Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa Tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat.
Ia menilai Komnas HAM telah salah kaprah mengenai Tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM biasa. Menurut Hasto, tragedi Kudatuli seharusnya mengungkap aktor intelektual dan pihak-pihak yang terlibat agar bangsa ini belajar di masa lalu.
Adapun pengungkapan tragedi itu akan menjadikan masa depan Indonesia tidak ada lagi kekuasaan yang menindas.
“Karena itulah menjadi momentum yang penting. 27 Juli, suka tidak suka, itu jadi gerbang demokratisasi di Indonesia,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Hasto mengaku sudah melakukan doa bersama untuk korban Tragedi Kudatuli malam tadi. Kemudian, jajaran PDIP sudah melakukan tabur bunga di kantor partai pagi ini.
Ia menyatakan PDIP terus memperjuangkan pengungkapan Tragedi Kudatuli karena percaya dengan Satyameva Jayate bahwa kebenaranlah yang pada akhirnya menang.
“Kami tidak pernah berhenti menyuarakan terhadap menyuarakan terhadap campur tangan kekuasaan terhadap pelanggaran HAM pada 27 Juli 96 meskipun kita menghadapi tembok yang sangat tebal sekali pun, yang mencoba menutupi sisi gelap masa lalu. Kami terus berjuang, tidak pernah menyerah,” tegas Hasto.
Perwakilan Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 124 Joko Sukarno mengatakan para keluarga korban pernah mendatangi Komnas HAM untuk menanyakan bagaimana status Tragedi Kudatuli.
"Kami bertanya kasus ini sampai di mana. Sampai sekarang belum ada kejelasan. Kami meminta ke DPP agar mendesak Presiden Jokowi untuk menanyakan kasus kami," ucap Joko.
Joko mengatakan mendengar informasi bahwa Pemerintah menyebut ada 12 butir kasus HAM yang belum tuntas.
"Semoga yang 12 butir itu termasuk soal kami," lanjutnya.
Hal senada disampaikan Perwakilan FKK 124 Iwan Sanusi bahwa pihaknya menunggu komitmen Pemerintah dalam menangani kasus HAM.
"Kami menunggu agenda dan komitmen pemerintah menangani kasus HAM termasuk kasus 27 Juli," pungkas Iwan.