Padang (ANTARA) - Ketua DPRD Sumatera Barat (Sumbar) Supardi mendorong Bareskrim Polri untuk mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan salah satu politeknik di provinsi tersebut.
Sebab, bisa saja kasus tersebut sudah lama terjadi namun baru terungkap ke publik. Selain itu, polisi juga diminta mendalami apa saja bentuk perlakuan yang dialami mahasiswa tersebut selama berada di luar negeri.
Kemudian, pimpinan lembaga legislatif tersebut juga mendesak polisi agar menindak tegas oknum yang melakukan secara langsung maupun tidak langsung, termasuk pihak yang mengetahui tapi tidak terlibat untuk tetap diproses secara hukum.
Menurut Supardi, apabila kasus dugaan TPPO tersebut benar dilakukan oleh perguruan tinggi, maka hal tersebut sama halnya dengan mencoreng dunia pendidikan.
Di samping pengusutan secara pidana, Supardi juga mendorong kementerian atau lembaga terkait untuk memberhentikan pelaku apabila masih aktif sebagai aparatur sipil negara (ASN).
"Ini mencoreng pendidikan. Apalagi, kasus ini terjadi di Ranah Minang," ujarnya.
Kasus TPPO yang diduga melibatkan salah satu politeknik di Sumbar tersebut menjadi peringatan keras bagi semua pihak terutama dunia pendidikan untuk lebih mewaspadai kejahatan itu.
Ia menambahkan lembaga yang dipimpinnya dalam waktu dekat berencana melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait untuk mencari tahu kebenaran kasus tersebut.
"Saya akan koordinasi dengan teman-teman dulu, sebab kasus ini masuk wilayah Sumatera Barat," kata dia.
Terpisah, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Polisi Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan kasus TPPO dengan modus mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang diawali laporan korban berinisial ZS dan FY ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo.
Berdasarkan keterangan kedua pelapor, mereka bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh salah satu politeknik di Sumatera Barat untuk mengikuti program magang.
"Namun, korban dipekerjakan sebagai buruh," ungkapnya.
Selama satu tahun mengikuti program magang ke Jepang, para korban dipekerjakan layaknya buruh dengan ketentuan bekerja selama 14 jam, mulai pukul 08.00 hingga 22.00. Pekerjaan tersebut dilakukan setiap hari selama tujuh hari tanpa libur, dan hanya diberikan waktu istirahat selama 10 hingga 15 menit untuk makan.