Jakarta (ANTARA) - Menteri Sosial Tri Rismaharini menegaskan niat untuk memaksimalkan penanganan terhadap penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB).
"Karena sebetulnya kalau kita tangani benar itu banyak yang bisa berdaya lho. Kita banyak contohnya, yang kita tangani life skill (keterampilan)-nya kemudian kita tangani (kemampuan) activity daily living (aktivitas hidup sehari-hari)-nya," ujar Risma.
Mensos mencontohkan pada satu keluarga di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, terdapat anak usia 8 tahun yang harus merawat dan membantu empat orang dewasa penyandang disabilitas. Dengan penanganan dari Kementerian Sosial, empat orang tersebut sudah dapat beraktivitas sendiri tanpa bantuan.
Ia juga pernah menemukan permasalahan seperti SLB yang letaknya terjal di wilayah yang sebagian besar memiliki anak-anak disabilitas di suatu daerah. Sehingga para orang tua mendirikan sekolah SLB sendiri.
Untuk itulah, Mensos mengupayakan agar anak-anak penyandang disabilitas yang bersekolah di SLB dapat diajarkan kurikulum yang mendorong keterampilan seperti mengenali mesin dan perakitan, beternak, berkebun, serta kegiatan seni pertunjukan.
"Lagi saya siapkan suratnya untuk ke Pak Nadiem (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi), dan Menag (Menteri Agama) untuk koordinasi soal ini, karena pasti biayanya memang enggak murah, karena kan semua butuh spesialisasi, untuk anak-anak seperti ini," ujar dia.
Mensos Risma berpendapat kekurangan di SLB adalah pembelajaran keterampilan, sehingga bagaimana hal tersebut dapat diterapkan agar anak-anak tersebut dapat percaya diri dan mengubah stigma negatif yang menganggap penyandang disabilitas adalah aib.
Kemudian sekolah tersebut juga harus dipastikan tidak ada perundungan yang dapat mengarah pada murid disabilitas. Selain itu yang terpenting adalah penyediaan alat-alat bantu dari Kemensos guna menunjang materi keterampilan, terutama bagi murid yang miskin.
Sebab menurut data yang dipaparkannya, kurang lebih 42.000 anak usia 12-16 tahun tidak dapat mengakses pendidikan di SLB. Selain itu, anak penyandang disabilitas rentan menjadi target kejahatan seksual.
Sehingga menurutnya, ada alasan negara dapat hadir untuk menjawab keinginan anak-anak bangsa tersebut agar dapat mengembangkan kemampuannya.
"Karena kita ingin mengoptimalkan kemampuan mereka, kami juga bukan sok tahu, tetapi minimal pendampingnya aja saya sekolahkan agar bisa mengerti bayangan saya kalau kita bisa masuk, bisa menangani life skill, petugas kita minimal bisa membantu membayangkan ke mereka, jika tidak sekolah bukan akhir dari segalanya. Tetapi mereka bisa cari nafkah dengan cara yang lain," ujar dia.