Jakarta (ANTARA Jambi) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur mengatakan besaran uang diat untuk kasus pembunuhan di Arab Saudi harus memiliki batas (plafon) untuk mewujudkan keadilan.
"Ke depannya harus ada plafon. Kita masih berpendapat pemerintah tidak pada tempatnya untuk membayar seluruh nilai diat. Pemerintah tidak bisa mengambil alih kesalahan orang, demi keadilan," kata Gatot dalam diskusi di Wisma Antara, Jakarta, Senin.
Untuk alasan kemanusiaan, pemerintah tetap dapat membantu dalam pembayaran uang diat tersebut, namun dibatasi sehingga tidak terjadi lagi kenaikan besaran diat hingga berkali-kali lipat nilai normal.
"Kedepan kalau pemerintah ingin membantu, harus dibatasi. Misal pemerintah membantu dengan nilai minimal dan sisanya harus diusahakan sendiri," kata Gatot.
Hal tersebut karena di Arab Saudi, pembunuhan merupakan kasus khusus yang menggunakan hukum Islam dalam penyelesaiannya yang melibatkan pemberian maaf dari keluarga korban dan pembayaran uang "denda" atau diat.
"Qishash itu harus diselesaikan dengan keluarga. Bahkan raja (Saudi) tidak bisa memaafkan. Ini kasus yang tidak bisa didiplomasikan," kata Gatot.
Berbeda dengan kejahatan lain seperti terorisme atau narkoba, Gatot menyebut kasus pembunuhan tidak dapat diselesaikan oleh jalur diplomasi karena hukuman untuk kasus pembunuhan menggunakan hukum Islam seperti tercantum dalam Alquran.
"Masyarakat harus paham tentang qishash itu apa. Bahkan Raja tidak bisa memaafkan. Baru untuk kasus lain seperti teroris, narkoba, sihir yang gak ada di Alquran baru bisa dilakukan diplomasi antar pemerintah. Tapi untuk qishash tidak bisa," papar Gatot. (Ant)
Kepala BNP2TKI : Harus ada plafon uang diyat
Senin, 21 April 2014 18:15 WIB
.....Ke depannya harus ada plafon. Kita masih berpendapat pemerintah tidak pada tempatnya untuk membayar seluruh nilai diat. Pemerintah tidak bisa mengambil alih kesalahan orang, demi keadilan.....