Jakarta (ANTARA) - Puasa intermiten atau puasa berselang, teknik diet populer dengan pola jendela puasa dan makan dalam waktu tertentu, kini dipertanyakan setelah sebuah studi terbaru menyebutkan pola makan ini rupanya terkait dengan risiko kematian yang lebih tinggi akibat penyakit jantung.
Dikutip dari Medical Daily pada Rabu, teknik puasa berselang melibatkan siklus bergantian antara berpuasa dan makan, dengan pola makan terbatas waktu menjadi salah satu pendekatan yang sering dipraktikkan.
Pola makan ini mencakup metode seperti teknik 16/8 (berpuasa selama 16 jam dan makan dalam jendela waktu delapan jam) atau metode 14/10 (puasa selama 14 jam diikuti dengan periode makan 10 jam).
Selain itu, ada teknik lain, seperti puasa setiap hari lainnya, puasa dua kali seminggu, dan puasa satu kali dalam seminggu selama 24 jam.
"Membatasi waktu makan harian menjadi periode yang singkat, seperti 8 jam per hari, telah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir sebagai cara untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan jantung. Namun, efek kesehatan jangka panjang dari pola makan terbatas waktu, termasuk risiko kematian akibat penyebab apa pun atau penyakit kardiovaskular, belum diketahui," kata penulis studi senior Victor Wenze Zhong dari Sekolah Kedokteran Universitas Jiao Tong Shanghai di Shanghai, China.
Dalam studi terbaru, para peneliti menyelidiki dampak kesehatan jangka panjang dari puasa berselang untuk jendela makan 8 jam dengan mengevaluasi lebih dari 20 ribu orang dewasa dengan rata-rata usia 49 tahun
Menurut hasil penelitian awal yang disajikan pada Sesi Saintifik Epidemiologi dan Pencegahan-Gaya Hidup dan Kardiomatabolik Asosiasi Jantung Amerika 2024, orang yang mengikuti jadwal makan terbatas waktu 8 jam memiliki risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular 91 persen lebih tinggi.
Para peneliti mencatat peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular juga pada orang yang tinggal dengan penyakit jantung atau kanker. Bagi orang yang sudah didiagnosis menderita penyakit kardiovaskular, memiliki durasi makan setidaknya 8 jam tetapi kurang dari 10 jam per hari terkait dengan risiko kematian akibat penyakit jantung atau stroke yang meningkat 66 persen.
Studi juga mengungkapkan bahwa membatasi asupan makanan menjadi kurang dari 8 jam per hari tidak terkait dengan peningkatan umur panjang dibandingkan dengan jadwal makan standar selama 12-16 jam per hari.
Sementara itu, durasi makan lebih dari 16 jam per hari terkait dengan risiko kematian akibat kanker yang lebih rendah di antara orang dengan kanker.
"Kami terkejut menemukan bahwa orang yang mengikuti jadwal makan terbatas waktu 8 jam lebih mungkin meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Meskipun jenis diet ini populer karena manfaat potensialnya dalam jangka pendek, penelitian kami jelas menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan jangka waktu makan biasa sekitar 12-16 jam per hari, durasi makan yang lebih pendek tidak terkait dengan umur panjang," ujar Zhong.
"Penting bagi pasien, terutama mereka dengan kondisi jantung atau kanker yang sudah ada, untuk menyadari hubungan antara jendela makan 8 jam dan peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular. Temuan studi kami mendorong pendekatan yang lebih berhati-hati dan dipersonalisasi terhadap rekomendasi diet, memastikan bahwa mereka sejalan dengan status kesehatan individu dan bukti ilmiah terbaru," tambah Zhong.
Studi ini tidak menunjukkan bahwa pola makan terbatas waktu menyebabkan kematian akibat penyakit kardiovaskular tetapi mengidentifikasi hubungan antara jendela makan 8 jam dan kematian akibat penyakit kardiovaskular.