Jakarta (ANTARA) - Fungsi lembaga permasyarakatan (lapas) sebagai wadah pembinaan narapidana atau napi menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Dari yang diharapkan dapat mengubah hidup narapidana melalui program pembinaan, lapas kini cenderung berubah sebagai tempat penampungan sekaligus menghukum warga bermasalah semata.
Perubahan itu terjadi bukan tanpa sebab. Salah satu pemicu utamanya yakni jumlah narapidana yang membeludak, melebihi kapasitas lapas.
Berdasarkan data yang dikutip dari situs resmi Kementerian Hukum dan HAM, per 1 April 2024, jumlah tahanan, anak, narapidana, dan anak binaan seluruh Indonesia saat ini berjumlah 270.207 orang dengan rincian 51.171 orang tahanan, 458 orang anak, 216.938 narapidana, dan 1.640 orang anak binaan.
Padahal, kapasitas lapas di dalam negeri jika ditotal hanya mampu menampung 140.424 orang. Jadi, rata-rata lapas saat ini sudah kelebihan penghuni (overload).
Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Ombudsman RI tahun 2023, Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura Kalsel tercatat dihuni 534 orang, mayoritas kasus narkotika.
Jumlah tersebut melebihi kapasitas maksimal lapas sehingga pengawasan di dalam pun berjalan kurang maksimal.
Perbandingan idealnya, seorang penjaga hanya mampu mengawasi 20 narapidana dalam lapas. Karena kondisi tersebut, satu orang petugas diharuskan menjaga 60 narapidana sehingga aktivitas kriminal mudah terjadi di lapas akibat pengawasan kurang maksimal.
Pemerintah tentu tidak tutup mata dengan kondisi ini. Beragam upaya telah dilakukan, antara lain, memberikan remisi khusus dan pengurangan masa pidana.
Yang terbaru, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) memberikan remisi khusus bagi narapidana dan pengurangan masa pidana khusus bagi anak binaan beragama Islam dalam rangka Idul Fitri tahun ini.
Penerima remisi khusus dan pengurangan masa pidana khusus Idul Fitri 1445 Hijriah berjumlah 159.557 orang.
Melalui pemberian remisi khusus dan pengurangan masa pidana ini, Kemenkum HAM mengklaim negara menghemat biaya makan narapidana dan anak binaan sebesar Rp81.204.495.000.
Namun demikian, pemberian remisi tahunan ini tampaknya belum berdampak secara signifikan dalam pengurangan jumlah narapidana di dalam lapas.
Karena itu, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) RI melakukan pembenahan dari hulu, yakni mulai mendorong penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pidana bersyarat.
Membangkitkan KUHP pidana bersyarat
Pidana bersyarat secara umum diatur dalam dalam Pasal 14a – Pasal 14f KUHP.
Secara garis besar, pemberlakuan pidana ini mendorong para penegak hukum untuk melakukan keadilan restorasi atau restorative justice di mana setiap narapidana yang divonis maksimal 1 tahun tidak harus menjalani hukuman penjara.
"Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka dalam putusannya, hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu," seperti dikutip Pasal 14a poin pertama.
Hakim bisa mengganti hukuman kurungan menjadi hukuman mengerjakan pekerjaan sosial.
Tujuan utama dari undang-undang ini agar penegak hukum tidak hanya fokus menjatuhkan hukuman, tetapi memberikan efek jera dan pertanggungjawaban kepada pelaku terhadap korban pidana.
Di sisi lain, undangan-undangan juga digunakan untuk mengurangi jumlah narapidana agar seluruh lapas tidak kelebihan kapasitas.
Kemenpolhukam RI saat ini berupaya memunculkan dorongan pada seluruh instansi untuk menggunakan undang-undang ini.
Sebenarnya, undang-undang soal pidana bersyarat ini bukan lah "barang baru". Ini adalah produk hukum lama yang tidak dipakai secara maksimal.
Penyebab kurang maksimalnya penggunaan undangan-undangan ini yakni tidak ada modul atau tata cara yang disepakati bersama dalam menggunakan produk hukum ini.
Jika dianalogikan, sebuah mobil tidak laku dijual karena pabrikan tidak memberikan panduan atau tata cara penggunaan mobil tersebut.
Karena itu, pabrikan akan kembali menjual mobil beserta buku modul untuk menjelaskan tata cara penggunaannya.
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto menyatakan, mendorong instansi penegak hukum menggunakan undang-undang ini merupakan cara efektif mengurangi jumlah narapidana di lapas.
Untuk membuat undang-undang itu berjalan efektif, Hadi telah berkoordinasi dengan beragam pihak untuk membentuk modul penggunaannya.
Modul tersebut pun sudah dibuat dan disetujui oleh Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Kemenkum HAM.
Setelah modul ini disetujui, Kemenko Polhukam meminta tiga instansi tersebut menyosialisasikan modul secara maksimal di seluruh wilayah Indonesia.
Namun demikian, Menko Polhukam memilih beberapa provinsi besar sebagai tempat pertama melakukan sosialisasi seperti Jakarta, Banten, Bali, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Sosialisasi itu ditujukan ke internal MA, Kejaksaan, dan Menkumham HAM yang ada di wilayah agar mereka memahami betul penggunaan undang-undang tersebut.
Sosialisasi sendiri dilakukan sejak Juni hingga November 2024. Hadi tetap berharap undang-undang tersebut bisa digunakan oleh seluruh penegak hukum selama kurun waktu masa sosialisasi.
Dengan demikian, undangan-undangan itu sudah bisa berlaku secara efektif bahkan sebelum KUHP baru berlaku pada tahun 2026.
Tantangan
Setiap metode atau kebiasaan baru pasti memunculkan tantangan baru juga, termasuk dalam penggunaan undang-undang pidana bersyarat ini.
Beragam tanggapan muncul, apakah metode ini akan berjalan efektif? Apakah akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku ? Apakah undang-undang ini dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban?
Menjawab hal tersebut, Hadi mengaku dalam proses pemberkasan pidana bersyarat, pihaknya akan aktif melakukan evaluasi dan kajian-kajian.
Evaluasi dan kajian-kajian tersebut melibatkan unsur akademikus dan masyarakat sipil. Hal tersebut dilakukan demi memajukan undang-undang tersebut tetap sasaran untuk masyarakat.
Tidak hanya dari dalam negeri, Pemerintah juga bekerja sama sama dengan negara-negara lain dalam proses pengkajian undang-undang tersebut.
Hal itu dilakukan agar jajarannya dapat mempelajari pemberlakuan konsep undang-undang yang sama dengan yang berlaku di luar negeri.
Sebagai contoh, Menko Polhukam melibatkan Australia melalui Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gita Kamath, dalam mengkaji pemberlakuan undang-undang tersebut.
Ia akan selalu terbuka kepada masyarakat yang mau memberi masukan tentang pemberlakuan undang-undang pidana bersyarat di lapangan.
Dengan pembenahan dari hulu ke hilir ini, Hadi berharap masalah lapas kelebihan penghuni napi bisa teratasi tanpa mengurangi esensi pemberlakuan hukum pidana.