Jakarta (ANTARA) - Perjalanan revisi UU Mineral dan Batu bara atau Minerba nampaknya terus berlanjut dan mendekati detik-detik pengesahan. Berkali-kali mengalami jalan buntu, pemerintah, dan DPR akhinya memutuskan untuk melanjutkan Revisi UU Minerba.
Setelah adanya pembicaraan tingkat lanjut antara pemerintah dan DPR, proses Revisi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batu bara akhirnya memasuki tahap akhir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif telah melaksanakan rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI guna membahas RUU tersebut, yang juga dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Hukum dan HAM.
Draft RUU Minerba ini pun disepakati dan ditandatangani oleh Pemerintah dan DPR untuk selanjutnya dibahas dalam Sidang Paripurna.
"Pemerintah menyambut baik inisiatif DPR RI untuk menyusun RUU Minerba sebagai bagian dari upaya perbaikan tata kelola mineral dan batubara ke depan, serta sebagai upaya untuk menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 dalam rangka memaksimalkan pemanfaatan mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", ungkap Arifin Tasrif.
Baca juga: Kementerian ESDM: Perusahaan wajib sediakan biaya eksplorasi minerba
Sebagai wujud upaya perbaikan tata kelola minerba, Tim Panja RUU Minerba pemerintah bersama dengan Tim Panja RUU Minerba DPR RI mulai tanggal 18 Februari 2019 hingga tanggal 11 Maret 2020 telah menyepakati pasal-pasal yang akan dilakukan perubahan dalam RUU Minerba antara lain sebagai berikut:
a. Penyelesaian permasalahan antar sektor yaitu melalui demarkasi kewenangan perizinan pengolahan dan pemurnian antara Kementerian ESDM dengan Kemenperin serta adanya jaminan pemanfaatan ruang pada wilayah yang telah diberikan kepada pemegang izin;
b. Konsepsi Wilayah Hukum Pertambangan, melalui pengaturan ini, kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan dapat dilakukan di seluruh wilayah hukum Indonesia;
c. Penguatan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah, yaitu melaIui pemberian insentif jangka waktu perizinan bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP)/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian;
d. Mendorong Kegiatan Eksplorasi untuk Penemuan Deposit Minerba yaitu melalui penugasan penyelidikan dan penelitian kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta serta dengan pengenaan kewajiban penyediaan Dana Ketahanan Cadangan kepada pelaku usaha;
e. Pengaturan Khusus Tentang Izin Pengusahaan Batuan, menghadirkan Perizinan baru yakni Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang mekanisme perizinannya lebih mudah dan sederhana;
f. Reklamasi dan Pascatambang, yaitu melalui pengaturan sanksi pidana bagi pemegang izin yang tidak melakukan reklamasi dan pasca tambang;
g. Jangka Waktu Perizinan untuk IUP atau IUPK yang Terintegrasi, Perizinan yang Terintegrasi dengan Fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian logam atau Kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batu bara diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan diberikan perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan;
h. Mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi, Penetapan Wilayah Pertambangan dilakukan setelah ditentukan oleh Pemda Provinsi serta penghapusan besaran luas minimum pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Eksplorasi;
i. Status Mineral dan Batubara dengan Keadaan Tertentu, pengaturan status mineral atau batu bara yang diperoleh dari penambangan tanpa izin ditetapkan sebagai Barang Sitaan dan/atau Barang Milik Negara;
j. Penguatan peran BUMN, di antaranya pengaturan bahwa eks WIUP dan Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat ditetapkan sebagai WIUPK yang penawarannya diprioritaskan kepada BUMN, serta BUMN mendapatkan prioritas dalam pembelian saham divestasi;
k. Kelanjutan Operasi Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara;
l. Izin Pertambangan Rakyat, menambahkan luas maksimal Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) yang semula 25 hektare menjadi 100 hektare serta menambahkan jenis pendapatan daerah berupa iuran pertambangan rakyat; dan
m. Tersedianya Rencana Pengelolaan Minerba Nasional, sebagai pedoman pengelolaan mineral dan batubara secara berkelanjutan.
Baca juga: Menperin dukung revisi UU Minerba, percepat hilirisasi industri
Dari pembahasan yang telah dilakukan Tim Panja RUU Minerba tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut: a. 2 Bab ditambah; b. 51 Pasal ditambah c. 83 Pasal diubah; d. 9 Pasal dihapus, sehingga total perubahan pasal berjumlah 143 pasal dari 217 pasal, atau sekitar 82 persen dari jumlah pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
"Dengan mengingat bahwa jumlah pasal UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengalami perubahan sangat besar, kami mengharapkan agar forum Rapat Kerja ini dapat mempertimbangkan penyusunan RUU Minerba menggunakan konsep RUU Penggantian, bukan RUU Perubahan," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Di samping itu,Tim Panja RUU Minerba pemerintah juga telah melakukan sinkronisasi keseluruhan RUU Minerba dengan melibatkan Tim Ahli DPR RI, terdapat beberapa usulan tambahan pasal dalam rangka sinkronisasi dan penyempurnaan legal drafting di antaranya:
- Menghapus Pasal 1 angka 6a, mengenai definisi Kuasa Pertambangan Mineral dan Batubara;
- Mengubah Pasal 1 angka 31, bahwa WIUP diberikan kepada pemegang IUP dan SIPB;
- Mengubah Pasal 1 angka 34, bahwa WUPK adalah wilayah yang dapat diusahakan untuk kepentingan strategis nasional;
- Mengubah Pasal 161B ayat (1), menyesuaikan pidana denda bagi pemegang IUP/IUPK yang tidak melakukan kegiatan reklamasi/pascatambang dari 10 Miliar Rupiah menjadi 100 Miliar Rupiah;
- Menambah Pasal 169C huruf f, terkait ketentuan peralihan bahwa pengawasan tetap dapat dilakukan Pejabat Pengawas yang ditunjuk Menteri sebelum pejabat pengawas yang ditentukan dalam UU terbentuk;
- Menambah Pasal 169C huruf g, terkait ketentuan pemaknaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 4/2009 dan UU lainnya sebagai kewenangan Pemerintah Pusat;
- Menambah Pasal 172E, terkait pengaturan jangka waktu penetapan Rencana Pengelolaan Mineral dan Batu bara Nasional;
- Menambah Pasal 173B, terkait pengaturan pencabutan Lampiran CC Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya mengenai pembagian kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara kepada pemerintah daerah provinsi;
- Menambah Pasal 173C, terkait pengaturan jangka waktu pemberlakuan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara menjadi kewenangan pemerintah pusat selama 6 (enam) bulan dan larangan adanya penerbitan izin baru selama jangka waktu tersebut; dan
- Menghapus Pasal 174 ayat (2), mengenai pelaporan pelaksanaan Undang-Undang kepada DPR dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, mengingat kewajiban pelaporan pemerintah kepada DPR telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi DPR.
"Hingga saat ini pemerintah tetap pada pandangan bahwa besaran kewajiban divestasi tersebut tersebut cukup dicantumkan dalam pengaturan di bawah Undang-Undang yaitu Peraturan Pemerintah", katanya.
Baca juga: Komisi VII sepakat lanjutkan UU Minerba ke tingkat II
Oleh Afut Syafril Nursyirwan