... Anak bapak tidak ada lagi, karena sarafnya tidak lagi berfungsi...Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Sekitar dua pekan lalu, Muhanum Anggriawati masih sehat. Dia pergi sekolah sekitar pukul 07.00 WIB saban hari. Sedikit siang, itu karena jarak sekolah dari rumahnya di Kelurahan Kulim, Kecamatan Tenayanraya, Pekanbaru, Riau, hanya sekitar 30 meter.
Hanum, panggilan akrabnya. Anak tertua dari Mukhlis itu masih berusia 12 tahun. Duduk di bangku kelas 6 SD 171 Kulim. Selama beberapa bulan lalu, bocah perempuan itu selalu berjalan dari rumah ke sekolah, menembus pekatnya kabut asap dampak kebakaran lahan yang menyelimuti Ibu Kota Riau.
"Dia anak yang cukup ceria. Tidak ada riwayat penyakit," kata Mukhlis, di Pekanbaru, Jumat (11/9/2015) malam. Lelaki ini adalah ayah Hanum, berkisah tentang almarhumah putrinya yang masih bocah itu.
Mukhlis yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan surat kabar harian di Pekanbaru itu menceritakan, sejak bencana kabut asap terjadi beberapa bulan lalu, Hanum masih sehat. Selama ini, hidupnya juga berkecukupan. "Hanya saja dia sedikit malas makan," katanya.
Sekitar akhir Agustus lalu, barulah Hanum terlihat tidak sehat. Sesekali tampak batuk dan pilek. "Saya menyangka itu hanya batuk biasa," kata Mukhlis.
Namun setelah beberapa hari kemudian, batuk Hanum tak kunjung reda. Untuk memastikan kondisi kesehatan anaknya, Mukhlis membawa putrinya itu ke seorang bidan yang tinggal tidak jauh dari rumah.
"Batuk dan pilek, biasa karena kondisi udara sekarang tidak sehat. Asapnya luar biasa pekat," kata Mukhlis menirukan pernyataan bidan yang menangani penyakit Hanum waktu itu.
Mendengar keterangan tersebut, Mukhlis sedikit lega, kemudian membawa Hanum kembali ke rumah untuk beristirahat. "Waktu itu dia masih saja batuk dan pilek," katanya.
Keesokan harinya, cerita Mukhlis, kondisi Hanum terlihat semakin parah. Dia sempat beberapa kali muntah namun yang keluar hanya cairan berbentuk lendir. "Waktu itu, sekolah pertama kali diliburkan akibat asap pekat," katanya.
Tidak hanya muntah-muntah, Mukhlis menceritakan, bahwa anaknya tersebut juga mulai mengalami sulit tidur karena mengalami sesak di bagian dada, batuk dan terus mengeluarkan lendir di bagian hidung.
Keesokan harinya, Mukhlis bersama isteri kemudian berinisiatif mengantarkan Hanum ke rumah sakit menggunakan sepeda motor. "Waktu itu, Hanum saya antar bersama isteri sekitar jam 6 pagi. Kabut asap terlihat pekat, sangat pekat," katanya.
Seakan tidak memperdulikan keselamatan, Mukhlis tetap membawa Hanum ke rumah sakit dengan sepeda motor, menembus asap yang begitu pekat. Sesampainya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad, Mukhlis kemudian langung membawa Hanum ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD).
"Cukup banyak perawat dan ada beberapa dokter umum waktu itu. Kondisi anak saya semakin parah, dia kembali muntah mengeluarkan cairan seperti lendir, tubuhnya kemudian melemas," kata Mukhlis.
Di UDG, Hanum langsung mendapatakan perawatan. Seorang dokter ketika itu memberikan alat bantu pernafasan yang ditempelkan ke saluran pernafasan bagian atas, menutupi hidung dan mulut.
Tidak cuma itu, kata Mukhlis, dokter juga memberikan bantuan semprotan ke tubuh Hanum. "Kata dokter, itu merupakan oksigen yang disemprotkan ke paru-paru agar Hanum dapat bernafas lebih baik," katanya.
Namun kondisi Hanum ketika itu bukan membaik, justru sebaliknya, malah parah. "Dia meronta-ronta dan sambil mengucapkan pernyataan yang aneh, aneh sekali," kata Mukhlis.
Wak itu, Hanum memanggil mamanya yang ikut mendampingi, namun terdengar aneh, membuat saya merinding; "Mama... mama nggak sayang lagi sama Hanum." Kemudian; Oom... buka Oom... lepaskan Oom..."
Oom yang dimaksud Hanum mungkin adalah perawat dan dokter yang ada di ruang UGD. Anehnya, lanjut dia, Hanum berucap sambil menyatukan kedua telapak tangan yang diletakkan tepat di atas dada. "Seperti sedang memohon," kata Mukhlis.
Namun suara meronta Hanum berlahan-lahan hilang, wajahnya memucat dan tangannya memegang besi pembatas tempat tidur dengan begitu kuat. "Tidak lama setelah itu, dia melemas dan kemudian suara meronta tidak lagi terdengar. Hanum mulai tak sadarkan diri," katanya.
Ketika itu, Hanum kemudian dilarikan ke ruang perawatan khusus anak atau Pediatric Intensive Care Unit (PICU). "Sejak itu, selama tujuh hari dia tak sadarkan diri," kata Mukhlis.
Setiap jam selama tujuh hari ketika putrinya berada di Ruang PICU, Mukhlis bersama isteri selalu datang menjenguk. Namun tidak ada perubahan. "Anak saya tidak pernah lagi sadar, cuma terkulai di tempat tidur di dalam ruangan khusus," katanya.
Sampai pada akhirnya, hari ketujuh perawatan, seorang dokter mengungkapkan pernyataan pahit sekaligus memupuskan harapan Mukhlis. "Anak bapak tidak ada lagi, karena sarafnya tidak lagi berfungsi..."
"Manusia kalau sarafnya tidak berfungsi, itu berarti sudah dicabut nyawanya. Kami tinggal minta persetujuan untuk mencabut semua alat-alat medis yang kami tempelkan di tubuh anak bapak," kata dokter Robert, sesaat setelah memeriksa kondisi terakhir Hanum waktu itu.
Mukhlis kemudian hanya bisa pasrah. Namun keraguan masih dalam benaknya. "Saya kemudian masuk ke ruangan itu dan menggosok kaki anak saya. Biasanya, kalau masih hidup sarafnya akan memberi sinyal, setidaknya ada pergerakan walau sedikit," katanya.
Secara berlahan, Mukhlis mengusap halus kedua kaki Hanum yang ketika itu jasadnya terlihat begitu pucat, dingin. "Tidak ada tanda-tanda".
"Maka kemudian saya bersama isteri menyetujui permintaan dokter untuk mencabut semua peralatan medis yang menempel. Jasad Hanum kemudian kami bawa pulang untuk dikebumikan," kata Mukhlis.
Belum Pasti
Dirut RSUD Arifin Achmad, Nuzelly Husnedi, mengatakan, belum bisa memastikan apakah meninggalnya Hanum karena dampak asap ataukah penyakit lainnya.
"Kami sejauh ini belum menerima hasil pemeriksaan dari dokter yang menangani penyakit Hanum," kata Husnedi, sehari setelah kepergian Hanum.
Dia mengatakan, meski demikian hasil laporan dari dokter, ada dugaan pasien itu sebelum di bawa ke rumah sakit telah memiliki sakit lainnya. "Kami menduga penyakit bawaannya sebelum meninggal adalah TBC dan radang selaput otak," katanya.
Namun yang jelas, lanjut dia, siapapun tak bisa menghindar dari asap ini. Memang yang paling rawan terkena dampak itu adalah anak-anak dan lansia karena ketahanan tubuhnya berbeda dengan orang dewasa.
"Tapi kami juga tidak bisa memastikan apakah pasien meninggal karena asap," lanjut dia.
Namun menurut laporan yang diterima dari dinas terkait di Riau, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan penyakit akibat asap lainnya di daerah ini terus meningkat signifikan.
Hingga Jumat 11 September 2015, atau sehari setelah Hanum meninggal, dilaporkan penderita ISPA di berbagai daerah kabupaten/kota di Riau sudah mencapai 14.566 jiwa. Jumlah itu jauh meningkat dibandingkan pekan sebelumnya yang masih di bawah 8.000 jiwa.
Pihak berwenang memprediksi peningkatan penderita penyakit saluran pernafasan itu karena kabut asap pekat masih menyelimuti Pekanbaru.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Andra Sjafril, mengatakan, penyakit ISPA yang diderita masyarakat itu disebabkan menghirup udara yang tercemar kabut asap pekat. Supaya jumlah penderita tak bertambah, dia mengimbau warga untuk membatasi aktivitas di luar.
"Jika terpaksa keluar, gunakan masker. Namun sebaiknya, kurangi saja. Apalagi dengan kondisi jarak pandang seperti ini yang hanya 500 meter di Pekanbaru," katanya.
Menurut Sjafril, jumlah penderita ISPA tersebut merupakan laporan Puskesmas, Klinik Kesehatan dan rumah sakit yang ada di kabupaten dan kota di Riau.
Dia menyebutkan, kondisi udara di kabupaten dan kota di Riau sudah tidak sehat bagi kesehatan. Kadar polusi akibat asap menyebabkan oksigen berkurang di udara.
Rata-rata kadar polusi kata dia sudah melebihi 300 Indeks Standar Polutan yang artinya tidak lagi sehat bagi manusia.
Terkait adanya warga Pekanbaru yang diduga meninggal karena gangguan pernapasan,dia a mengaku prihatin. Dia menyatakan sudah menjenguk keluarga korban bernama Muhanum Angriawati itu.
Menurut Andra, gangguan pernapasan yang dialami Hanum itu imbas dari kabut asap, namun bukan penyebab utama.
Jadi begini, demikian Andra, memang betul anak itu jatuh sakit ketika kabut asap menyelimuti Pekanbaru. "Apa yang dihirupnya kemudian memicu gangguan pernapasan, tapi bukan penyebab utama," kata Sjahfil.
Penyebab utama atau bukan, Hanum telah tiada...