Jakarta (ANTARA) - Konon, setan merupakan tersangka utama sebagai penggoda yang menjerumuskan manusia pada lembah kesalahan tak berkesudahan. Kini, utang dalam segala bentuk rupa dan perwujudannya, telah menggoda anak-anak muda untuk mengaksesnya tanpa perimbangan kemampuan finansial yang memadai. Akibat terlilit utang, Gen Z dan Milenial banyak terkena gangguan mental, depresi, hingga terisolasi dari pergaulan sosial karena aib yang ditimbulkan oleh kelalaian pengelolaan keuangan.
Sejalan melesatnya perkembangan teknologi finansial, masyarakat sangat dimanjakan dengan kemudahan bertransaksi, termasuk dalam transaksi utang. Berutang tak lagi harus bertatap muka dan mengenal baik pihak kreditur, tidak perlu juga memohon atau meminta tolong, seperti halnya meminjam uang secara konvensional. Tanpa upaya pun, bahkan tawaran utang berseliweran dengan berbagai kemasan promosi yang memikat hati. Apalagi penggunaan frasa-frasa yang menggoda, serupa “Jangan terlewatkan!”, “Penawaran terakhir”, “Beli saja dulu, bisa bayar nanti”, dan lain sebagainya.
Dalam praktik perniagaan daring, promo penjualan kilat (flash sale) disertai fasilitas paylater (beli kini bayar nanti) sungguh menjadi skema ampuh dalam memanipulasi otak konsumerisme yang seolah barang itu memiliki urgensi untuk dibeli saat ini juga. Penjualan kilat tidak memberi kesempatan konsumen berpikir panjang, sedangkan metode "beli kini bayar nanti", memfasilitasi pembeli untuk berutang dengan amat mudah. Akibatnya, kalangan rentan yang belum memiliki literasi keuangan mumpuni gampang terperosok dalam kubangan utang.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat nilai pinjaman daring kelompok Gen Z dan milenial (19-35 tahun) pada tahun 2021 mencapai Rp14,74 triliun, utang yang ditimbulkan, salah satunya dari pemakaian jasa paylater.
Survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) pada 2021 memperkuat temuan tersebut. Penelitian terhadap perilaku keuangan generasi milenial dan Z itu mendapati sebesar 13,8 persen dari kalangan mereka menggunakan jasa paylater. Angka ini lebih besar ketimbang penggunaan kartu kredit yang berada pada kisaran 7,6 persen.
Sementara menurut data Institute for Development of Economic Studies (Indef), tidak sedikit dari mereka, bahkan macet melunasi pinjaman itu. Peneliti Indef Nailul Huda menyebutkan realita ini banyak terjadi pada pengguna berusia 19 tahun ke bawah yang belum berpenghasilan, dengan angka rata-rata kredit macetnya 2,8 juta per orang.
Besaran itu tentu bukan angka yang sedikit untuk ukuran remaja yang belum bekerja. Bagaimana bisa, belum memiliki penghasilan, tapi berani berutang. Sungguh, suatu keberanian yang tidak masuk akal.
Pada bagian lain, survei yang dilakukan oleh aplikasi perencanaan keuangan komprehensif, LendingTree, tahun lalu, memperoleh temuan bahwa seperempat milenial telah melakukan pembelian tanpa memiliki uang, alias dengan cara utang. Dan pengeluaran itu dilakukan dalam rangka kencan atau pacaran. Meski penelitian ini mengambil subyek masyarakat milenial di Amerika, namun gejala serupa pada kenyataannya juga terjadi di negara lain, seperti Indonesia.
Biaya bergaya
Bukan karena keterdesakan atau alasan darurat, anak-anak muda terlilit utang, Ditengarai, motif mereka adalah membeli pengalaman dan membiayai gaya hidup.
Sebuah survei dari platform keuangan pribadi daring, Credit Karma, beberapa waktu lalu, menemukan hampir 40 persen milenial menghabiskan uang yang tidak dimilikinya dan terlilit utang demi gaya hidup dan hubungan sosial.
Rata-rata pengeluaran tersebut dihabiskan demi sebuah pengalaman, seperti berlibur, pesta, kehidupan malam, hingga pernikahan. Bahkan, milenial rela berutang demi makanan, pakaian, alat elektronik, perhiasan, dan mobil.
Antropolog ekonomi asal AS, David Rolfe Graeber, mengemukakan bahwa dengan bergulirnya sejarah dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, utang berkembang melampaui urusan ekonomi, finansial, negara, dan pasar belaka. Padahal, mulanya utang hanyalah bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter, dan aktivitas sosial-ekonomi kemanusiaan sehari-hari.
Berutang tanpa alasan kedaruratan bisa menjadi awal petaka, apalagi bila itu hanya digunakan untuk sekadar membiayai gaya hidup dan gengsi demi bisa “seperti orang-orang”. Bagaimana jika teman-teman atau orang-orang yang menjadi kiblat gaya hidup itu mereka yang telah mencapai kemerdekaan finansial, sedangkan penirunya belum berpenghasilan? Apa tidak akan babak belur?
Tak jauh berbeda pada masyarakat urban, warga perkampungan pun banyak terlilit utang akibat ingin “dipandang orang”. Seperti di perdesaan di wilayah Bogor, Jawa Barat, ada tradisi pesta pernikahan yang seolah mengharuskan disertainya panggung hiburan musik dangdut dan rangkaian petasan untuk menyambut kedatangan rombongan besan. Jika dihitung secara kasar, rangkaian petasan berdurasi sekitar 15 menit itu membakar uang minimal Rp1 jutaan, sedangkan panggung dangdut berbiaya belasan juta.
Bukan hanya orang berada yang menggelar pesta meriah, tetapi para warga penerima bansos pun memaksakan diri menikahkan anak-anaknya dengan “standar pesta” semacam itu. Akibatnya, daerah itu terkenal dengan warga banyak utang. Sementara tingkat perceraian di wilayah tersebut cukup tinggi, sehingga ada seloroh, “Utangnya saja belum lunas, pengantinnya sudah cerai”.
Menggelar pesta pernikahan di daerah ini tak ubahnya seperti judi. Tuan rumah membiayai pesta (termasuk panggung dangdut) dengan uang pinjaman, lalu berharap tertutupi dari sumbangan amplop para tamu yang datang. Bukan rumor, namun sudah menjadi rahasia umum. Jumlah sumbangan dalam amplop yang diberikan tamu, kemudian dianggap sebagai utang, yang akan dikembalikan ketika pemberi sumbangan kelak menggelar pesta juga. Begitu bergulir seterusnya.
Apa adanya
Hidup apa adanya, lurus-lurus saja, tidak aneh-aneh, adalah jurus sederhana terhindar dari utang. Utang, sejalan perkembangan sistem keuangan, jenisnya kian variatif, menjadi setan modern yang gencar menggoda calon korban dengan kamuflase nan menawan. Jebakan utang hadir dalam iklan dan promo manis yang mengiming-imingi konsumen "lemah iman" dengan potongan harga, kemudahan cicilan, dan bisa bayar belakangan.
Utang, betapa pun mudah cara memperolehnya, tetap menimbulkan kewajiban untuk membayarnya kembali dengan embel-embel plus bunga.
Ekosistem bisnis rupanya dikondisikan ramah utang, mungkin karena utang membuahkan bunga yang menguntungkan bagi perusahaan kreditur. Ambillah contoh pembelian kendaraan yang prosesnya lebih mudah menggunakan skema kredit ketimbang bayar lunas. Biasanya para pemasar antusias menyambut pembeli dengan sistem kredit, sementara pembelian tunai kadangkala harus indent atau mengantre lama untuk mendapatkan barangnya.
Contoh lain, seperti restoran-restoran besar yang menawarkan promo menarik untuk pembayaran menggunakan kartu kredit, dan promo serupa tidak berlaku untuk pembayaran dengan kartu debit. Sehingga jalan menuju utang seolah sengaja dibuat terlihat indah dan menyenangkan.
Sebetulnya hanya dibutuhkan sedikit kecerdasan agar tidak tergiur utang dengan segala wujud penyamarannya. Bila transaksi tidak menganut “ada barang ada uang”, berarti itu utang. Dan jangan membeli apapun jika tidak memiliki dana atau anggaran untuk memenuhi keinginan tersebut. Sesederhana itu rumusnya.
Pada kalangan rentan, utang banyak timbul hanya karena memandang gaya hidup orang lain lalu terobsesi untuk menyesuaikan diri. Pergaulan sosial kadang memang kejam, bisa menyingkirkan mereka yang tidak mengikuti tren bersama. Namun mengikuti tren bukan hanya tak akan ada habisnya, melainkan juga pertanda bahwa seseorang tidak memiliki pendirian.
Pribadi berpendirian adalah mereka yang menetapkan sendiri standar dan gaya hidupnya berdasarkan kemampuan realistis finansialnya. Tidak terpengaruh apapun yang tengah berkembang di luaran, kecuali hanya fokus memenuhi kebutuhan penting.
Dalam lokakarya literasi digital bertema "Jauhi Pinjol dengan Cakap Literasi Keuangan di Era Digital" yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Jawa Barat, pada akhir pekan lalu, terungkap nilai peredaran uang pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp51,46 triliun. Angka sebesar itu tercatat dari transaksi selama lima bulan, periode pertama Januari hingga 29 Mei 2023.
Kemenkominfo tengah gencar melaksanakan program GNLD ke berbagai penjuru daerah, salah satunya agar masyarakat tidak terus berulang terjebak utang pinjol ilegal. Selain bunga yang mencekik, pinjol ilegal banyak menebar teror dalam proses penagihannya. Sekali seseorang terjerembab dalam utang yang tidak sehat, maka ia memulai kehidupan horor.
Masalah keuangan yang terus menerus dapat memberikan dampak depresi. Penelitian yang dilakukan Universitas Nottingham di Inggris menyebutkan, orang yang mengalami tekanan finansial, terutama sedang terlilit utang, dua kali lebih berisiko mengalami depresi.
Memperkuat hal itu, antropolog Annie Harper dari Universitas Yale melakukan studi dengan mengulas kaitan masalah kesehatan mental dan masalah finansial. Hasilnya, hampir semua responden yang terlilit utang terdiagnosa stres, mereka merasa cemas sepanjang hari dan tidak dapat menikmati hidup.
Meski belum memiliki literasi keuangan yang mumpuni, tidak berpengetahuan dan wawasan luas, setidak-tidaknya dengan bermodal akal sehat pun seharusnya mampu mengontrol seseorang untuk tidak berutang sembarangan. Karena membeli tanpa memiliki uang untuk membayar tentu disadari sebagai suatu tindakan salah yang bakal menimbulkan masalah di kemudian hari.