Jakarta (ANTARA) - Meski penarikannya bersifat memaksa dengan perangkat undang-undang, pajak merupakan sumbangsih warga masyarakat kepada negara yang diberikan untuk dikelola Pemerintah sebagai amanah. Bila dana pajak dikorupsi, ditilap, atau diselewengkan, tugas penegak hukum untuk menanganinya.
Kondisi demikian tidak lantas membuat masyarakat gugur kewajibannya membayar pajak. Maka, tetaplah taat bayar pajak sebagai manifestasi kecintaan kita pada negeri ini.
Tak dapat dimungkiri tenarnya sosok seperti Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo membuat masyarakat murka karena merasa sia-sia. Bagaimana kalau masyarakat luas tahu bahwa penjahat pajak semacam mereka berdua itu ternyata lumayan banyak jumlahnya. Sebutlah Denok Taviperiana, Angin Prayitno Aji, Dhana Widyatmika, dan lainnya. Meski semua nama itu mencuat di pemberitaan, yang paling fenomenal dan mungkin terus diingat publik adalah Gayus dan Rafael yang telah menjadi ikon mafia pajak tanah air.
Beruntung aparat penegak hukum bertindak keras terhadap para penyimpang itu. Baik Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK berjibaku menangkapi para mafia tersebut dan menyeret mereka ke meja hijau. Proses peradilan pun cukup dramatis, banyak yang melakukan perlawanan hukum melalui mekanisme banding, kasasi, sampai PK (peninjauan kembali) tapi tak sedikit yang malah diganjar hukuman lebih tinggi. Begitulah potret penjahat, sudah salah tapi tidak sportif mengakui kesalahan dan bergegas memperbaiki diri.
Selain serial drama pajak di atas, rasio pajak di Indonesia juga tergolong rendah dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Padahal filosofi pajak klasik menyebutkan bahwa "pajak adalah urat nadi negara", sedangkan filosofi kontemporer memandang "pajak adalah darah negara". Begitu vitalnya peran pajak dalam keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan.
Namun realitanya, data Kementerian Keuangan RI mencatat rasio perpajakan di Indonesia pada tahun 2023 hanya satu digit di angka 9,11 persen, turun dari tahun 2022 yang sebesar 9,59 persen. Sebagai perbandingan rasio pajak tahun 2022 negara tetangga seperti Malaysia mencapai 11,19 persen, Thailand 14,35 persen, dan Filipina 14,55 persen.
Kondisi ekonomi, transparansi,dan akuntabilitas pengelolaan pajak, keteladanan perilaku aparat pajak, hingga efektivitas penegakan hukum turut memengaruhi kesadaran masyarakat dalam membayar pajak yang pada gilirannya berdampak terhadap rasio perpajakan.
Pemerintah dalam upaya menaikkan tingkat rasio pajak telah melakukan reformasi perpajakan dengan penyederhanaan aturan pajak dan perluasan basis pajak, serta memodernisasi administrasi perpajakan. Sedangkan peningkatan kepatuhan wajib pajak dilakukan melalui sosialisasi, edukasi, dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggar pajak.
Ditawarkan pula Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Kemudian pemanfaatan teknologi dengan digitalisasi bertujuan untuk mempermudah pembayaran pajak, meningkatkan transparansi, dan memperkuat pengawasan.
Sementara, guna mencegah penghindaran pajak lintas batas, Pemerintah menjalin kerja sama internasional untuk bertukar informasi dengan negara lain. Kerja sama ini cukup efektif saat mengejar buronan pengemplang pajak yang kabur keluar negeri.
Dengan senang hati
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara untuk kemudian dikelola pemerintah --selaku penerima mandat kekuasaan-- yang akan dikembalikan dalam bentuk pembangunan, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan. Karena pemanfaatan pajak untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, idealnya warga negara memiliki kepatuhan dalam membayar iuran itu.
Adapun dari pihak penyelenggara pemerintah berpegang pada prinsip, “Filosofi pajak adalah mengumpulkan dana bukan memidana”. Bila satu pihak patuh dan pihak lainnya ramah serta memudahkan--bukan mengancam--maka selesai persoalan.
Jika nyatanya hingga saat ini masih bermasalah yang ditandai rendahnya rasio pajak, artinya banyak yang perlu dibenahi. Fakta-fakta seperti berikut ini yang acap menimbulkan rasa malas warga membayar pajak:
- Birokrasi yang tidak melayani. Hakikat pemerintahan adalah pelayanan, prinsip ini yang belum disadari secara merata oleh aparat utamanya di tingkat daerah. Di kota-kota besar praktik pungli sudah sangat tereduksi oleh sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Akan tetapi di kampung, seperti wilayah kecamatan ke bawah, sikap transaksional pegawai pemerintahan masih terasa kental. Ketika warga datang mengurus sesuatu yang membutuhkan surat-menyurat, biasanya mereka akan “jual mahal” dengan mengulur-ulur waktu hingga orang gemes dan menyelipkan amplop agar urusannya dipercepat. Terbukti setelah menerima sogokan, urusan menjadi mudah dan cepat beres.
- Sarana umum rusak/tidak terawat. Ketika kita melewati jalanan rusak atau melihat gedung sekolah yang jelek tak kunjung diperbaiki, otomatis kita akan mempertanyakan ke mana pajak masyarakat dipergunakan. Karena pembangunan sarana prasarana umum dibiayai dengan pajak sehingga wajar bila ada pertanyaan semacam itu.
Banyak juga jalan-jalan kampung sekarang dibeton halus mulus, itu yang kebetulan kepala desa atau lurahnya amanah membelanjakan dana desa. Selebihnya tidak sedikit pula jalanan rusak, entah jalan wilayah kecamatan atau kabupaten, hingga kubangan dapat digunakan kerbau berendam.
Kondisi semacam itu biasa terjadi di daerah yang jauh dari pengawasan Pemerintah Pusat, meski di Kabupaten Bogor atau wilayah Banten pun juga ada. Nanti akan segera ada perbaikan setelah diviralkan oleh warganet melalui media sosial. Salah satu perkembangan baik dari media sosial saat ini adalah cukup berpengaruh dalam memainkan peran sebagai kontrol sosial.
- Kewajiban melapor. Setelah menunaikan kewajiban membayar pajak, tak lantas urusan selesai sampai di situ. Masih ada tugas tahunan untuk melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Di sini logika pajak dipertanyakan, mengapa warga yang sudah membayar masih dibebani juga untuk melapor, apakah sistem digitalisasi tidak dapat bekerja mendata otomatis, atau petugas pajak yang melakukannya? Walau bukan pekerjaan sulit, kewajiban melapor adakalanya membuat para wajib pajak merutuk.
- Penyimpangan. Terungkapnya perilaku para mafia pajak, tak pelak meningkatkan ketidakpatuhan warga terhadap kewajiban membayar pajak. Karena kekhawatiran iuran yang semestinya disetorkan ke kas negara digunakan untuk membeli "Rubicon" anak pejabat. Seloroh seperti itu sempat berkembang di tengah masyarakat pada tahun lalu, ketika ramai kasus Mario Dandy. Hasilnya, terlepas terkait langsung atau tidak dengan kasus ini, rasio pajak pada tahun 2023 merosot.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu langsung turun tangan dan bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan publik dengan melakukan bersih-bersih Direktorat Jenderal Pajak, termasuk menjatuhkan sanksi PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) kepada Rafael Alun.
Bila sejumlah kondisi yang menimbulkan syak wasangka publik bahwa terjadi penyimpangan pajak itu dapat diminimalisasi, barangkali menumbuhkan kepatuhan pajak bukan perkara yang terlalu sulit. Mengingat masyarakat kita terkenal sebagai bangsa paling dermawan di dunia, bahkan gelar dari Charities Aid Foundation (CAF) itu disandang Indonesia selama enam kali berturut-turut.
Mungkin, dengan pendekatan yang asyik, kampanye sadar pajak akan berbuah manis. Masyarakat membayar pajak dengan lapang dada bahkan bisa jadi dengan senang hati, seperti halnya saat mengeluarkan sebagian harta untuk bersedekah karena didasari motivasi beramal kebaikan demi kepentingan bersama.
Semoga pengelola pajak semakin amanah dan terus berinovasi dalam layanan sehingga gerutu wajib pajak, "Kita yang membayar, mengapa kita juga yang harus repot melapor" tidak berlaku lagi. Selamat Hari Pajak Nasional 2024.