New York (ANTARA) - Harga minyak melonjak sekitar tiga persen pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), mencapai level tertinggi dalam lebih dari setahun, menyusul laporan pekerjaan AS yang lebih kuat dari perkiraan serta keputusan OPEC dan sekutunya untuk tidak meningkatkan pasokan pada April.
Untuk minggu ini harga minyak Brent melonjak 5,2 persen, kenaikan pekan ketujuh berturut-turut untuk pertama kalinya sejak Desember, sementara harga minyak WTI melambung sekitar 7,4 persen setelah naik hampir 4,0 persen minggu lalu.
Baca juga: Harga emas kian terpuruk, berada di bawah 1.700 dolar AS
Kedua kontrak melonjak lebih dari 4,0 persen pada Kamis (4/3/2021), setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, bersama-sama dikenal sebagai OPEC+, memperpanjang pembatasan produksi minyak hingga April, memberikan pengecualian kecil kepada Rusia dan Kazakhstan.
"OPEC+ menetapkan pendekatan hati-hati ... memilih untuk meningkatkan produksi hanya 150.000 barel per hari (bph) pada April, sementara pelaku pasar memperkirakan kenaikan 1,5 juta barel per hari," kata Analis Minyak UBS Giovanni Staunovo.
Investor juga terkejut bahwa Arab Saudi telah memutuskan untuk mempertahankan pemotongan sukarela sebesar satu juta barel per hari hingga April bahkan setelah kenaikan harga minyak dalam dua bulan terakhir didukung oleh program vaksinasi COVID-19 di seluruh dunia.
Baca juga: Rupiah akhir pekan terkoreksi cukup dalam, dibayangi yield obligasi AS
Beberapa peramal merevisi ekspektasi harga mereka naik menyusul keputusan OPEC+.
Goldman Sachs menaikkan perkiraan harga minyak mentah Brent sebesar 5,0 dolar AS menjadi 75 dolar AS per barel pada kuartal kedua dan 80 dolar AS per barel pada kuartal ketiga tahun ini. UBS menaikkan perkiraan harga minyak Brent menjadi 75 dolar AS per barel dan harga minyak WTI menjadi 72 dolar AS per barel pada paruh kedua tahun ini.
Selain itu pasar mendapat dorongan setelah sebuah laporan menunjukkan ekonomi AS menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan daripada yang diperkirakan pada Februari.
Baca juga: IHSG akhir pekan ditutup di zona merah, tertekan ekspektasi ekonomi AS
Laporan payroll (penggajian) non pertanian "menunjukkan bahwa warga Amerika lebih dekat dengan perilaku pra-pandemi yang akan mendorong permintaan kuat untuk minyak mentah," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York.
Pedagang juga mencatat kenaikan dolar, yang mencapai tertinggi sejak November, membatasi kenaikan harga minyak mentah. Dolar yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Namun, analis dan pedagang mengatakan bahwa penjualan fisik minyak mentah yang lambat dan pemulihan permintaan yang tidak diprediksi hingga sekitar kuartal ketiga menunjukkan bahwa kenaikan harga tidak beralasan.
Baca juga: Saham Spanyol berakhir di zona merah, Indeks IBEX 35 turun 0,80 persen
“Pasar menunjukkan keketatan yang tidak ada. Oleh karena itu, kami tetap yakin bahwa risiko harga terutama adalah penurunan dan harga saat ini melampaui batas,” kata Hans van Cleef, ekonom energi senior di ABN Amro.
India, importir dan konsumen minyak terbesar ketiga dunia, mengatakan bahwa keputusan OPEC+ untuk memperpanjang pemotongan karena harga bergerak lebih tinggi dapat mengancam pemulihan yang dipimpin konsumsi di beberapa negara.
Pemulihan harga minyak ke level sebelum pandemi juga telah mendorong para pengebor minyak AS untuk kembali ke sumur minyak. Jumlah rig minyak bertambah satu minggu ini setelah naik selama enam bulan berturut-turut, menurut perusahaan jasa energi Baker Hughes Co.
Baca juga: Saham Inggris berakhir negatif, Indeks FTSE 100 tergerus 0,31 persen
Baca juga: Saham Jerman rugi lagi, Indeks DAX 30 terpangkas 0,97 persen