang sama. Beban penyelenggara pemilu serentak 2024 semaki berat karena harus menyiapkan dua pemilihan dalam satu waktu.
"Tahapan pemilu tentu beririsan antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Misal, pemungutan suara pileg dan pilpres pada April 2024, lalu pilkada-nya November 2024, maka saat sedang tingginya beban kerja penyelenggara pada April dan Mei, saat bersamaan mereka harus siapkan tahapan pilkada antara lain pemutakhiran data pemilih dan pencalonan perseorangan," ujarnya.
Sementara sisi positif pemilu serentak 2024 yakni efisiensi anggaran. Satu tahun penyelenggaraan, maka bisa dituntaskan seluruh proses elektoral.
"Tidak perlu berkali-kali merekrut petugas, terutama tingkat adhoc," katanya.
Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat
Perhatian Publik
Hasil Pemilu 2019 menggambarkan perhatian publik cenderung pada pemilu eksekutif, meskipun dipisah antara pemilu serentak nasional dan daerah, namun tetap terjadi pengabungan antara pemilu eksekutif dan legislatif.
Penggabungan dua pemilu ini akan berdampak pada fokus perhatian publik pada pemilu eksekutif seperti pada kasus pemilu serentak 2019.
Hal ini terjadi karena jumlah calon dalam pemilu eksekutif lebih sedikit sementara jumlah calon dalam pemilu legislatif banyak, dimana setiap partai politik boleh mengajukan calon sebanyak kursi yang diperebutkan dalam setiap dapil, sehingga sulit bagi pemilih untuk bisa mengikuti perkembangan dan mencari informasi calon dalam pemilu legislatif.
Faktor lain isu, tema dan permasalahan yang diperdebatkan dalam pemilu eksekutif akan terkait langsung dengan permasalahan publik karena posisi eksekutif sebagai pembuat dan pelaksanaan kebijakan, berbeda dengan posisi legislatif yang hanya terlibat dalam pembuatan dan pengawasan kebijakan.
Hal lain, KPU hanya memfasilitasi debat untuk pemilu eksekutif, tidak ada fasilitasi dalam debat legislatif.
"Maka meskipun dipisah antara pemilu nasional dan daerah perhatian publik akan tetap lebih pada pemilu eksekutif," kata Bismar.
Pemisahan pemilu ini juga berkolerasi terhadap menguatnya polarisasi di masyarakat karena perhatian masyarakat akan tertuju pada dua pemilu ini dalam dua momen dan waktu yang berbeda.
Demokrasi memang memfasilitasi perbedaan, karena esensi dari demokrasi adalah mengelola perbedaan, namun yang menjadi permasalahan adalah tingkat kedewasaan pemilih dalam menyikapi perbedaan ini. Sebagian elit dan masyarakat masih belum dewasa dalam menyikapi perbedaan sehingga berpotensi menjadi sumber gesekan diakar rumput.
Kendala berikutnya waktu pelaksanaan pemilu serentak. Pelaksanaan pemilu serentak nasional tidak akan menjadi masalah yang cukup dengan mengikuti siklus waktu saat ini yaitu akan dilaksanakan pada tahun 2024, namun bagaimana dengan pemilu serentak daerah, tentu idealnya dilakukan pada tahun yang berbeda.
Jika dilakukan tahun 2025, maka ada kekosongan legislatif selama 1 tahun, begitu juga untuk pemilu eksekutif tidak semua kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2025 atau sisa masa jabatan yang masih relatif lama jika dilaksanakan pada tahun tersebut.
"Maka harus ada payung hukum yang jelas untuk mengatur waktu pelaksanaan pemilu serentak daerah, supaya tidak terjadi kekosongan jabatan legislatif di daerah dan para kepala daerah tidak dirugikan dalam masa jabatannya jika pemilu serentak daerah dilangsungkan pada 2025," katanya.
Baca juga: Mendagri: Jangan anggap Pilkada Serentak 2020 biasa saja