Jakarta (ANTARA) - Peringatan Haul Presiden Keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke-10 menghasilkan sepuluh rekomendasi untuk pemerintah.
Rekomendasi yang dihasilkan lewat rembug budaya yang pemantiknya antara lain Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono, Mantan Menteri Agama di Kabinet Kerja Lukman Hakim Saifuddin, Akademisi Universitas Indonesia, Saras Dewi Dharmantra, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid.
"Rekomendasi itu dihasilkan di Masjid (Jami' Al Munawaroh) depan tadi pagi," ujar Ketua Panitia Acara Haul Gus Dur Ke-10, Inaya Wahid di Jakarta, Sabtu.
Selain itu, Inaya juga menyebutkan ada pula para pakar yang menjadi penanggap rekomendasi tersebut.
"Mereka semua sudah berembug dan ini akan diberikan kepada beberapa pihak yaitu perwakilan pemerintah dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, bapak Hilmar Farid," ujar Inaya.
Namun, nama yang disebut tidak muncul. Inaya yang bingung mencari kemudian mengganti memberikan rekomendasi tersebut kepada pelaku budaya, Kartolo.
Kartolo berguyon singkat menanggapi penggantian penyerahan rekomendasi tersebut, "Kalau ada yang ngundang ya pelaku budaya, kalau tidak ada ya nganggur," ujar Kartolo yang direspon dengan tawa oleh hadirin yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Penyerahan rekomendasi kemudian dilanjutkan, kepada pihak Kepolisian, pembuat kebijakan publik, dan akademisi yang diwakili oleh Rektor Universitas Indonesia,Ari Kuncoro.
Adapun sepuluh rekomendasi hasil rembug budaya pada peringatan haul Gus Dur ke-10 tersebut adalah:
Kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan mengangkat pergumulan kemanusiaan khususnya pengalaman hidup kelompok rentan/ lemah seperti perempuan penghayat kepercayaan yang lain-lain.
Gerakan dan kebijakan kebudayaan harus membangun ekosistem kebudayaan yang partisipatoris sehingga pengembangan kebudayaan tidak bertumbuh pada elitisme kebudayaan
Negara dan masyarakat harus mengedepankan pendekatan kebudayaan sebagai bentuk pengelolaan keberagaman dan instrumen resolusi konflik
Negara harus menjadi fasilitator dalam tata kelola kebudayaan dengan menjadikan kebudayaan sebagai kata kerja, sumber pengetahuan dan yang vital dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi
Paradigma pembangunan harus berdasarkan strategi kebudayaan nasional yang dijabarkan dalam kebijakan dan strategi anggaran serta diimplementasikan secara komprehensif sampai ke pemerintahan daerah
Negara harus memberikan jaminan perlindungan berekspresi dan dukungan sumber daya untuk gerakan kebudayaan dalam bentuk akses, fasilitas, dan ruang.
Negara dan masyarakat perlu membangun modal praktek keberagaman yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia, agama, dan budaya tidak saling mengalahkan. Bukan dikotomi yang kontradiktif dengan dialektis. Keduanya saling belajar dan mengambil keagamaan yang berkebudayaan, yang berarti praktek beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam
Sistem pendidikan harus mengembangkan potensi kemanusiaan agar tidak dikendalikan oleh teknologi tetapi menguasainya melalui khasanah pengetahuan dan budaya
Kebudayaan perlu dioptimalkan sebagai cara menumbuhkan daya kritis terhadap kekuasaan untuk mengikis pragmatisme dan apatisme politik
Negara perlu meninggalkan modal ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal