Jakarta (ANTARA) - Sebagai negara kepulauan terbesar yaitu Republik Indonesia, aneh rasanya bila hasil sumber daya laut tidak menjadi andalan untuk menyokong kinerja perekonomian nasional.
Hal itu juga bukan hanya khayalan semata, karena data dan angka juga menunjukkan indikasi ke arah tersebut. Misalnya data BPS yang menyatakan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, telah menyumbang 14,2 persen terhadap struktur PDB nasional tahun 2020 dengan nilai Rp2.115 triliun atau berada di urutan kedua setelah industri pengolahan (20,6 persen senilai Rp3.086 triliun).
Sedangkan pada 2021 ini sektor pertanian termasuk perikanan tercatat menjadi satu-satunya lapangan usaha yang tumbuh positif saat PDB nasional terkontraksi 2,07 persen.
Berdasarkan data yang sama, sektor pertanian perikanan dan kehutanan tumbuh 1,75 persen dibandingkan sektor pertambangan minus 1,95 persen, industri pengolahan minus 2,93 persen, konstruksi minus 3,26 persen, perdagangan dan reparasi minus 3,72 persen, serta sektor lainnya minus 1,97 persen.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah lama menyatakan laut telah lama dipunggungi. Artinya, sudah saatnya untuk betul-betul fokus memperhatikan potensi sektor kelautan dan perikanan untuk dapat diberdayakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun tentu saja jalan untuk menuju hal tersebut bukanlah tanpa hambatan, terlebih mengingat bahwa aktor utama sektor perikanan, yaitu nelayan, masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Selain itu masih maraknya pemberitaan terkait kasus nelayan yang menghilang atau terkena kecelakaan di laut juga kerap membuat potensi kelautan Nusantara tidak dioptimalkan sepenuhnya.
Contohnya baru-baru ini Kantor Search and Rescue (SAR) Pontianak, Kalimantan Barat, diberitakan melakukan pencarian kepada 52 anak buah kapal (ABK) dari 14 kapal motor nelayan yang tenggelam dampak cuaca buruk pada sepanjang 13 Juli malam hingga 14 Juli dini hari.
Pencarian itu dilakukan karena Basarnas Kalbar mendapat laporan telah terjadi kecelakaan yang menimpa 14 kapal motor nelayan di tiga lokasi secara bersamaan karena dampak cuaca buruk dan mengakibatkan 56 orang ABK hilang, di mana empat di antaranya ditemukan meninggal. Ada 81 ABK lain yang selamat.
Dari 14 kapal itu, masih berdasarkan data dari Basarnas setempat, sebanyak 12 kapal merupakan kapal ikan dan dua kapal lainnya merupakan kapal tugboat.
Baca juga: Pengamat: Keselamatan nelayan jangan hanya dikaitkan dengan asuransi
Terapung di laut
Tidak hanya di perairan domestik pada Juni 2021 lalu ada juga kabar nelayan WNI yang terapung-apung di laut lepas selama delapan hari, sebelum diselamatkan kapal penjaga laut Thailand.
Nelayan yang bernama Ade Elfikar (40 tahun) itu berasal dari Sabang, Aceh, dan mengalami kondisi terapung berhari-berhari karena rusaknya mesin kapal yang dinahkodainya seorang diri. Pihak Konsulat RI Songkhla telah menghubungi Wali Kota Sabang untuk kemudian agar dapat disampaikan kepada keluarga yang bersangkutan mengenai kondisinya saat ini.
Lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat bahwa dalam kurun waktu enam bulan terakhir, yaitu tepatnya dari periode Desember 2020 hingga Juni 2021, tercatat ada sebanyak 83 nelayan yang hilang di laut akibat musibah dan kecelakaan laut.
Koordinator DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan dalam jangka waktu Desember 2020-Juni 2021, ada sebanyak 42 kali insiden kecelakaan yang dialami oleh perahu nelayan atau kapal ikan di perairan Indonesia.
Dari 42 insiden tersebut, tercatat 142 orang korban dengan rincian 83 hilang, 14 meninggal, dan 42 selamat. Dengan demikian, rata-rata dalam satu bulan 7 kejadian dialami nelayan dan pasti memakan korban. Selain itu, disebutkan pula bahwa mayoritas kecelakaan tersebut dialami oleh perahu nelayan yang berukuran di bawah 10 GT (gross tonnage).
Abdi menginginkan agar kementerian teknis seperti KKP dan Kementerian Perhubungan perlu meningkatkan strategi perlindungan nelayan kecil agar mengurangi jatuhnya korban nelayan yang sedang mencari nafkah di tengah laut.
Selain itu, menurut dia, program asuransi nelayan yang dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu menjangkau nelayan di daerah terpencil dan perlu inovasi pelayanan sebab selama ini sulit di akses.
Apalagi Koordinator DFW Indonesia mengemukakan banyaknya insiden yang dialami kapal nelayan ini mengindikasikan tingginya tingkat kerentanan nelayan ketika mencari nafkah.
Sedangkan untuk program asuransi nelayan selama ini, ia berpendapat hal tersebut masih sarat birokrasi dan prosedural sehingga sulit diakses oleh nelayan. Menurut dia, indikasi dari hal tersebut dapat terlihat antara lain dari program asuransi nelayan yang diatur dalam ketentuan tersebut belum banyak diketahui oleh nelayan kita.
Ia menegaskan perlunya ada terobosan dalam implementasi program asuransi oleh KKP maupun perusahaan penyelenggara asuransi, antara lain dengan bekerja sama dengan HNSI atau Serikat Pekerja Perikanan untuk meningkatkan jangkauan kepesertaan asuransi bagi nelayan dan ABK di lokasi-lokasi terpencil.
Baca juga: KKP dorong pemberdayaan nelayan guna atasi dampak pandemi COVID-19
Solusi menyeluruh
Terkait asuransi Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan permasalahan keselamatan nelayan saat melaut jangan hanya dikaitkan dengan program asuransi nelayan, tetapi harus dilihat secara keseluruhan solusinya.
Menurut Abdul Halim, asuransi hanya berkutat pada urusan hulu, sementara problematika hilirnya belum dipenuhi yakni ketersediaan informasi cuaca dan wilayah tangkapan ikan yang mudah dipahami oleh nelayan kecil.
Abdul Halim juga menyoroti fasilitas sembako di masa paceklik (cuaca ekstrem) yang tidak proaktif dilakukan, padahal BMKG sudah menerbitkan informasi cuaca secara berkala.
Selain itu, ujar dia, persoalan di hilir yang harus diatasi antara lain adalah minimnya ketersediaan alat pengaman selama melaut, misalnya pelampung, dan tidak terhubungnya kegiatan pengawasan di laut dengan syahbandar di pelabuhan perikanan.
KKP sendiri juga beberapa kali telah menggelar sejumlah pelatihan dalam perawatan mesin kapal perikanan yang bertujuan antara lain mengurangi tingkat kecelakaan kapal nelayan yang sedang melaut di berbagai kawasan perairan nasional.
Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja menyatakan salah satu faktor keberhasilan nelayan dalam operasi penangkapan ikan, yakni terjaminnya keamanan armada penangkapan yang ditunjang dengan mesin kapal.
Namun, menurut dia, sering kali para nelayan mengalami kendala saat di atas kapal, salah satunya kurangnya perhatian nelayan dalam merawat dan menjaga mesin kapal secara mandiri. Saat ini, banyak sekali kecelakaan kapal yang diakibatkan banyak faktor dan kurangnya perhatian nelayan dalam melakukan perawatan juga perlu diperhatikan.
Sjarief menyatakan guna menghindari hal tersebut, keterampilan nelayan dalam merawat dan menjaga mesin kapal secara mandiri perlu untuk terus ditingkatkan. Dengan demikian, lanjutnya, maka tingkat keamanan dalam penangkapan ikan juga dapat lebih terjamin ke depannya.
Keselamatan nelayan sebagai aktor utama sektor kelautan dan perikanan merupakan hal yang penting, bila Indonesia betul-betul ingin menjadikan sektor tersebut sebagai tulang punggung perekonomian bangsa ini.
Baca juga: Wapres sebut korporasi bisa tingkatkan pemberdayaan nelayan