Jaka (ANTARA) - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM), Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra menyebut, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diperlukan untuk memperjelas aturan bagi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).
Dirjen HAM: Revisi UU SPPA perlu untuk perjelas aturan bagi ABH
Minggu, 15 September 2024 13:48 WIB
“Dengan penyesuaian ini, diharapkan anak yang terlibat dalam kejahatan dapat mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga,” ucap Dhahana dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Dirjen HAM mengatakan, urgensi revisi UU SPPA ini berkaitan dengan adanya tren peningkatan ABH di Tanah Air.
“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif,” kata dia.
Dirjen HAM menjelaskan, sejatinya keadilan restoratif telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU SPPA. Selain itu, UU SPPA juga mengatur konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA mengatur, ABH pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Namun, kata Dhahana, belakangan terdapat peningkatan kasus kejahatan oleh anak yang diancam dengan pidana di atas 7p tahun penjara, sementara aturan diversi dalam UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.
Oleh karena itu, menurut Dirjen HAM, UU SPPA perlu disesuaikan. Dia berharap, revisi UU SPPA dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang
“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai, dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak,” kata dia.