Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan penolakan serius kepada Uni Eropa atas tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit melalui EU Deforestation- Free Regulation (EUDR), dalam pertemuan dengan perwakilan Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Organisasi Masyarakat Sipil (CSOs).
Kebijakan EUDR, kata Airlangga, seperti mengecilkan semua upaya Indonesia yang berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan keanekaragaman hayati sesuai dengan kesepakatan, perjanjian dan konvensi multilateral, seperti Paris Agreement.
“Negara anggota CPOPC (Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit) secara ketat sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan. Bahkan level deforestasi di Indonesia turun 75 persen pada periode 2019–2020. Indonesia juga sukses mengurangi wilayah yang terdampak kebakaran hutan menjadi 91,84 persen,” kata Airlangga.
Airlangga meminta pengakuan dan pemahaman dari berbagai pihak di Uni Eropa atas apa yang telah dilakukan negara produsen minyak kelapa sawit dalam melakukan produksi secara berkelanjutan.
“Pesan kami kepada Uni Eropa sudah sangat jelas, berikan kami pengakuan yang layak kami terima,” kata Airlangga.
Dia juga menyerukan dan meminta CSOs dan NGOs di Eropa untuk bersama-sama secara aktif bersuara dan mempromosikan minyak sawit dalam skema yang obyektif, transparan, tidak diskriminatif, serta didukung oleh data dan informasi yang akurat, terbaru, dan terpercaya.
“Komitmen Indonesia untuk memproduksi minyak sawit yang memenuhi persyaratan keberlanjutan serta cara kami menyelesaikan berbagai isu terkait deforestasi, perubahan iklim telah diketahui dan dijadikan contoh oleh berbagai organisasi internasional dan multilateral,” kata Airlangga.
Kampanye No Palm Oil, kata Airlangga, perlu dilawan dan peran dari CSO dan NGO untuk melawan kampanye negatif ini harus terus-menerus dilakukan secara konsisten.
Di kesempatan yang sama, Deputy Perdana Menteri- Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof juga menegaskan akan terus mendukung upaya penanganan perubahan iklim dan penurunan deforestasi.
Pada sesi tanya jawab terungkap adanya keresahan yang juga dirasakan oleh kalangan CSOs dan NGOs terkait dengan regulasi terbaru dari UE ini.
Beberapa masukan atau pertanyaan yang disampaikan oleh kalangan CSOs dan NGOs di antaranya yakni perlu adanya kejelasan bentuk platform konsultasi yang nantinya akan dibentuk untuk mendukung penyusunan implementing regulation dari EUDR, sehingga akan lebih praktis dan tidak birokratif serta tidak merugikan para petani kecil.
Di samping itu, kalangan CSOs dan NGOs juga siap mendukung Indonesia dalam menghadapi permasalahan regulasi EUDR dan turunannya. Hal ini mengingat keberadaan strategis kelapa sawit yang juga memberikan keuntungan bagi para petani kecil. Selain itu, Eropa juga diketahui sama sekali tidak dapat terbebas dari kelapa sawit.
Ketentuan utama EUDR yang berpotensi akan sangat merugikan dan menyulitkan para petani kecil termasuk penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni risiko tinggi, standar, dan rendah
Menyangkut benchmarking, Menko Airlangga tegaskan bahwa sebagai sesama negara anggota yang tunduk pada ketentuan hukum dan konvensi/persetujuan internasional, ketentuan EUDR tersebut berpotensi menghambat akses pasar bagi komoditas yang menjadi target EUDR yakni kopi, kakao, kayu, minyak sawit, dan karet.
Tidak luput dari ketentuan ini adalah pemberian citra negatif akan diberikan kepada negara-negara yang digolongkan sebagai risiko tinggi.
European Union Deforestation Regulation atau EUDR adalah kebijakan yang mengatur komoditas dan dampaknya terhadap deforestasi. Dalam hal ini, komoditas yang termasuk adalah kedelai, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi, dan minyak kelapa sawit.
Melalui EUDR, Uni Eropa menetapkan agar semua operator yang memasukan komoditas dan produk dipasar Uni Eropa dipastikan bebas deforestasi maksimum per tanggal 31 Desember 2020.
Berdasarkan sistem yang diterapkan EUDR, maka setiap negara penghasil komoditas akan dikategorikan menurut tingkat resiko deforestasi oleh Uni Eropa. Dalam hal ini, sebuah negara bisa masuk kedalam kategori rendah, standar atau tinggi.