Jambi (ANTARA) - Provinsi Jambi memiliki karakteristik ekonomi yang sangat bergantung pada sektor pertanian. Data pertumbuhan ekonomi terbaru menunjukkan bahwa dari total pertumbuhan sebesar 4,15 persen, hampir separuhnya (1,9 persen) disumbangkan oleh sektor pertanian. Angka ini menegaskan bahwa pertanian, termasuk subsektor pangan, tidak hanya berperan dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat, tetapi juga menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
Meski demikian, sektor pertanian Jambi menghadapi tekanan yang semakin besar seiring meningkatnya jumlah penduduk. Dalam periode 2020–2024, laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 persen per tahun, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang berada di angka 1,11 persen per tahun. Pertumbuhan ini berimplikasi langsung pada peningkatan kebutuhan pangan, sehingga kapasitas produksi lokal dituntut untuk tumbuh lebih cepat agar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selain persoalan jumlah penduduk, struktur demografi tenaga kerja pertanian juga menjadi tantangan serius. Data menunjukkan bahwa 55,73 persen petani di Jambi berusia di atas 45 tahun. Hal ini menandakan lemahnya regenerasi petani, karena minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian masih rendah. Jika tren ini berlanjut, maka keberlanjutan produksi pangan di masa depan dapat terancam akibat keterbatasan tenaga kerja produktif di sektor pertanian.
Tantangan berikutnya datang dari aspek infrastruktur pertanian. Akses terhadap irigasi, jalan produksi, serta sarana distribusi pangan masih belum optimal. Kondisi ini menghambat upaya peningkatan produktivitas sekaligus memperlambat arus distribusi hasil pertanian dari daerah surplus ke daerah defisit. Akibatnya, efisiensi rantai pasok pangan di Jambi belum sepenuhnya tercapai.
Capaian dan Kondisi Produksi Pangan
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi padi dan jagung di Jambi cenderung stabil. Data neraca pangan pokok strategis tahun 2024 menunjukkan bahwa ketersediaan pangan secara umum masih mencukupi. Bahkan, ketersediaan energi dan protein penduduk Jambi sudah melebihi angka ideal sesuai Pola Pangan Harapan (PPH).
Meski demikian, skor PPH sebagai indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan belum optimal. Hal ini menandakan konsumsi masyarakat masih belum sepenuhnya beragam, cenderung didominasi oleh karbohidrat, sementara konsumsi sumber protein hewani, buah, dan sayur masih perlu ditingkatkan.
Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Badan Pangan Nasional, Jambi relatif berada dalam kondisi baik. Selama lima tahun terakhir tidak ada kabupaten yang masuk kategori rawan pangan. Bahkan Kabupaten Kerinci secara konsisten masuk dalam kelompok sangat tahan pangan berkat kondisi geografisnya yang subur.
Namun, ada empat kabupaten yang perlu perhatian khusus karena pada 2023 masuk kategori cukup tahan (kelompok 4), yakni Muaro Jambi, Bungo, Sarolangun, dan terutama Tanjabbar. Daerah terakhir ini mengalami penurunan IKP signifikan dibandingkan tahun 2022. Jika tidak diantisipasi, daerah-daerah tersebut bisa bergeser ke kategori rentan pangan.
Selanjutnya menurut hasil analisis Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2024 menunjukkan bahwa dari 143 kecamatan di Provinsi Jambi, sebagian besar berada dalam kondisi yang sangat baik. Sebanyak 136 kecamatan (95,9 persen) masuk kategori prioritas 6 (paling aman), sementara hanya 7 kecamatan (4,9 persen) yang masuk kategori prioritas 5 (cukup rentan). Tidak ada satu pun kecamatan yang masuk kategori prioritas 1 hingga 4, yang biasanya menandakan daerah rawan pangan hingga sangat rawan.
Hasil analisis FSVA 2024 tersebut menunjukkan bahwa ketahanan pangan Jambi secara umum sangat baik, dengan hampir seluruh kecamatan masuk kategori aman. Namun, masih ada 7 kecamatan (4,9 persen) yang cukup rentan dan membutuhkan intervensi kebijakan. Tanpa perhatian khusus, titik-titik rentan ini bisa berkembang menjadi masalah kerawanan pangan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi penguatan produksi lokal, perbaikan infrastruktur distribusi, intervensi sosial-ekonomi, dan edukasi gizi harus dijalankan secara simultan. Dengan langkah tersebut, Jambi dapat mengonsolidasikan posisinya sebagai salah satu provinsi paling tahan pangan di Sumatera.
Dukungan dan Komitmen Pemerintah
Komitmen pemerintah terhadap ketahanan pangan di Jambi tercermin dari dukungan APBN dan APBD. Belanja ketahanan pangan dari APBN meningkat signifikan pada 2024, dengan fokus pada pembangunan jaringan irigasi dan infrastruktur distribusi pangan. Selain itu, alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk ketahanan pangan selama lima tahun terakhir mencapai Rp684,22 miliar dengan tingkat realisasi rata-rata di atas 90 persen.
DAK fisik didominasi pembangunan infrastruktur irigasi, jalan, dan pertanian, dengan tingkat realisasi tinggi (di atas 90 persen). Hal ini menegaskan bahwa ketahanan pangan Jambi juga sangat ditopang oleh infrastruktur dasar.
Selain itu, sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) turut memperkuat ketahanan pangan di Jambi, di antaranya Jalan Tol Trans-Sumatera, Pelabuhan Ujung Jabung, Kawasan Industri Kemingking, serta Bendungan Merangin. Di level lokal, program Dua Miliar Satu Kecamatan (DUMISAKE) menjadi instrumen desentralisasi pembangunan yang mendukung produksi dan distribusi pangan.
Tantangan dan Rekomendasi
Ketahanan pangan di Provinsi Jambi pada 2025 menunjukkan kondisi yang relatif baik. Data Indeks Ketahanan Pangan (IKP) selama lima tahun terakhir menegaskan bahwa tidak ada kabupaten yang masuk kategori rawan pangan. Bahkan sebagian besar kecamatan, yakni 95,9 persen dari total 143 kecamatan, berada dalam kondisi sangat aman dari kerentanan pangan. Namun, capaian ini tidak boleh membuat terlena. Terdapat sejumlah tantangan serius, mulai dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, menua-nya usia petani, hingga keterbatasan infrastruktur distribusi pangan.Untuk menjaga dan memperkuat capaian tersebut, diperlukan penguatan pada lima arah kebijakan strategis.
Pertama, harmonisasi kebijakan pusat dan daerah harus menjadi perhatian utama. Selama ini masih terdapat ketidaksinkronan antara rencana pembangunan nasional dengan kebutuhan riil daerah. Misalnya, program nasional yang berfokus pada peningkatan produksi padi belum tentu sejalan dengan kebutuhan kabupaten yang justru lebih mendesak membutuhkan perbaikan irigasi atau jalan tani. Harmonisasi tidak hanya berarti penyelarasan program, tetapi juga mencakup penyusunan indikator kinerja bersama agar capaian dapat diukur dengan standar yang sama. Forum perencanaan bersama antara kementerian teknis dan Pemerintah Provinsi Jambi akan menjadi solusi untuk meminimalisir tumpang tindih kebijakan.
Kedua, optimalisasi potensi daerah perlu dijalankan secara lebih serius. Jambi memiliki bentang geografis yang beragam dan kaya dengan komoditas unggulan. Kabupaten Kerinci, misalnya, potensial menjadi sentra hortikultura seperti kentang, teh, dan sayuran, sementara daerah seperti Batanghari dan Muaro Jambi bisa difokuskan pada produksi padi, jagung, dan kedelai. Namun, potensi ini belum sepenuhnya tergarap karena masih terkendala teknologi budidaya dan pascapanen. Oleh sebab itu, pengembangan kawasan pangan terpadu atau food estate berbasis komoditas lokal menjadi kebutuhan mendesak. Dukungan riset dan teknologi dari perguruan tinggi setempat serta insentif untuk diversifikasi usaha tani juga harus diberikan agar petani tidak hanya bergantung pada perkebunan sawit atau karet.
Ketiga, penguatan infrastruktur dan logistik merupakan faktor krusial untuk memastikan distribusi pangan berjalan lancar. Tanpa infrastruktur memadai, surplus pangan di satu daerah tidak akan berarti banyak bagi daerah lain yang mengalami defisit. Kondisi inilah yang masih terjadi di Jambi, di mana hasil pertanian dari Tebo atau Kerinci tidak bisa sepenuhnya mengalir ke Tanjabbar karena keterbatasan akses jalan maupun gudang penyimpanan. Pembangunan infrastruktur makro seperti Tol Trans-Sumatera, Pelabuhan Ujung Jabung, dan Bendungan Merangin perlu dipercepat karena akan mendukung distribusi pangan lintas kabupaten dan provinsi. Namun, pada saat yang sama, infrastruktur mikro seperti jalan tani, embung, dan cold storage juga tidak boleh diabaikan. Dukungan sistem logistik digital akan semakin memperkuat rantai pasok pangan dengan memangkas biaya distribusi.
Keempat, pendekatan desentralisasi dan penguatan kelembagaan menjadi kunci agar kebijakan pangan lebih adaptif terhadap kondisi lokal. Wilayah Jambi memiliki karakteristik geografis yang berbeda, misalnya dataran tinggi di Kerinci tentu memiliki tantangan berbeda dengan dataran rendah di Tanjabbar. Sehingga untuk itu, program ketahanan pangan sebaiknya tidak diseragamkan dari pusat, melainkan memberi ruang bagi pemerintah kabupaten untuk menentukan prioritas. Program seperti Dua Miliar Satu Kecamatan (DUMISAKE) adalah contoh bagaimana desentralisasi dapat menyentuh kebutuhan riil masyarakat desa. Akan tetapi, desentralisasi harus diimbangi dengan penguatan kelembagaan. Penegakan hukum terhadap alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, sesuai dengan Perda LP2B Provinsi Jambi Nomor 15 Tahun 2019, harus berjalan tegas agar lahan subur tidak semakin menyempit.
Kelima, seluruh strategi tersebut membutuhkan dukungan anggaran dan insentif fiskal yang memadai. Data menunjukkan bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk ketahanan pangan di Jambi selama lima tahun terakhir mencapai Rp684,22 miliar, dengan tingkat realisasi rata-rata di atas 90 persen. Ini menunjukkan komitmen fiskal yang cukup baik. Namun, kualitas penggunaan anggaran masih perlu diperhatikan. Jangan sampai porsi terbesar justru terserap untuk layanan administrasi perkantoran ketimbang intervensi langsung ke petani. Insentif fiskal juga bisa menjadi instrumen penting: daerah yang berhasil meningkatkan skor IKP dan Pola Pangan Harapan (PPH) seharusnya diberikan penghargaan berupa tambahan dana insentif. Selain itu, Dana Desa harus lebih dioptimalkan untuk program pangan lokal, seperti pembangunan lumbung desa, pertanian organik, maupun diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal.
Kelima arah kebijakan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Harmonisasi pusat dan daerah akan memberi arah yang jelas, optimalisasi potensi lokal akan meningkatkan produktivitas, infrastruktur logistik memastikan distribusi yang lancar, desentralisasi memperkuat peran aktor lokal, dan dukungan fiskal memastikan semua strategi dapat dijalankan secara konsisten. Jika kebijakan ini diperkuat secara terpadu, Jambi tidak hanya mampu menjaga ketahanan pangan bagi warganya sendiri, tetapi juga berpotensi menjadi lumbung pangan strategis di Sumatera, yang menopang ketersediaan pangan nasional.
Strategi Keberlanjutan Ketahanan Pangan di Provinsi Jambi
Secara keseluruhan, kondisi ketahanan pangan di Provinsi Jambi pada tahun 2025 dapat dikatakan cukup baik dan stabil. Data Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kabupaten yang masuk kategori rawan pangan. Hampir seluruh wilayah berada dalam kondisi aman, bahkan sebagian besar kecamatan tercatat dalam kategori sangat tahan. Gambaran ini memberikan keyakinan bahwa Jambi relatif mampu menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan bagi masyarakatnya.
Namun, capaian positif ini tidak boleh dianggap final. Tantangan struktural di bidang pangan masih membayangi. Pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,3 persen per tahun lebih tinggi dari rata-rata nasional, membuat kebutuhan pangan meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Kondisi ini menuntut sektor pertanian Jambi untuk terus meningkatkan kapasitas produksi agar tidak tertinggal dari permintaan.
Di sisi lain, struktur demografi petani memperlihatkan gejala serius. Lebih dari separuh petani Jambi berusia di atas 45 tahun, sementara minat generasi muda untuk menjadi petani masih rendah. Jika persoalan regenerasi ini tidak diatasi, maka dalam jangka panjang Jambi berisiko menghadapi kekurangan tenaga kerja produktif di sektor pangan. Hal ini akan berdampak pada keberlanjutan produksi dan mengancam stabilitas ketahanan pangan daerah.
Selain persoalan tenaga kerja, infrastruktur pertanian dan logistik juga masih menjadi titik lemah. Banyak lahan pertanian yang belum mendapatkan akses irigasi memadai, sementara jalan produksi di beberapa daerah masih rusak atau terbatas. Akibatnya, distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah defisit berjalan kurang efisien. Biaya logistik yang tinggi berpotensi meningkatkan harga pangan di tingkat konsumen, sehingga aspek keterjangkauan pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa terganggu.
Untuk menjaga keberlanjutan capaian ini, kebijakan pangan di Jambi harus dijalankan secara konsisten dan terpadu. Pemerintah daerah perlu memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat agar program pembangunan pangan lebih sinkron dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Investasi dalam infrastruktur pertanian dan logistik harus menjadi prioritas, mulai dari pembangunan bendungan dan irigasi hingga jalan tani dan gudang penyimpanan hasil pertanian. Selain itu, regenerasi petani perlu mendapat perhatian khusus melalui insentif bagi petani muda, penyediaan akses permodalan, serta pemanfaatan teknologi digital dalam pertanian.
Jika strategi-strategi tersebut berjalan efektif, Jambi berpotensi tidak hanya menjaga ketahanan pangan bagi warganya sendiri, tetapi juga tampil sebagai lumbung pangan Sumatera. Dengan kondisi alam yang subur, dukungan infrastruktur strategis seperti Tol Trans-Sumatera dan Pelabuhan Ujung Jabung, serta penguatan kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan, Jambi bisa memainkan peran yang lebih besar dalam mendukung stabilitas pangan regional, bahkan nasional.
