Sepanjang rute perjalanan penuh dengan kubangan lumpur dan becek sisa hujan semalam di kawasan Restorasi Ekosistem (Reki) Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, Jambi, tak menyurutkan tekad petugas perlindungan hutan untuk patroli menjaga kawasan itu dari segala ancaman, termasuk perambahan.
Awal pekan lalu hari masih pagi dan Almanak menunjukan 25 Desember 2017, atau bertepatan dengan perayaan Natal, beberapa petugas bergegas menuju kawasan restorasi di zona konservasi untuk patroli di kawasan Pangkalan Ranjau dan Sungai Jerat dibantu dua orang warga Suku Batin Sembilan yakni Saburali dan seorang rekannya.
Untuk sampai ke kawasan yang rawan terhadap ancaman perambahan mereka harus menggunakan kendaraan khusus dobel gardan supaya tidak terpuruk di kubangan lumpur dan becek itu.
Manajer Perlindungan Hutan PT Reki, TP Damanik mengatakan, sebagai pemegang izin yang diamanatkan pemerintah untuk menjaga dan melindungi kawasan restorasi, timnya berkomitmen melakukan penertiban terhadap pihak mana pun yang melakukan tindakan ilegal di dalam kawasan hutan, terutama di zona lindung.
"Misalnya penindakan yang kami lakukan di kawasan Pangakalan Ranjau itu tidak kami tolerir, karena itu di zona lindung, mereka mendirikan pondok dan melakukan ilegal loging," kata Damanik.
Bahkan dalam upaya penertiban dan patroli yang dilakukan tim perlindungan hutan itu, kerap mendapat ancaman dan tekanan bahkan petugasnya pernah disandera oleh warga karena ada salah satu dari warga yang melakukan tindakan ilegal dan ditangkap oleh petugas.
"Pernah petugas patroli kita disandera, karena dari pihak mereka yang ditangkap tidak terima. Padahal yang kita tangkap itu telah melakukan tindakan ilegal di kawasan hutan," kata Damanik.
Hutan Harapan yang merupakan restorasi pertama di Indonesia itu pernah dikunjungi Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles pada 2008, total memiliki luas kawasan sekitar 98.555 hektare di Jambi dan Sumatra Selatan, dan merupakan sisa hutan tropis dataran rendah di bagian selatan dan tengah Pulau Sumatera.
Hutan Harapan dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) yang merupakan perusahaan yang dibentuk oleh Konsorsium Birdlife. Konsorsium itu terdiri atas Burung Indonesia, RSPB, dan Birdlife International (organisasi kemitraan yang berpusat di Ingggris).
Restorasi di kawasan hutan itu bertujuan pemulihan ekosistem hutan yang mengalami degradasi dan deforestasi melalui pendekatan Restorasi Ekosistem (RE).
Kawasan itu termasuk salah satu wilayah hutan tropis Sumatera yang paling terancam di dunia atau terus mendapat tekanan perambahan dan illegal logging.
Sebab itu kawasan restorasi yang dikelola oleh PT Reki tersebut merupakan kawasan hutan dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera dan sangat penting untuk diselamatkan dan dijaga demi keberlangsungan keanekaragaman hayati.
Upaya penyelamatan itu penting dilakukan karena di kawasan Hutan Harapan itu mengandung nilai konservasi dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Di dalamnya teridentifikasi sebanyak 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil dan 917 jenis pohon.
Di kawasan Hutan Harapan juga terdapat beberapa plot penelitian melalui project Crc 990/EFForTS yang merupakan penelitian internasional kerja sama antara Universitas Jambi, Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako dan Universitas Goettingen Jerman berada di kawasan konsesi restorasi ekosistem itu.
Selain itu di kawasan tersebut masih ditemukan spesies payung (Umbrella Species) yaitu Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus) dan Beruang madu (Helarctos malayanus) yang menjadi indikator bahwa kawasan ini masih memiliki nilai konservasi dan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Bahkan di kawasan restorasi tersebut, juga menjadi rumah bagi spesies burung Rangkong (Hornbill/Bucerotidae) dan terdapat berbagai jenis Rangkong, seperti jenis Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus/bushy-crested hornbill), Enggang Jambul (Aceros comatus/Berenicornis comatus/white-crowned hornbill).
Ancaman Okupasi
Setelah tim patroli menempuh perjalanan darat sekitar tiga jam perjalanan, petugas sampai di kawasan Pangkalau Ranjau. Di lokasi itu sebelumnya petugas pernah melakukan penertiban pondok masyarakat yang mencoba merambah ke dalam zona lindung dan konservasi di kawasan itu.
Tak jauh dari pondok yang ditertibkan pada September 2017 di kawasan Pangkalan Ranjau ditemukan sisa tebangan pohon langka jenis Meranti berdiameter 60 centimeter. Aksi perambahan kawasan itu diduga untuk diokupasi pendatang menjadi lahan perkebunan.
Program restorasi di Hutan Harapan sedang menghadapi gangguan oleh para warga pendatang yang melakukan perambahan dan ilegal logging untuk mengokupasi kawasan restorasi itu menjadi lahan perkebunan. Ironisnya para pendatang berduit itu memanfaatkan Suku Anak Dalam dan LSM untuk mengokupasi kawasan hutan yang tengah dipulihkan itu.
Head of Stakeholder Partnership Division PT Reki, Adam Aziz mengatakan tekanan perambahan dan pendudukan Hutan Harapan di wilayah kerja Masai Rusa akhir-akhir ini semakin kuat dan mengkhawatirkan.
Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi pembukaan dan pendudukan lahan di Masai Rusa, termasuk Pangkalan Ranjau telah mencapai 1.593 hektare.
Menurut Adam, ada indikasi yang sangat kuat, karena melalui petunjuk awal yang ditemukan, masuknya orang luar ke dalam kawasan Hutan Harapan difasilitasi oleh oknum-oknum tertentu dengan mengatas namakan adat dan SAD.
Adam mengatakan, diduga kuat terjadi "jual beli" lahan Hutan Harapan yang notabene adalah hutan negara yang izinnya diberikan kepada PT Reki.
Hal itu kata dia, bisa dibuktikan dengan banyaknya temuan bukti kwitansi "jual beli" lahan secara ilegal. Setiap orang luar yang hendak mencari lahan secara ilegal "diminta uang adat" oleh oknum-oknum tertentu.
Pihaknya mendapati ada bukti 18 kwitansi jual beli lahan dan dana imbalan adat. Di lembar dokumen kwitansi, yang salah satunya ada tertulis "Ganti rugi rintisan tanah ulayat Suku Anak Dalam ukuran (1) blok." tertanggal 7 April 2013 dengan nilai pembayaran Rp10 juta.
Selain itu, tekanan terbaru terhadap Hutan Harapan di area Masai Rusa terpantau melalui Citra Landsat 13 November 2017 yang memperlihatkan indikasi deforestasi sekitar delapan hektare di zona konservasi dalam wilayah Sungai Jerat.
Berdasarkan pengecekan oleh tim perlindungan hutan ditemukan jembatan darurat yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Bahkan jembatan tersebut kerap dilalui dan digunakan perambah untuk menuju lokasi kawasna hutan, selain itu juga ditemukan pondok pelaku dengan logo yang mengatasnamakan LSM pendampingan petani.
"Tentu kami berharap lebih kepada pemerintah terutama terkait penegakan hukum terhadap pelaku atau orang-orang yang membuka lahan puluhan hektare di kawasan restorasi ekosistem tersebut," kata Adam.
Sementara itu, Saburali yang merupakan warga Suku Batin Sembilan, mengaku sedih ada oknum pendatang yang memanfatkan warga SAD untuk membuka lahan di kawasan hutan yang masih banyak menyimpan sumber kehidupan bagi mereka.
Bagi warga Suku Batin Sembilan yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Harapan, menjaga hutan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Karena kawasan hutan bagi mereka adalah titipan yang harus dijaga untuk generasi anak cucu mereka yang tinggal di kawasan hutan.
"Kito (kita) ini dari nenek moyang sampai anak cucuk kito pasti tinggal di hutan ini, kalau hutan ditebang, hutan hilang, nanti kita mau tinggal di mano (di mana)," kata Saburali kepada Antara awal pekan lalu.
Saburali merupakan satu di antara warga Suku Anak Dalam Batin Sembilan yang masih berpegang teguh untuk menjaga hutan, dan sekarang dia pun bergabung bersama tim patroli Hutan Harapan.
"Kami sedih kalau hutan kami hilang, karena dari dulu nenek moyang kami ini hidup di dalam hutan, ada namanya kebun tapi untuk menanam ubi, padi, dan itu tidak banyak paling luas dua hektare," katanya.
Menangani Konflik
PT Restorasi Ekosistem Indonesia telah mengeluarkan kebijakan Human Right and Social Engagment pada akhir 2015, yang didalamnya termasuk kebijakan penerapan prinsip Free, Prior, Informed, Contest (FPIC) dalam menangani konflik secara bertanggung jawab.
Kebijakan tersebut dikeluarkan karena mempertimbangkan keberadaan sekitar 228 keluarga Suku Batin Sembilan dan sekitar 1.500 masyarakat migran yang berada dan menggantungkan hidup di kawasan Hutan Harapan.
Head of Stakeholder Partnership Division PT Reki, Adam Aziz mengatakan dalam kebijakan tersebut, PT Reki memprioritaskan dua pendekatan, yakni pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat yang sudah ada di dalam kawasan Hutan Harapan dengan mengacu pada Permen LHK No P.84 Tahun 2016 tentang Penangan Konflik dan Permen LHK No P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Kemudian melakukan pedegakan hukum dengan mengacu pada UU No 41 Tahun 1992 tentang Kehutanan dan UU No 18 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Atas turunan kebijakan tersebut kata Adam, PT Reki melakukan pendekatan khusus bagi masyarakat Batin Sembilan dengan pola kemitraan kolaboratif dalam skema perhutanan sosial.
Sedangkan keberadaan bagi masyarakat migran atau pendatang diakomodir melalui mediasi dengan pola kemitraan kolaboratif tidak lebih dari lima hektare per keluarga. Bagi yang menguasai lahan lebih dari lima hektare akan dilakukan penegakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
"Dalam kurun waktu empat tahun terakhir kami mengedepankan pendekatan persuasif untuk menuju pengelolaan kolaboratif bersama masyarakat yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan," katanya.
PT Reki mendapat mandat dari pemerintah untuk membuat zonasi pengelolaan kawasan, yang mana sekitar 20 ribu hektare merupakan zona kolaborasi/produksi, yaitu kawasan yang sebagian besar sudah terbuka dan digarap masyarakat.
Zona kolaborasi/produksi tersebut bisa dikelola bersama masyarakat dalam rangka kemitraan kolaboratif dengan skema perhutanan sosial.
Tercatat saat ini terdapat empat kelompok Batin Sembilan dan empat kelompok migran telah membangun kemitraan kolaboratif. Untuk Batin Sembilan diantaranya Kelompok Simpang Macan Luar 55 KK, Kelompok Tanding 17 KK, Sungai Kelompang 23 KK dan Kelompok Gelinding 9 KK.
Kemudian empat kelompok migran, diantaranya Kelompok Trimakno 171 KK, Kelompok Narwanto 34 KK, Kelompok Kapas tengah 13 KK dan KTH Alam Lestari Kunangan Jaya II sebanyak 30 KK.
Setelah penandatangan kesepakatan, kelompok tersebut mendapat kepastian hukum dalam pengelolaan kawasan hutan dan menerima bantuan dan pembinaan di bidang sosial ekonomi dan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan dengan penanaman sistem agroforestry.
"Total luas areal kemitraan mencapai 5.905 hektare, dan pengelolaan kolaboratif berjalan baik, dan sedang menuju pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersinergi dengan upaya-upaya restorasi kawasan hutan," kata Adam menambahkan. ***3***
(T.KR-DDS/B/T007/T007) 29-12-2017 13:27:48