Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyatakan tetap harus optimistis menghadapi tantangan industri sawit nasional yang cukup kompleks dan belum pernah terjadi di era sebelumnya.
Hal itu disampaikan Ketua Umum GAPKI Eddy Martono saat memberi sambutan pada pembukaan 21st Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) di Bali, Kamis.
Menurutnya, perhatian terhadap lanskap perdagangan global yang berubah, penerapan tata kelola yang tepat serta kebijakan bauran energi menjadi faktor penting yang akan sangat menentukan masa depan industri sawit nasional.
“Inilah salah satu strategi yang akan GAPKI terapkan,” ujarnya.
Optimisme itu didasari sejumlah sinyal. Data September 2025, misalnya, produksi melonjak lebih dari 43 juta ton --11% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Di sisi ekspor --termasuk CPO dan turunannya, oleokimia, serta biodiesel-- mencapai lebih dari 25 juta ton, 13,4% lebih tinggi dari tahun lalu, menyuplai negara kita dengan devisa yang menakjubkan sebesar $27,3 miliar yang berarti 40% lebih tinggi dari tahun lalu.
Sementara di dalam negeri, konsumsi domestik tetap mantap di angka 18,5 juta ton dibandingkan 17,6 juta ton pada tahun lalu.
“Kinerja industri sawit menunjukkan sedikit percepatan dibandingkan periode yang sama,” lanjut Eddy sambil mengingatkan bahwa angka-angka itu sebagai “wake up call” bahwa perlu strategi yang tepat menyangkut tiga lingkup penting bagi industri sawit nasional.
Karena itu, menurut Eddy, sebagai forum strategis tahunan yang menjadi barometer arah kebijakan dan prospek industri kelapa sawit nasional maupun global, IPOC kali ini mengambil tema “Navigating Complexity, Driving Growth: Governance, Biofuel Policy and Global Trade.”
Terkait dengan perdagangan global, kata dia, sebetulnya peluang pertumbuhan industri sawit nasional terbuka lebar.
Salah satunya dapat dilihat dari momentum bersejarah berupa Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) yang mengubah percaturan dan akses langsung ke pasar terbesar di dunia.
Kendati demikian, regulasi mengenai deforestasi Uni Eropa (EU’s Deforestation Regulations atau EUDR) mengharuskan segenap pelaku industri ini lebih strategis, patuh dan menunjukkan komitmen atas nilai-nilai positif yang terkandung di dalam industri sawit nasional.
EUDR, menurut Eddy, bukanlah sekadar regulasi. EUDR harus dipandang sebagai cermin bagi sistem yang harus dibangun dan diterapkan pada industri sawit nasional.
Informasi yang keliru harus diluruskan dengan data dan fakta yang sebenarnya. Tuntutan atas standar yang ditetapkan Eropa, mesti ditegaskan dengan menerapkan standar yang jauh lebih baik.
Itu sebabnya, sebagai strategi kedua, tata kelola menjadi penting. Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) harus diperkuat.
ISPO tidak boleh menjadi sekadar simbol. Produk kebanggaan anak bangsa dan bukti kedaulatan ini harus menjadi standar emas global.
Setelah memperkuat rumah sendiri, seluruh pemangku kepentingan juga harus menengok ke luar.
Menurut Eddy, dunia perlu diberi pemahaman bahwa penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan bukan sebuah slogan. “Sustainability adalah komitmen GAPKI,” ujar Eddy.
Baca juga: GAPKI: Dukung petani kecil dan tebarkan semangat kaum muda untuk keberlanjutan sawit
Baca juga: GAPKI apresiasi kebijakan pemerintah mengenai biofuel
Baca juga: IPOC ke-21 catat rekor baru, peserta dari 28 negara terlibat
